Mengulik Dampak Lingkungan dan Kesehatan dari Industri Nikel di Teluk Weda

Foto: Kawasan industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). | Foto: Adlun Fiqri di EJ Atlas.
Perkembangan peradaban manusia seringkali menciptakan ironi: di satu sisi, manusia berupaya menciptakan kehidupan yang lebih baik; namun pada saat yang sama, selalu ada hal-hal yang menjadi korban. Misalnya, transisi energi telah mendorong peningkatan industri pertambangan dan peleburan nikel untuk memenuhi permintaan pasar akan kendaraan listrik dan baja tahan karat, yang di banyak daerah telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan kondisi kehidupan masyarakat lokal. Salah satu wilayah yang paling terdampak oleh keberadaan industri nikel adalah Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Industri nikel di Teluk Weda telah menimbulkan dampak buruk yang meluas terhadap kondisi lingkungan dan kesehatan manusia.
Ambisi Hilirisasi Nikel
Maraknya industri pertambangan dan pengolahan nikel di Indonesia merupakan buah dari ambisi hilirisasi nikel. Ambisi hilirisasi nikel Indonesia mulai mengemuka secara serius sejak tahun 2014, ketika pemerintah mengeluarkan larangan ekspor bijih mentah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang diperkuat dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Larangan tersebut dimaksudkan untuk mendorong pembangunan industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah komoditas tambang strategis. Hilirisasi nikel semakin mendapat sorotan karena merupakan bahan baku utama baterai kendaraan listrik.
Seiring dengan kebijakan tersebut, pembangunan smelter dan pabrik pengolahan nikel berkembang pesat, khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara—daerah dengan cadangan nikel terbesar di Indonesia. Kawasan industri seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) tumbuh menjadi pusat aktivitas pemrosesan nikel dan menarik investasi besar, terutama dari China. Hingga tahun 2024, tercatat sekitar 40 proyek smelter telah dibangun atau direncanakan, yang sebagian besar terintegrasi dengan industri baterai dan kendaraan listrik.
Namun, semua ambisi tersebut telah menimbulkan konsekuensi besar. Sejumlah permasalahan muncul, khususnya terkait dampak lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Di banyak daerah, kegiatan pertambangan dan pembangunan smelter telah memicu deforestasi, pencemaran air dan udara, serta menyebabkan degradasi ekosistem pesisir dan laut. Selain itu, masyarakat lokal kerap kali hanya menjadi tenaga kerja dengan upah rendah dengan risiko kerja yang tinggi. Konflik agraria, penggusuran, dan hilangnya mata pencaharian tradisional juga menjadi isu yang mengemuka.
Dampak Industri Nikel di Teluk Weda
Salah satu wilayah yang paling terdampak industri nikel adalah Teluk Weda, wilayah perairan di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang yang tinggi serta rumah bagi berbagai spesies ikan dan hewan laut yang langka. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako mengungkap bagaimana ekspansi tambang dan aktivitas industri nikel di Teluk Weda berkontribusi terhadap pencemaran sumber air, penurunan keanekaragaman hayati, dan meningkatnya deforestasi di wilayah tersebut, dan secara signifikan memengaruhi kondisi lingkungan, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan sosial penduduk setempat.
Laporan tersebut menyajikan beberapa temuan utama yang mengkhawatirkan. Dari segi dampak lingkungan, kualitas air Sungai Ake Jira telah mengalami penurunan, dari Kelas I menjadi Kelas III, menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Weda yang selama ini memanfaatkannya sebagai sumber air minum. Pengujian terbaru menunjukkan kadar logam berat yang konsisten, dengan kadar kromium dan nikel melebihi standar US EPA, sehingga sedimen Sungai Ake Jira dan Ake Sagea diklasifikasikan sebagai “Tercemar Berat.”
Selain itu, ikan dari Teluk Weda ditemukan mengandung arsenik dan merkuri. Kadar arsenik telah meningkat drastis, kini 20 kali lebih tinggi dibandingkan tahun 2007, yang mungkin menimbulkan risiko kesehatan, meski kadar merkuri tetap stabil.
Sementara itu, dari segi kesehatan manusia, studi tersebut menemukan bahwa terdapat 22 orang yang memiliki kadar merkuri di atas batas aman 9 µg/L, dan 15 orang (32%) yang memiliki kadar arsenik yang melebihi batas 12 µg/L, berdasarkan uji sampel darah terhadap 46 responden masyarakat setempat. Survei yang dilibatkan dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa jalur paparan utama bahan kimia berbahaya tersebut adalah konsumsi ikan yang ditangkap di Teluk Weda, karena warga lokal umumnya mengonsumsi makanan laut 2-3 kali per hari. Pengambilan sampel ikan mengonfirmasi keberadaan merkuri dan arsenik di semua sampel yang diuji.
Rekomendasi
Atas temuan-temuan di atas, laporan tersebut memberikan sejumlah rekomendasi yang terutama ditujukan kepada pemerintah dan pembuat kebijakan untuk menyelamatkan Teluk Weda dari permasalahan yang ada. Berikut beberapa di antaranya:
- Memperkuat pemantauan lingkungan: melakukan pemantauan independen secara rutin terhadap logam berat dalam kualitas air sungai dan sedimen; melakukan pengujian berkala terhadap logam berat pada ikan dan biota laut di Teluk Weda dan wilayah lain; dan melakukan investigasi menyeluruh terhadap ekosistem laut di Teluk Weda termasuk terumbu karang, padang lamun, dan habitat penting lainnya.
- Memperkuat penegakan hukum: memastikan industri nikel di Teluk Weda mematuhi standar pengelolaan limbah dan emisi; menerapkan sanksi yang lebih tegas terhadap pelanggaran; dan mewajibkan industri untuk mematuhi peraturan yang berlaku.
- Meninjau dan memperkuat perizinan industri: memberlakukan syarat izin yang lebih ketat untuk operasi baru dan yang sudah ada; menentukan kapasitas daya dukung lingkungan Teluk Weda untuk mengukur tingkat pencemaran; dan mengevaluasi kemampuan area tersebut untuk mendukung kegiatan industri tanpa melampaui ambang batas ekologis.
- Meningkatkan pengawasan kesehatan masyarakat: melakukan pemeriksaan kesehatan rutin termasuk pengujian logam berat dalam darah dan memberikan intervensi medis dini bagi penduduk yang terdampak; melakukan survei dan studi komprehensif mengenai prevalensi masalah kesehatan di Teluk Weda; dan melakukan proyeksi jangka panjang prevalensi penyakit tidak menular (PTM) untuk memperkirakan potensi kerugian ekonomi akibat biaya perawatan kesehatan dan berkurangnya produktivitas akibat paparan logam berat.
- Meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan melalui pelatihan khusus tentang keracunan logam berat, termasuk dampak kesehatan jangka pendek dan jangka panjang, deteksi dini, dan intervensi medis yang tepat.
- Membangun program kesadaran dan edukasi kesehatan tentang logam berat, terutama kepada kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan hamil untuk meminimalkan paparan dan mempromosikan pilihan pola makan yang lebih aman melalui kampanye kesadaran yang terarah dan panduan gizi.
Selain itu, laporan tersebut juga menekankan pentingnya industri pertambangan dan pengolahan nikel untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja, menyediakan mekanisme pelaporan yang transparan untuk memastikan akuntabilitas terhadap insiden paparan dan kecelakaan kerja, menyediakan pelatihan keselamatan secara rutin mengenai penanganan bahan berbahaya, serta memastikan pengadaan dan pengolahan yang bertanggung jawab.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.