Peluang dan Tantangan Industri Manufaktur Energi Terbarukan di Indonesia

Foto: Wikimedia Commons.
Transisi energi tidak hanya bergantung pada pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, tetapi juga pada ketersediaan teknologi penunjangnya. Dalam hal ini, industri manufaktur dalam negeri berperan penting dalam memastikan pasokan teknologi yang berkelanjutan dan terjangkau. Laporan IESR memberikan gambaran mengenai perkembangan industri manufaktur energi terbarukan di Indonesia, termasuk potensi dan langkah yang dapat diambil untuk memperkuat peran sektor ini dalam mendukung transisi energi.
Ketergantungan pada Impor Teknologi
Di balik infrastruktur energi terbarukan, terdapat kebutuhan akan teknologi seperti panel surya, turbin angin, dan baterai yang sejauh ini sebagian besar masih dipasok dari luar negeri. Meski tengah mendorong pengembangan energi terbarukan, Indonesia belum sepenuhnya siap dalam hal produksi teknologi pendukungnya. Kapasitas industri manufaktur nasional masih terbatas, sehingga ketergantungan pada impor teknologi masih sangat tinggi.
Salah satu negara yang mendominasi pasokan global teknologi energi terbarukan adalah China. Pada 2021 China memproduksi 97% wafer (lembaran tipis silikon yang menjadi bahan dasar sel surya), 85% sel (perangkat semikonduktor), 75% modul (panel surya), dan 79,4% polysilicon (bahan baku utama panel surya) secara global. Selain itu, China juga memimpin pembangunan proyek energi surya dan angin secara global, dengan kapasitas yang sedang dibangun mencapai 339 Giga Watt (GW), lebih dari dua kali lipat gabungan seluruh negara di dunia. Skala produksi dan pembangunan yang besar ini menjadikan China sebagai sumber utama teknologi energi terbarukan yang digunakan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Ketergantungan pada produk impor terlihat dalam berbagai proyek energi terbarukan di Indonesia, yang hingga kini masih banyak menggunakan perangkat keras dari luar negeri, mulai dari modul surya hingga komponen utama turbin angin. Tercatat bahwa kapasitas pembangkit surya Indonesia pada 2022 baru mencapai 0,3 GW, jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang telah mencapai 18,5 GW. Teknologi baterai pun menghadapi tantangan serupa. Meskipun Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, kapasitas pengolahan nikel untuk kebutuhan industri baterai masih sangat terbatas.
Tantangan dalam Pengembangan Industri Manufaktur Energi Terbarukan
Untuk mendukung pengembangan energi terbarukan di Indonesia, ketersediaan teknologi seperti panel surya, turbin angin, dan sistem baterai menjadi faktor kunci. Laporan yang dirilis oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) memetakan sejauh mana kebutuhan Indonesia terhadap teknologi energi terbarukan akan meningkat di masa mendatang, serta bagaimana kapasitas manufaktur nasional masih tertinggal dari proyeksi kebutuhan tersebut.
Untuk mendukung target Net Zero Emissions 2060, Indonesia memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi terbarukan hingga 443 GW, yang terdiri dari 109 GW tenaga surya, 74 GW tenaga angin, dan 34 GW sistem penyimpanan energi. Dalam skenario tambahan yang memperhitungkan kebutuhan listrik untuk produksi hidrogen hijau, total kapasitas pembangkit listrik nasional bahkan diperkirakan meningkat hingga 660 GW, dengan energi terbarukan mencapai hampir 78%, termasuk 266 GW dari tenaga surya. Besarnya kebutuhan ini menjadi alasan penting untuk memperkuat industri manufaktur dalam negeri, agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pelaku dalam transisi energi.
Dalam sektor surya, misalnya, Indonesia baru memiliki kapasitas terpasang sekitar 0,32 GW, sementara permintaan nasional diproyeksikan mencapai 109 GW pada 2060. Sementara itu, sebagian besar komponen penting seperti wafer dan sel surya masih bergantung pada impor. Kapasitas manufaktur dalam negeri saat ini terbatas pada perakitan modul, tanpa dukungan produksi komponen hulu. Laporan IESR mencatat bahwa produk-produk dari luar negeri, terutama dari China, cenderung lebih murah karena skala produksi yang jauh lebih besar, sehingga produsen lokal menghadapi kesulitan untuk bersaing secara harga dan kapasitas.
Hal serupa terjadi dalam pengembangan energi angin dan teknologi baterai. Potensi tenaga angin di Indonesia cukup besar, namun kapasitas terpasang baru sekitar 154 MW. Komponen utama seperti blade (baling-baling turbin angin) dan generator belum diproduksi di dalam negeri. Untuk baterai, meskipun Indonesia menyumbang sekitar 52% produksi nikel global, pengembangan bahan aktif baterai dan precursor (bahan setengah jadi untuk membuat bagian utama baterai) di dalam negeri masih sangat terbatas. Hingga saat ini, baru terdapat satu fasilitas produksi sel baterai di Indonesia dengan kapasitas sekitar 10 GWh.
Jika dikembangkan sesuai dengan proyeksi kebutuhan domestik, industri manufaktur energi terbarukan di Indonesia berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Potensi nilai perputaran ekonomi dan peluang penciptaan lapangan kerja dari industri manufaktur energi terbarukan dan rantai pasoknya untuk kebutuhan dalam negeri pada 2060 mencapai angka yang signifikan. Rinciannya, panel surya diperkirakan mencapai USD 236,3 miliar dengan 5,7 juta lapangan kerja per tahun, turbin angin sebesar USD 75,2 miliar dengan 1,8 juta lapangan kerja per tahun, dan baterai untuk kendaraan listrik dan penyimpanan energi sebesar USD 250 miliar dengan 2,4 juta lapangan kerja per tahun. Potensi ekonomi ini dapat meningkat lebih jauh apabila pasar ekspor turut dimanfaatkan.
Perlunya Dukungan Kebijakan dan Ekosistem untuk Penguatan
Besarnya potensi dan kebutuhan teknologi energi terbarukan di Indonesia tidak dapat diwujudkan tanpa dukungan kebijakan dan ekosistem yang memadai. Untuk itu, IESR memberikan rekomendasi yang dapat menjadi landasan penguatan industri manufaktur energi terbarukan dalam negeri:
- Membangun ekosistem industri manufaktur dalam negeri, khususnya untuk panel surya, turbin angin, dan baterai, setidaknya pada tahap perakitan lengkap dan sektor Engineering, Procurement, and Construction (EPC). Pengembangan rantai pasok yang terintegrasi memerlukan studi kelayakan lanjutan serta pemetaan potensi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan nasional dan global, sejalan dengan target pemerintah.
- Menetapkan kerangka kebijakan dan regulasi yang terintegrasi, termasuk peta jalan untuk mendorong adopsi energi terbarukan secara berkelanjutan dan penguatan industri manufaktur penunjangnya. Perencanaan dua aspek ini perlu disusun secara sejalan agar pengembangan energi terbarukan juga mendorong pertumbuhan kapasitas industri di dalam negeri.
- Komitmen tinggi dari pemerintah dalam menjalankan strategi industri sebagai bagian dari strategi ekonomi nasional. Komitmen ini perlu diiringi dengan dukungan berupa insentif, akses pembiayaan, dan kebijakan lain yang mendukung terbentuknya ekosistem industri yang ideal dari hulu ke hilir. Pelaksanaan kebijakan dan target pemerintah juga perlu dibangun secara transparan agar dapat dipantau oleh publik dan para pemangku kepentingan.
- Penguatan industri manufaktur harus dibarengi dengan kesiapan tenaga kerja melalui kebijakan yang mendukung pengembangan keterampilan (reskilling dan upskilling), terutama di sektor-sektor energi terbarukan. Pekerja perlu menguasai keterampilan baru yang sesuai dengan kebutuhan transisi energi, mulai dari manufaktur hingga rantai pasoknya. Prediksi kebutuhan talenta dan keterampilan ke depan menjadi penting untuk mencegah potensi hambatan dalam pengembangan industri.
Editor: Abul Muamar