Kesenjangan Gender Menghambat Peran Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sepanjang sejarah peradaban manusia hingga hari ini, perempuan memiliki ikatan yang kuat dengan alam. Ketika alam rusak, dampak yang dirasakan perempuan pun begitu besar. Di banyak komunitas, khususnya masyarakat adat, perempuan memegang peran penting dalam pengelolaan tanah, air, tumbuhan, hewan, dan sumber daya alam lainnya. Namun, kesenjangan gender dalam pengelolaan sumber daya alam masih menjadi masalah yang menghambat peran perempuan dalam melindungi dan mengelola lingkungan.
Perempuan, Lingkungan, dan Kesenjangan Gender
Menurut laporan FAO mengenai ketahanan pangan, perempuan di negara-negara berkembang, khususnya dari kalangan masyarakat yang hidup di pedesaan dan menggantungkan hidup pada sumber daya alam, memegang peran kunci dalam pengelolaan ternak skala kecil, konservasi, dan pemanfaatan beragam tumbuhan dan hewan secara berkelanjutan. Mereka juga berperan dalam pemilihan benih dan aspek pertanian lainnya yang membentuk masa depan sistem pertanian serta ketahanan pangan dan sumber penghidupan.
Di kalangan masyarakat adat, perempuan sudah terbiasa mengelola sumber daya alam berdasarkan pengetahuan mereka. Misalnya, perempuan Dayak Benawan di Kalimantan Barat, memanfaatkan hutan mereka sebagai sumber pangan sekaligus melestarikan keanekaragaman hayati. Mereka menanam padi lokal, mentimun, labu, jagung, dan berbagai sayuran lainnya. Selain itu, mereka juga memanfaatkan hutan untuk kebutuhan bahan bakar untuk memasak dan pakan ternak.
Sayangnya, kesenjangan gender masih menjadi tantangan yang menghambat peran mereka. Bahkan, dalam banyak kasus, kekerasan terhadap perempuan terkadang digunakan sebagai alat untuk melakukan kendali terhadap sumber daya.
Kesenjangan Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Menurut Uni Internasional untuk Konservasi (IUCN), ada tiga faktor utama yang menghambat peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.
- Kurangnya Akses dan Kendali atas Tanah dan Properti
Tanah merupakan aset paling penting bagi masyarakat di negara berkembang, yang sebagian besar bergantung pada pertanian sebagai sumber penghidupan. Perempuan memainkan peran penting dalam pemanfaatan lahan untuk ketahanan pangan. Namun mereka masih kerap menghadapi kendala terkait hak kepemilikan, termasuk hak untuk menjual, mengelola, dan menguasai produksi pertanian di tanah mereka sendiri.
Perempuan juga sering mengalami kesulitan untuk mengakses lahan, bahkan di negara dimana mereka secara hukum berhak atas lahan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari norma budaya dan tradisi yang ada.
Secara global, hanya sekitar 13,8% perempuan yang merupakan pemilik lahan. Perempuan bekerja di bidang pertanian dan pengelolaan sumber daya alam dengan tingkat pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, terutama di Afrika Sub-Sahara, namun kepemilikan lahan mereka biasanya lebih kecil dan kualitasnya lebih rendah dibandingkan laki-laki.
- Kurangnya Perwakilan Perempuan
Perwakilan perempuan dalam urusan pengambilan keputusan masih sangat rendah, mulai dari organisasi masyarakat lokal, komunitas, hingga pemerintahan nasional. Anggota parlemen nasional di seluruh dunia yang merupakan perempuan bahkan tak sampai 25%.
Di Nigeria, sebagian besar kerja-kerja pertanian dan yang terkait dengannya dilakukan oleh perempuan. Namun, sebagian besar dari mereka tidak menduduki posisi kepemimpinan.
Di banyak komunitas, norma sosial dan tugas mengurus rumah tangga yang memakan waktu seringkali menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam pengelolaan ekosistem dan sumber daya alam, kebutuhan, prioritas, dan pengetahuan perempuan seringkali diremehkan.
- Kekerasan Berbasis Gender (GBV)
Secara global, 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan berbasis gender dalam hidup mereka. Kekerasan berbasis gender dapat berupa kekerasan fisik, psikologis, atau seksual, serta perampasan sumber daya, pendapatan, dan properti.
Di beberapa negara, perempuan bahkan selalu dibayang-bayangi kekerasan seksual dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, di Malawi, ada praktik “seks ditukar ikan”, dimana perempuan dipaksa melakukan transaksi seksual dengan imbalan ikan atau sumber daya lainnya yang berkaitan dengan perikanan.
Sebagai korban utama kekerasan berbasis gender, perempuan harus memiliki suara dalam membentuk undang-undang untuk mengatasi permasalahan ini. Sebab, kesenjangan gender merupakan masalah interseksional. Segala bentuk diskriminasi akan memperparah kesenjangan gender dalam pengelolaan sumber daya alam.
Menghapus Kesenjangan Gender
Partisipasi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dapat menjadi jalan bagi pemberdayaan perempuan yang lebih luas baik di rumah tangga maupun di ruang publik, sehingga membuka peluang peningkatan pendapatan keluarga dari kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya alam. Oleh karena itu, menghapus kesenjangan gender dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan hal yang krusial.
Kolaborasi antarpemangku kepentingan dan lintas-sektor, dengan pendekatan berbasis sains yang responsif gender, merupakan yang penting untuk mencapai tujuan ini. Penting juga untuk dicatat bahwa kesenjangan gender serta hambatan yang diakibatkannya berbeda-beda di setiap konteks. Kebijakan, strategi, dan program perlu dirancang dan dijalankan dengan cara yang bermanfaat bagi semua orang.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Prayul adalah Reporter Magang di Green Network Asia. Lulusan program Biologi Universitas Adi Buana ini memiliki passion yang kuat dalam menulis tentang keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan isu-isu lain terkait SDGs.