Perjuangan Para Difabel di Gaza, Palestina
Difabel termasuk kelompok yang paling rentan dalam konflik bersenjata. Di tengah pendudukan Palestina yang sedang berlangsung, kelompok difabel di Gaza tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup, tetapi juga jumlahnya meningkat pesat.
Cerita dari Beberapa Difabel di Gaza
Ousama Abu Safar melarikan diri ke selatan Gaza dengan kursi rodanya. Ia membawa serta kedua putranya dalam perjalanan yang mengerikan. Wilayah selatan relatif lebih aman, namun sekolah PBB tempat ia berlindung tidak memiliki jalur landai untuk membantunya beraktivitas. Di sana juga hanya ada toilet jongkok yang tidak bisa ia gunakan.
Cerita lainnya tentang Basma. Basma dan keluarganya tetap tinggal di rumah mereka dan tidak dapat mengungsi karena masalah mobilitas. Akibat penutupan penyeberangan, mereka kesulitan mendapatkan popok dewasa dan kebutuhan lainnya.
Ada pula cerita Iman dan adiknya, yang tidak bisa mendengar bom karena tidak memiliki alat bantu dengar. Iman menceritakan, “Saya merasakan tanah berguncang, dan saya melihat orang-orang berlarian tanpa saya tahu apa yang sedang terjadi. Saya merasa sendirian, terisolasi dari semua orang.”
Ousama Abu Safar, Basma, serta Iman dan adiknya hanyalah empat dari hampir 50.000 difabel di Gaza.
Semakin Bertambah
“Difabel di wilayah ini semakin meningkat karena seringnya terjadi konflik bersenjata, ditambah pemboman yang terjadi di Jalur Gaza saat ini, dan semua tim bantuan serta badan internasional harus mempertimbangkan hal ini,” kata Heba Hagrass, Pelapor Khusus PBB tentang hak-hak difabel.
Banyak warga sipil Palestina mengungsi ke selatan Gaza, namun diperkirakan setengah juta orang masih berada di utara. Banyak dari mereka yang tidak dapat meninggalkan negaranya adalah kelompok yang paling rentan, termasuk para difabel dan keluarganya.
Wilayah selatan sebenarnya hanya sedikit lebih baik. Cluster Shelter Palestine dan Protection Cluster oPt melaporkan “meningkatnya kekhawatiran terhadap kelompok rentan yang berjuang dengan ketiadaan tempat berlindung.”
Tempat penampungan yang ada tidak memadai untuk jangka panjang, terutama bagi para difabel. Menurut UNRWA (Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat), inisiatif menyangkut difabel dan inklusi yang ada saat ini masih sebatas dukungan psikososial dasar (psychosocial support/PSS). UNRWA telah mendistribusikan 108 alat bantu, dan diperkirakan akan lebih banyak lagi yang dibutuhkan.
Kilas Balik
Bertambahnya difabel di Palestina tidak hanya dimulai sejak 7 Oktober 2023. Jauh sebelum itu, jumlah difabel di negara tersebut telah bertambah akibat pendudukan oleh Israel. Pada tahun 2018, misalnya puluhan ribu warga Palestina terluka selama protes massal March of Great Return. Petugas medis di lapangan melaporkan bahwa pasukan Israel menembak para demonstran dengan “peluru kupu-kupu”, yang “meledak” saat terjadi benturan. Hal ini menyebabkan puluhan warga Palestina diamputasi, sehingga menambah jumlah difabel di Gaza.
Marie-Elisabeth Ingres, kepala Dokter Lintas Batas (MSF) di Palestina, mengatakan dalam sebuah laporan, “Setengah dari lebih dari 500 pasien yang kami rawat di klinik kami mengalami luka di mana peluru benar-benar menghancurkan jaringan tubuh mereka setelah menghancurkan tulangnya. ”
Saat itu, Israel membantah klaim tersebut dan mengatakan, “IDF hanya menggunakan cara-cara yang sah berdasarkan hukum internasional.”
Pelanggaran Hukum Internasional
Namun, Israel terbukti melanggar beberapa hukum internasional. Pakar PBB menyebut pelanggaran berat yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina pascatragedi 7 Oktober, khususnya di Gaza, merupakan “genosida yang sedang berlangsung”.
Salah satu pelanggaran yang dilakukan Israel adalah mengenai difabel. Padahal Israel turut menandatangani Konvensi PBB tentang Hak Difabel. Pasal 11 Konvensi itu mewajibkan semua negara pihak “untuk menjamin perlindungan dan keselamatan para difabel dalam situasi berisiko, termasuk situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan, dan bencana alam.”
Heba Hagrass juga menilai operasi militer Israel melanggar Resolusi Dewan Keamanan 2475 (2019). Dalam Resolusi 2475 (2019), Dewan Keamanan dengan suara bulat menyetujui “Negara-negara Anggota dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata untuk melindungi para difabel dalam situasi konflik dan memastikan mereka memiliki akses ke keadilan, layanan dasar, dan bantuan kemanusiaan tanpa hambatan.”
Meskipun sudah ada peraturan, perlindungan, keselamatan, dan hak-hak para difabel dalam konflik bersenjata sebagian besar masih “terabaikan”, seperti di Gaza. Oleh karena itu, meningkatkan dukungan kemanusiaan global yang inklusif merupakan sebuah urgensi dan penting untuk membangun perdamaian bagi semua.
Catatan: Informasi dalam artikel ini akurat per 27 November 2023.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.