Kelelahan “Fatigue” Tanggung Jawab Personal dalam Memerangi Perubahan Iklim
Tidak dipungkiri, perubahan iklim adalah masalah serius yang memengaruhi setiap orang. Oleh karena itu, masuk akal untuk berasumsi bahwa setiap orang harus bertindak secara kolektif untuk melawannya.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) PBB menekankan kemitraan lintas pemangku kepentingan dan meminta semua orang bekerja sama untuk mencapai tujuan ini. PBB telah bekerja keras untuk memopulerkan SDGs melalui berbagai cara, seperti melibatkan BTS dalam UNGA SDGs Moment 2021 dan berkolaborasi dengan organisasi pemuda dalam menyelenggarakan diskusi SDGs.
Apakah kesadaran akan perubahan iklim masih menjadi masalah utama?
Pada Januari 2021, UNDP merilis People’s Climate Vote, survei opini publik terbesar di dunia tentang perubahan iklim. Survei tersebut melibatkan 1,2 juta responden dari 50 negara dan mencakup 56% populasi dunia.
Studi ini menemukan bahwa 64% penduduk di seluruh dunia percaya bahwa perubahan iklim adalah kondisi darurat global. Jika ditanya tentang bagaimana tanggapan negara mereka untuk mengatasi tantangan perubahan iklim, 59% dari mereka ingin agar pemerintah melakukan segala sesuatu yang diperlukan dengan segera.
Laporan ESG Grab 2021 mengungkap hasil survei yang dilakukan kepada para pengguna di enam negara Asia Tenggara pada Maret 2021. Hasil survei menyatakan bahwa 82% responden merasa prihatin dengan perubahan iklim dan mengambil beberapa tindakan untuk mengurangi jejak karbon mereka.
Di waktu yang sama, Pew Research Center melakukan survei di 17 negara dengan ekonomi maju yang mencakup Amerika Utara, Eropa, dan kawasan Asia Pasifik. Hasilnya memperlihatkan kekhawatiran besar tentang dampak personal dari perubahan iklim. Responden dengan persentase lebih tinggi mengatakan, mereka bersedia mengubah beberapa aspek dari gaya hidup dan berbuat sesuatu untuk memerangi perubahan iklim. Namun, mereka tidak yakin apakah upaya itu akan membuat dampak yang signifikan.
Meski ada banyak konferensi PBB dan upaya perusahaan untuk mematuhi praktik bisnis yang berkelanjutan, ada beberapa yang masih skeptis terhadap akuntabilitas dan efektivitas upaya ini. People’s Summit pada November 2021 dibuat oleh dan untuk mereka yang percaya bahwa para pemimpin dunia atau perusahaan tidak dapat memberikan keadilan iklim.
Acara yang berlangsung selama empat hari itu dimulai dengan 12.000 pendaftaran di hari pertama. Dapat dikatakan bahwa meskipun jumlahnya tidak besar, sebagian besar penduduk dunia sadar bahwa perubahan iklim adalah masalah global yang mendesak.
Apakah tindakan individu saya penting?
Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye untuk menjadi lebih berkelanjutan telah meningkat. Banyak dari mereka yang mempromosikan tindakan individu seperti melakukan daur ulang, menggunakan sedotan non-plastik, membeli secara lokal, berbelanja lebih berkelanjutan, mengurangi konsumsi daging, dan lain-lain.
Perilaku konsumen adalah jargon populer dalam kampanye keberlanjutan, meminta masyarakat umum untuk bertanggung jawab atas kebiasaan mereka. Kita membutuhkan semua upaya untuk mengatasi tantangan yang disebabkan oleh perubahan iklim dan mencapai SDGs seperti yang direncanakan.
Apa masalah tanggung jawab personal?
Meskipun benar bahwa memerangi perubahan iklim mengharuskan kita semua untuk bekerja sama, perubahan iklim adalah masalah kesenjangan sosial. Tanggung jawab tiap orang tidak sama atas perubahan iklim. Pew Research Center mengungkapkan bahwa di AS, mayoritas dari mereka yang terlibat dengan isu perubahan iklim di media sosial merasakan kecemasan dan kemarahan.
Dalam seminggu terakhir, istilah ‘praktik industri yang tidak bertanggung jawab’ meledak di media sosial. Menanggapi hal ini, banyak masyarakat yang merasa bingung dan lelah lantaran tindakan individu mereka mungkin tidak akan berguna dalam memerangi perubahan iklim.
Sebuah utas dari Peoples Dispatch tentang Gurun Atacama menunjukkan bukti bahwa pilihan konsumen tidak dianggap penting karena berbagai merek akan terus berproduksi. Dari Belgia, The Bulletin melaporkan, “Brussels Airlines telah mengoperasikan 3.000 penerbangan kosong atau hampir kosong di musim dingin ini untuk menghindari kehilangan hak lepas landas dan mendarat di bandara-bandara utama”.
?? Images from the Atacama desert, which has become a dumpster for the global fast fashion industry. Over 100,000 tons of clothing, many of them new items with price tags that weren't sold or used, have been dumped in the Atacama desert in Chile. pic.twitter.com/1IrRA2bw7t
— Peoples Dispatch (@peoplesdispatch) January 5, 2022
Brussels Airlines runs 3,000 empty flights to maintain take-off and landing slotshttps://t.co/b4t9OLcjuD pic.twitter.com/WlBj16YwQd
— The Bulletin (@_TheBulletin) January 5, 2022
Kedua contoh tersebut mendapatkan respon beragam dari warganet. Namun, sebagian besar dari mereka menyampaikan kelelahan yang nyata mengenai tanggung jawab personal dalam memerangi perubahan iklim. Frustrasi lainnya, baru-baru ini berasal dari penggunaan NFT (non-fungible token) di media populer. Terlepas dari reaksi keras dari para fans dan masyarakat umum, NFT menempati berbagai segmen dalam industri hiburan seperti gaming, Hollywood, dan K-Pop.
Masyarakat banyak mengeluh pada kampanye pilihan konsumen, terutama di negara-negara berkembang yang terkadang hanya berujung pada kesalahan. Beberapa orang bahkan menyebutnya narasi palsu untuk mengalihkan kesalahan dari perusahaan besar di seluruh dunia.
Lantas, bagaimana sekarang?
Saat ini kita sudah memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19. Frustrasi dan kelelahan terjadi di semua lini, termasuk dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Kita semua harus melakukan apapun yang kita bisa. Namun, tanggung jawab personal tidak pernah setara.
Para pemimpin dunia adalah pembuat kebijakan yang dapat membuat atau menghancurkan situasi di planet ini. Konsepsi sempit akan kapitalisme yang masih dipraktikkan secara luas oleh berbagai korporasi di seluruh dunia telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan mempengaruhi kita semua. Bahkan bagi kelompok rentan, hal ini bisa lebih buruk lagi. Mereka memikul tanggung jawab terbesar dalam menciptakan dan memerangi perubahan iklim, dan kita harus mengingatnya sambil terus melakukan apa yang bisa kita kerjakan.
Dalam studi yang disebutkan sebelumnya oleh Pew Research Center, 32% Gen Z dan 28% Milenial mengatakan, mereka telah melakukan sesuatu dalam satu tahun terakhir untuk mengatasi perubahan iklim. Beberapa dari mereka menyumbangkan uang, menjadi sukarelawan, kontak dengan pejabat berwenang, dan menghadiri rapat umum ataupun aksi protes.
Yang terpenting adalah, suara kolektif akan selalu berarti. Sampai pemerintah dan pelaku bisnis menghadapi tantangan ini, kita dapat melakukan apa yang kita bisa sambil menyerukan kepada pemerintah dan pelaku bisnis untuk bertanggung jawab penuh dan melakukan peran mereka untuk masyarakat dan planet ini. Ini adalah tentang bagaimana kita masih bisa bekerja sama untuk melawan perubahan iklim.
Editor: Marlis Afridah
Penerjemah: Ari Ganesa
Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.
Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk membuka akses online tanpa batas ke platform “Konten Eksklusif” kami yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Nikmati manfaat berlangganan, termasuk -namun tidak terbatas pada- pembaruan kabar seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Ia adalah seorang penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif berpengalaman dengan portofolio selama hampir satu dekade.