Ancaman Inflasi Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan Dunia

Foto: Markus Winkler di Unsplash.
Ketahanan pangan bukan sekadar menaruh sembarang makanan ke piring kita; melainkan soal pola makan yang sehat. Namun, ada banyak faktor yang menghambat kemampuan masyarakat untuk mengonsumsi makanan bergizi, salah satunya adalah inflasi harga pangan.
Apa Itu Inflasi Harga Pangan?
Menurut laporan Kondisi Ketahanan Pangan dan Nutrisi di Dunia (SOFI) 2025 dari FAO, 32% populasi dunia tidak mampu menjangkau pola makan yang sehat pada tahun 2024. Laporan tersebut menyoroti inflasi harga pangan sebagai salah satu tren utama yang memengaruhi ketahanan pangan di seluruh dunia.
Inflasi harga pangan merujuk pada tingkat pertumbuhan pengeluaran rumah tangga untuk membeli makanan dan minuman non-alkohol selama periode tertentu. Harga pangan sendiri sangat ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Lonjakan permintaan yang tiba-tiba dan gangguan dalam produksi dan distribusi, misalnya, dapat menyebabkan ketidakstabilan harga.
Dalam rentang tahun 2020 hingga 2025, laporan tersebut mencatat bahwa 139 dari 203 negara mengalami inflasi harga pangan di atas 25%. Dari angka ini, inflasi melebihi 25% terjadi di 49 negara, dan melampaui 100% di 25 negara. Keadaan yang mulai pulih setelah berakhirnya Pandemi COVID-19 disebut sebagai salah satu alasan utama inflasi ini menurut laporan tersebut, di mana pemerintah memberikan bantuan keuangan berskala besar sementara ekonomi belum pulih. Hal ini mengakibatkan tingginya permintaan barang, yang berkontribusi pada lonjakan inflasi.
Pada saat yang sama, perang Rusia-Ukraina juga berdampak pada pertanian global. Perang ini menyebabkan kenaikan harga komoditas pertanian penting seperti pupuk dan menyebabkan harga pangan melonjak. Lonjakan ini berkontribusi terhadap 47% inflasi harga pangan di Amerika Serikat dan 35% di negara-negara Eropa. Selain itu, gangguan pertanian akibat faktor cuaca dan perubahan iklim turut memengaruhi hasil panen dan distribusi.
Implikasi terhadap Ketahanan Pangan
Inflasi harga pangan dapat menyebabkan kerawanan pangan yang lebih tinggi dan meningkatkan kasus malnutrisi. Inflasi harga pangan akan mengurangi daya beli rumah tangga, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan akan makanan bergizi. Kondisi ini semakin parah ketika besaran upah tidak beradaptasi dengan kenaikan harga pangan, yang akan semakin meningkatkan kesulitan bagi rumah tangga, bahkan untuk sementara.
Rumah tangga yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan pokok, biasanya akan menempuh berbagai cara. Yang paling banyak dilakukan adalah membeli makanan yang lebih murah dan kurang bernutrisi, serta mengurangi keragaman pola makan dan frekuensi makan. Laporan tersebut mencatat bahwa kelompok makanan yang lebih padat nutrisi, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan makanan hewani, hampir selalu lebih mahal daripada makanan pokok bertepung. Sementara itu, pola makan sehat harus mencakup beragam makanan, yang semakin sulit diperoleh di tengah inflasi harga pangan.
Mirisnya, sebagian rumah tangga mungkin akan menerapkan siasat yang tak adil. Dalam realitas masyarakat patriarki, jatah makan untuk perempuan seringkali dikurangi. Hal ini akan memperparah kerentanan mereka dan mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, seperti anemia pada perempuan dan anak perempuan. Laporan tersebut menemukan bahwa kenaikan harga pangan sebesar 10% berkaitan dengan peningkatan prevalensi wasting (terlalu kurus) sebesar 2,7 hingga 4,3% dan peningkatan wasting parah sebesar 4,8 hingga 6,1% pada anak balita.
Mengatasi Faktor Internal dan Eksternal
Meskipun inflasi harga pangan terjadi di seluruh dunia, yang paling terdampak adalah masyarakat dari negara-negara berpenghasilan rendah. Memperkuat sistem perlindungan sosial nasional yang berkaitan dengan ketahanan pangan dan nutrisi, seperti bank makanan dan restoran umum, merupakan langkah krusial untuk beradaptasi dengan harga pangan yang sangat fluktuatif. Karena kemampuan membeli makanan berkaitan erat dengan pendapatan, negara juga harus mengatasi masalah pengangguran yang mendesak dan memastikan pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Selain itu, karena ketahanan pangan global bergantung pada pertukaran komoditas antarnegara, memastikan perjanjian perdagangan internasional dan regional yang efektif dapat menjadi stabilisator ketika terjadi guncangan. Pada akhirnya, kerja sama internasional dan kebijakan nasional sangat penting untuk mengatasi masalah mendesak dan memperkuat ketahanan pangan dunia.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Madina adalah Asisten Manajer Publikasi Digital di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.