UU KUHAP 2025 dan Jalan Mundur Perlindungan Lingkungan
Deforestasi di Borneo | foto IndoMet in the heart of Borneo di Wikimedia Commons.
Kerusakan lingkungan yang meluas di Indonesia membutuhkan keterlibatan banyak pihak dalam upaya pencegahan maupun pemulihannya. Dalam konteks ini, pemerintah—baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif—memegang peran penting dalam merumuskan kebijakan dan peraturan, menegakkan hukum, serta mengawasi pelaksanaannya untuk menjamin keadilan dan kelestarian lingkungan. Di sisi lain, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan melestarikan lingkungan, serta hak untuk mengawasi kinerja pemerintah dan menuntut akuntabilitas. Namun, disahkannya UU KUHAP 2025 berpotensi melemahkan peran masyarakat dalam melindungi lingkungan.
Kriminalisasi terhadap Masyarakat Pelindung Lingkungan
Deforestasi dan alih fungsi lahan hutan di Sumatera yang memicu bencana berulang, kerusakan lahan gambut di Kalimantan, hingga ekspansi pertambangan di Sulawesi yang menyebabkan degradasi lingkungan, adalah beberapa contoh masifnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Dalam setiap kasus kerusakan lingkungan, seringkali kita temui masyarakat lokal bersuara dan melakukan berbagai upaya untuk menjaga lingkungan hidupnya dari kehancuran.
Contohnya di Langkat, Sumatera Utara, warga memprotes perusakan hutan lindung dan mangrove untuk alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit. Ironisnya, tiga orang warga kemudian ditangkap, bahkan dinyatakan bersalah di pengadilan. Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan tidak hanya dilakukan terhadap masyarakat lokal, namun juga menyasar akademisi yang lantang bersuara perihal kerusakan lingkungan. Misalnya, dua guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dituntut oleh salah satu perusahaan sawit di Kalimantan Tengah akibat keterangan mereka sebagai saksi ahli dalam kasus kebakaran lebih dari 500 hektare hutan gambut. Di Sulawesi Selatan, masyarakat adat Kajang yang merupakan penjaga hutan dengan kearifan lokal, juga bergelut untuk menjaga hutan adat dari klaim perusahaan perkebunan karet, dan mereka kerap diburu, ditangkap, dan menghadapi kekerasan oleh aparat.
UU KUHAP 2025
KUHAP 2025 telah resmi disahkan setelah setahun lebih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama pemerintah dan akan diberlakukan mulai 2 Januari 2025. KUHAP 2025 dibuat untuk menggantikan KUHAP lama yang telah berlaku selama 44 tahun sejak masa orde baru. KUHAP 2025 secara umum merupakan undang-undang yang mengatur bagaimana penyidikan dilakukan, bagaimana seseorang ditangkap, ditahan, disidangkan, hingga bagaimana pembuktian dibangun.
Namun, UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2025 (UU KUHAP 2025) dikhawatirkan dapat memperparah praktik-praktik kriminalisasi, alih-alih memperbaiki sistem penegakan hukum agar lebih berkeadilan. Salah satu hal yang dipersoalkan dalam KUHAP 2025 adalah mekanisme anti-SLAPP yang belum terdapat di dalamnya sehingga dinilai dapat memperbesar risiko SLAPP ke depannya.
Selain itu, KUHAP 2025 tetap menempatkan penyidik Polri sebagai pihak yang mengawasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Ketentuan bahwa setiap tindakan upaya paksa harus dilakukan bersama dan memperoleh izin Polri membuat penanganan perkara bergantung pada keputusan penyidik Polri. Pengaturan ini dapat memengaruhi kecepatan proses penegakan hukum sehingga berpotensi membuatnya menjadi berlarut-larut.
Lebih lanjut, KUHAP 2025 dinilai tumpul ke korporasi. Hal tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal yang ada, semisal tidak adanya pemisahan pertanggungjawaban korporasi dengan pengurusnya sehingga berpotensi membuat perusahaan menjadi kebal hukum dengan bersembunyi di balik nama pengurus. Selain itu, mekanisme Restorative Justice (RJ) yang dilakukan di tahap penyidikan dan penundaan penuntutan dinilai dapat memfasilitasi “transaksi gelap” yang berpeluang membebaskan korporasi dari tanggung jawab atas tindak pidana lingkungan hidup yang mereka lakukan.
Mencegah Pembungkaman Masyarakat dan Meningkatkan Tanggung Jawab
Dengan berbagai persoalan tersebut, penundaan pemberlakuan sekaligus peninjauan kembali UU KUHAP 2025 dengan mempertimbangkan masukan dari kelompok masyarakat dan para ahli secara cermat dan partisipatif menjadi sangat krusial. Pengaturan mengenai mekanisme anti-SLAPP dalam KUHAP 2025 maupun dalam berbagai regulasi pemerintah juga perlu menjadi perhatian dan diperkuat untuk mencegah upaya pembungkaman terhadap masyarakat yang menyuarakan isu-isu kepentingan publik. Pada saat yang sama, pemerintah harus melakukan langkah tegas dalam mendorong tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap korporasi yang melakukan eksploitasi hingga menimbulkan kerusakan lingkungan.
Editor: Abul Muamar
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member Sekarang
Wawancara dengan Eu Chin Fen, CEO Frasers Hospitality
Meningkatkan Akses terhadap Fasilitas Olahraga Publik di Tengah Tren Gaya Hidup Sedenter
Langkah Pemerintah Inggris dalam Mengatasi Pengangguran Kaum Muda
Mengarusutamakan Solusi Berbasis Alam untuk Reformasi Manajemen Risiko Bencana
Mengupayakan Sirkularitas Pusat Data melalui Pemulihan Panas Buangan
Mengakui Peran Komunitas Lokal dalam Pelestarian Keanekaragaman Hayati