Meningkatnya Tren Gaya Hidup Berkelanjutan di Dunia, Bagaimana di Indonesia?
Selama berabad-abad, aktivitas manusia telah menyebabkan berbagai kerusakan di muka Bumi. Mulai dari pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan hingga praktik industri yang tidak bertanggung jawab dan eksploitasi sumber daya alam atas nama pengembangan ekonomi, semuanya telah menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan yang akhirnya menjadi bumerang bagi kehidupan manusia. Seiring meningkatnya risiko atas krisis yang terjadi, penerapan gaya hidup berkelanjutan menjadi semakin penting. Laporan Healthy & Sustainable Living 2023 yang dirilis oleh lembaga riset GlobeScan menunjukkan adanya tren peningkatan gaya hidup berkelanjutan di banyak negara meski tidak signifikan.
Gaya Hidup yang Berdampak Buruk
Selama ini, disadari atau tidak, ada banyak kebiasaan yang dapat menimbulkan berbagai dampak buruk; tidak hanya terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap perekonomian, kesehatan, dan keberlangsungan hidup makhluk hidup lainnya. Beberapa contoh gaya hidup tersebut adalah:
- Penggunaan plastik sekali pakai. Di antara kita, mungkin sudah tidak terhitung lagi berapa banyak plastik yang kita gunakan yang akhirnya menjadi sampah, baik itu berakhir di TPA ataupun di sungai dan laut. Banyak dari sampah plastik itu yang merupakan plastik sekali pakai. Plastik-plastik tersebut telah menimbulkan berbagai dampak buruk yang signifikan. Pencemaran air sungai dan laut, kematian ikan-ikan, dan kerusakan ekosistem laut, termasuk tiga hal yang paling sering kita saksikan.
- Membuang makanan. Di seluruh dunia, banyak orang yang tidak menghabiskan makanan, bahkan ada yang sengaja melakukannya demi menghindari stigma rakus, terutama saat menghadiri sebuah pesta. Ironisnya, masih banyak orang di seluruh dunia yang kekurangan makanan dan mengalami kelaparan akut. Kabar buruknya, Indonesia termasuk salah satu negara yang menghasilkan sampah makanan terbesar di dunia setiap tahunnya.
- Penggunaan kendaraan pribadi. Di dunia modern, mobilitas setiap orang pada umumnya cukup tinggi, terutama mereka yang hidup di wilayah perkotaan. Sayangnya, banyak orang yang memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding transportasi umum karena alasan lebih fleksibel dan nyaman. Tingginya angka kendaraan di jalan telah menyumbangkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah signifikan setiap tahunnya.
- Penggunaan pendingin. Untuk melawan suhu Bumi yang semakin panas, banyak orang di seluruh dunia yang menggunakan pendingin. Namun, penggunaan pendingin untuk menangkal panas merupakan sebuah paradoks. Di satu sisi, pendingin memang menyelamatkan banyak orang dari kematian akibat cuaca ekstrem; namun di sisi lain, pendingin juga menjadi kontributor signifikan emisi GRK. Tidak hanya soal emisi, penggunaan pendingin juga mempertegas ketimpangan yang terjadi di seluruh dunia.
Tren Gaya Hidup Berkelanjutan
Melibatkan hampir 30.000 responden di 31 pasar di 23 negara, termasuk Indonesia, laporan Healthy & Sustainable Living 2023 mengeksplorasi sejumlah perubahan positif terkait gaya hidup. Beberapa kebiasaan yang menunjukkan tren peningkatan dibanding tahun 2019 antara lain: membawa tas belanja sendiri (67% dari 63%), daur ulang sampah (59% dari 53%), menghindari penggunaan plastik sekali pakai (46% dari 42%), dan membeli produk organik (41% dari 37%).
Namun, meski terdapat tren peningkatan, gaya hidup berkelanjutan belum menjadi arus utama secara global karena sejumlah hambatan. Tingginya biaya yang dibutuhkan untuk menerapkan gaya hidup berkelanjutan merupakan salah satu faktor utama. Produk-produk yang lebih sehat dan ramah lingkungan pada umumnya dijual dengan harga yang lebih tinggi, termasuk buah-buahan dan ikan segar, terutama jika dibandingkan dengan harga makanan instan dan ultra-olahan.
Sebanyak 49% orang mengatakan kurangnya keterjangkauan menghalangi mereka untuk menjalani gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Selain itu, 60% orang mengatakan bahwa mereka sangat ingin mengubah gaya hidup mereka menjadi lebih sehat, namun hanya 30% yang mampu melakukan “perubahan besar”.
Di Indonesia sendiri, belum ada data yang memadai dan komprehensif terkait penerapan gaya hidup berkelanjutan. Sejumlah penelitian yang telah ada hanya menyediakan data parsial berdasarkan wilayah atau kebiasaan spesifik seperti perilaku membuang makanan, pemanfaatan ulang sampah plastik, dan penggunaan kendaraan pribadi. Namun, keadaannya diperkirakan tidak berbeda dengan tren yang berlangsung secara global.
“Orang-orang tidak mengubah perilaku mereka sesuai skala yang dibutuhkan menurut sains. Aksi-aksi yang lebih berdampak, seperti mengutamakan konsumsi sayuran ketimbang daging, atau mengutamakan beli barang bekas dibanding barang baru, masih belum banyak dilakukan,” kata tim GlobeScan dalam laporan tersebut.
Perlu Intervensi
Bertolak dari data dan temuan tersebut, tim peneliti GlobeScan menilai bahwa perubahan yang berarti hanya mungkin dicapai dengan intervensi pemerintah dan komitmen yang kuat dari dunia usaha. Sebanyak 72% konsumen yang diwawancarai dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa mereka menginginkan lebih banyak informasi tentang bagaimana perusahaan membuat produk mereka lebih baik bagi lingkungan. Untuk membantu mengarusutamakan gaya hidup berkelanjutan, seluruh pihak dapat mengikuti kerangka kerja yang dirilis oleh Program Lingkungan PBB (UNEP) yang mencakup aspek utama seperti makanan, perumahan, mobilitas, produksi dan konsumsi, serta pemanfaatan waktu luang.
“Konsumen tak bisa diharapkan untuk mencapai perubahan perilaku skala besar karena ada faktor-faktor di luar kendali mereka seperti kendala keuangan dan infrastruktur…. Untuk itu, kita perlu mengubah pendekatan, yang bukan lagi mengandalkan tanggung jawab konsumen untuk membuat pilihan yang tepat, melainkan mendorong peran perusahaan untuk membuat konsumen hidup lebih baik dan berkelanjutan. Konsumen tidak harus memikirkan hal ini sendiri, melainkan bisa mengandalkan pemerintah untuk melakukan perubahan sistemik yang diperlukan dengan dukungan dunia usaha,” tulis tim GlobeScan.
Pada akhirnya, mendukung gaya hidup berkelanjutan memerlukan pemahaman tentang berbagai kebudayaan yang unik dan spesifik, sehingga tidak ada rumusan atau pola yang dapat diseragamkan secara universal. Perlu juga dipahami bahwa bahwa apa yang disebut “gaya hidup berkelanjutan” tidak selalu harus melibatkan “cara-cara baru” atau segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumsi. Praktik-praktik tradisional, teknologi kuno, dan pola hidup “sederhana” tanpa terlalu konsumtif juga dapat memberikan pelajaran penting dalam merumuskan solusi skala besar. Sekali lagi, menerapkan gaya hidup berkelanjutan bukan hanya tentang menyelamatkan lingkungan, melainkan juga untuk mendukung kehidupan yang baik tanpa meninggalkan seorang pun di belakang.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.