Mendukung Inisiatif yang Dipimpin Kaum Muda dalam Pelestarian Laut

Foto: Blue Ventures.
Lautan menghadapi ancaman yang semakin buruk akibat polusi plastik, penangkapan ikan berlebih, dan krisis iklim yang semakin parah. Tantangan-tantangan ini tidak hanya membahayakan keanekaragaman hayati laut tetapi juga merusak mata pencaharian jutaan orang di seluruh dunia. Di antara semua orang yang terdampak, kaum muda merasakan urgensi yang kuat untuk mengatasi krisis ini karena mereka akan mewarisi dampak jangka panjang dari keputusan yang diambil saat ini. Terkait hal ini, inisiatif-inisiatif yang dipimpin kaum muda mendapatkan momentum di seluruh dunia, seiring meningkatnya kreativitas, kefasihan digital, dan tekad mereka untuk membentuk masa depan laut yang berkelanjutan.
Krisis Laut
Laut menghadapi tekanan yang semakin besar akibat aktivitas manusia; polusi plastik termasuk yang paling parah. Diperkirakan 19-23 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun, setara dengan 2.000 truk sampah yang membuang sampah ke laut setiap hari. Hal ini tidak hanya membahayakan keanekaragaman hayati tetapi juga mengganggu rantai makanan dan memengaruhi kesehatan manusia, salah satunya berupa mikroplastik yang berakhir di tubuh kita.
Penangkapan ikan berlebihan turut memperburuk krisis ini. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), 35,5% stok ikan global telah dieksploitasi secara berlebihan, dan hanya tersisa 64,5% yang masih berada dalam tingkat keberlanjutan biologis. Ini menunjukkan penurunan yang signifikan dari proporsi 90% stok ikan berkelanjutan pada tahun 1974.
Pada saat yang sama, pemanasan laut akibat krisis iklim telah menyebabkan kadar oksigen laut turun sekitar 2% sejak tahun 1950-an. Menurut OceanOPS, konsentrasi oksigen dapat turun 3-4% pada akhir abad ke-21 jika emisi tetap tinggi. Penurunan ini mengancam keanekaragaman hayati laut dengan mengurangi pasokan oksigen yang memadai, memperluas wilayah dengan oksigen rendah, dan mengganggu ekosistem. Pada akhirnya, hal ini dapat mengurangi produktivitas laut dan membahayakan ketahanan pangan serta mata pencaharian orang-orang yang bergantung pada kesehatan laut.
Sementara itu, kondisi wilayah pesisir juga tidak membaik. Data Global Mangrove Watch mengungkap kehilangan hutan bakau global sebesar 3,4%, setara dengan 5.245 km², dalam rentang tahun 1996 hingga 2020. Hilangnya hutan mangrove mengancam keanekaragaman hayati dan ketahanan pesisir, sekaligus melemahkan peran vital laut sebagai penyerap karbon alami.
Inisiatif yang Dipimpin Kaum Muda untuk Keberlanjutan Laut
Krisis yang semakin memburuk ini menjadi salah satu alasan yang mendorong kaum muda untuk semakin vokal menyuarakan perlindungan laut. Menurut People’s Climate Vote 2024, survei publik terbesar di dunia tentang perubahan iklim, 80% responden menginginkan aksi iklim yang lebih kuat dari pemerintah mereka, dan 69% mengatakan perubahan iklim memengaruhi keputusan penting dalam hidup seperti tempat tinggal atau bekerja. Secara khusus, kaum muda berusia 14–18 tahun merupakan kelompok yang paling mungkin memandang perubahan iklim sebagai darurat global, menekankan potensi mereka untuk mendorong aksi transformatif.
Sebagai respons, kaum muda di seluruh dunia mengambil tindakan sebagai penggerak perubahan, mengatasi tantangan laut mulai dari advokasi kebijakan hingga inisiatif akar rumput. Misalnya, Heirs to Our Ocean (H2OO) memberdayakan pemuda di seluruh dunia melalui Youth Action Councils, yang memungkinkan mereka untuk membentuk strategi di bawah Dekade Kelautan PBB sekaligus memperkuat suara-suara yang kurang terwakili dalam kebijakan dan advokasi kelautan.
Di Kepulauan Pasifik, kaum muda memimpin upaya konservasi berbasis komunitas, mulai dari penanaman kembali mangrove di Tuvalu hingga restorasi terumbu karang di Fiji, yang memadukan pengetahuan masyarakat adat dengan sains modern untuk memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim. Inisiatif yang dipimpin kaum muda ini sangat penting karena Kepulauan Pasifik dan Negara-Negara Berkembang Pulau Kecil (SIDS) lainnya sangat rentan terhadap risiko iklim.
Sementara itu, di Asia Tenggara, kaum muda di Filipina sedang mengatasi polusi plastik melalui inisiatif Youth for Oceans di Parañaque City. Gerakan akar rumput ini memobilisasi dewan pemuda untuk kegiatan bersih-bersih berbasis data dan mempromosikan solusi ekonomi sirkular guna membangun komunitas pesisir yang bebas sampah.
Hambatan dan Tantangan
Terlepas dari kontribusi-kontribusi tersebut, hambatan sistemik masih membatasi potensi inisiatif yang dipimpin kaum muda. Masalah utama terletak pada kurangnya pendanaan dan sumber daya, baik dalam pendanaan inti maupun dukungan ad hoc, yang seringkali membatasi keterlibatan kaum muda hanya pada peran simbolis alih-alih keterlibatan yang bermakna.
Ketimpangan struktural juga turut berperan, terutama bagi kaum muda di belahan bumi selatan, komunitas adat, dan mereka yang hidup di wilayah pedesaan dan terpencil dengan akses ke pendidikan dan informasi yang rendah. Kerangka tata kelola, seperti perencanaan tata ruang laut, seringkali mengabaikan pengetahuan lokal dan pengetahuan adat, sehingga melemahkan pelestarian budaya dan efektivitas pengelolaan laut.
Selain itu, sistem tata kelola yang kompleks menciptakan pengambilan keputusan yang terfragmentasi, ketidakseimbangan kekuasaan dan sumber daya, serta kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan, yang memperlambat kemajuan kolektif. Di luar masalah sistemik ini, hambatan praktis seperti pembatasan visa, dukungan kelembagaan yang terbatas, dan diskriminasi usia semakin menghambat partisipasi kaum muda dalam dialog di tingkat regional dan global.
Langkah ke Depan
Untuk membangun masa depan laut yang berkelanjutan, partisipasi kaum muda harus didasarkan pada keterlibatan yang bermakna, bukan sekadar keterlibatan simbolis. Hal ini membutuhkan sumber daya, akses, dan kesempatan bagi kaum muda untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan.
Salah satu langkah penting adalah membina kemitraan multi-pemangku kepentingan yang melibatkan kaum muda, komunitas lokal, dan pembuat kebijakan. Dekade Ilmu Kelautan PBB menekankan bahwa kolaborasi semacam itu sangat penting untuk mengembangkan solusi yang inklusif dan berbasis sains.
Lebih lanjut, berinvestasi dalam literasi laut sangat penting untuk menjembatani sains, kebijakan, dan aksi komunitas. Program Literasi Laut untuk Semua UNESCO menunjukkan bagaimana pendidikan memainkan peran sentral dalam membentuk aksi kolektif. Mekanisme dukungan finansial, seperti hibah mikro, juga tak kalah penting. Inisiatif seperti Blue Ventures dan Global Fund for Coral Reefs menunjukkan bagaimana pendanaan yang terarah dapat mempercepat upaya konservasi berbasis komunitas.
Terakhir, memperkuat jaringan lintas batas memastikan bahwa inisiatif yang dipimpin kaum muda tetap terhubung, berbagi pengetahuan, dan membangun solidaritas terlepas dari hambatan politik atau geografis. Dengan dukungan struktural yang lebih kuat, pemuda dapat menjadi katalisator kunci dalam membentuk tata kelola lautan yang adil, tangguh, dan inklusif untuk masa depan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.