Rendahnya Minat Baca Adalah Masalah Struktural

Foto: Wendelin Jacober di Pexels.
Membaca merupakan salah satu fondasi dalam pembelajaran yang dapat membantu memperluas wawasan, meningkatkan pemahaman, dan mengembangkan kapasitas berpikir. Namun, meski akses terhadap bahan bacaan hari ini relatif lebih luas, minat baca tetap saja rendah. Bagi tak sedikit orang, membaca sering dianggap sebagai aktivitas yang kurang mendesak, bahkan suatu kemewahan, terutama bagi orang-orang yang masih berjibaku dengan masalah kesejahteraan.
Hal ini membuat argumen yang menyatakan rendahnya minat baca karena keterbatasan infrastruktur maupun akses terhadap bahan bacaan menjadi kurang relevan. Kenyataannya, rendahnya minat baca adalah masalah struktural, yang erat kaitannya dengan isu kemiskinan dan ketimpangan dalam berbagai dimensi.
Rendahnya Minat Baca dan Kemiskinan
Berdasarkan data Indeks Aktivitas Literasi Membaca tahun 2019, rata-rata indeks nasional termasuk dalam kategori literasi masih rendah. Kondisi tersebut salah satunya dipengaruhi oleh dimensi budaya (kebiasaan membaca) yang masih rendah.
Di kalangan pelajar, membaca seringkali hanya dilakukan untuk keperluan pengerjaan tugas sekolah atau pemenuhan proses pembelajaran, sehingga buku-buku yang dibaca lebih sering hanya sebatas buku pelajaran. Budaya membaca yang lemah ini pada waktunya semakin memudar dan lenyap ketika para pelajar tersebut telah lulus dan tak lagi menempuh pendidikan. Di kalangan masyarakat umum, membaca sering dianggap sebagai aktivitas yang kurang penting dan membuang-buang waktu, terlebih bagi mereka yang masih berjuang untuk memperoleh penghidupan yang layak. Akibatnya, pembelajaran sepanjang hayat yang mensyaratkan membaca sebagai salah satu instrumen utamanya menjadi sulit diwujudkan di tengah masyarakat yang tak terbiasa membaca dalam kehidupan sehari-hari.
Minat baca bukanlah hal yang timbul begitu saja, melainkan lahir dari stimulasi dan kebiasaan yang didukung dan terbentuk oleh berbagai prasyarat, seperti waktu luang, energi, ruang tenang dan nyaman, kemampuan berpikir, dan ketenangan pikiran, yang itu semua dimungkinkan oleh kehidupan yang layak. Anak-anak atau orang yang memiliki minat baca yang tinggi atau menjadi pembaca aktif biasanya adalah mereka yang terpapar bacaan sejak kecil atau berasal dari keluarga terdidik-sejahtera yang mampu mendukung mereka dengan bahan bacaan. Dalam kehidupan banyak orang di Indonesia, prasyarat tersebut seringkali sulit dimiliki karena dalam keseharian masih harus berkutat dengan tekanan ekonomi, termasuk anak-anak dari kalangan keluarga miskin yang seringkali terpaksa harus ikut bekerja untuk membantu meringankan beban ekonomi keluarganya. Dengan kondisi demikian, membaca buku bukan hanya sulit dilakukan, tetapi bahkan sering tidak terlintas di pikiran.
Hidup dalam kemiskinan tentu berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk asupan nutrisi. Gizi yang buruk atau kekurangan nutrisi akan menyebabkan rendahnya kemampuan kognitif yang berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mencerna informasi, termasuk saat membaca, hingga berdampak terhadap pencapaian pendidikan. Selain itu, orang tua dengan tekanan ekonomi yang besar juga akan jarang memiliki kesempatan untuk mengakses bacaan apalagi menumbuhkan kebiasaan membaca dalam keluarga, karena waktu dan energinya dicurahkan untuk bekerja. Dalam kondisi demikian, minat baca akan sulit terbangun hanya dengan ketersediaan bahan bacaan.
Buku dan Perpustakaan Tersedia tapi Pembacanya Tidak Ada
Pendekatan pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya dalam mengatasi rendahnya minat baca masyarakat seringkali berkutat pada pengadaan infrastruktur atau dukungan material seperti perpustakaan, program-program hibah bagi komunitas literasi, atau bantuan buku sampai ke desa-desa. Sebagai contoh, pada tahun 2025 Perpustakaan Nasional memiliki program Bantuan Bahan Bacaan Bermutu yang menyasar perpustakaan umum desa, kelurahan, taman baca masyarakat (TBM), dan perpustakaan rumah ibadah. Program semacam ini juga telah sering diluncurkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Meski mungkin responsif, pendekatan semacam itu seringkali tidak menyentuh akar persoalan– tidak membuat minat membaca masyarakat membaik. Perpustakaan telah hadir di setiap daerah bahkan sampai ke desa, tetapi pengunjungnya sepi. Buku-buku dari Jawa dikirim hingga ke sekolah-sekolah di pelosok daerah, tetapi bertahun-tahun hanya dipajang, hingga pada akhirnya dijual ke penadah barang bekas ketika ruangan sudah tidak muat dan bantuan buku baru akan datang lagi.
Selain itu, hadirnya komunitas-komunitas literasi di berbagai daerah seringkali juga tidak mampu menjawab persoalan. Banyak komunitas literasi yang aktivitasnya bersifat eksklusif dan hanya melibatkan orang-orang yang memang punya minat dan ketertarikan pada buku atau berkecimpung dalam dunia buku atau kepenulisan, sehingga tidak menjadi wadah transformasi sosial yang menjawab kebutuhan konkret masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan orang-orang dengan disabilitas.
Mengatasi Akar Permasalahan
Rendahnya minat baca adalah salah satu tantangan terbesar di Indonesia yang menghambat pencapaian cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang pada gilirannya juga akan menghambat pembangunan manusia. Hal ini menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil untuk bahu-membahu mengatasinya secara sistemik.
Pemerintah perlu membentuk kebijakan yang menjadikan literasi sebagai prioritas nasional untuk meningkatkan minat baca, antara lain dengan mengintegrasikan agenda literasi ke dalam program-program pemberantasan kemiskinan, memperluas akses terhadap pendidikan berkualitas yang terjangkau, dan menjadikan literasi sebagai indikator pembangunan manusia yang sama pentingnya dengan angka partisipasi sekolah. Singkatnya, literasi dengan penguatan pada minat baca harus menjadi agenda lintas sektor yang menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Peningkatan minat baca masyarakat harus berjalan beriringan dengan upaya pemberantasan kemiskinan, pemenuhan hak-hak asasi secara memadai, dan perluasan akses ke berbagai layanan dasar yang berkualitas.
Dunia pendidikan, termasuk sekolah, pendidik, dan lembaga pengembang kurikulum, juga memiliki peran besar. Sekolah perlu bertransformasi menjadi ruang yang menumbuhkan kecintaan terhadap kegiatan membaca dan memperoleh pengetahuan. Di sisi lain, dunia usaha khususnya penerbit, toko buku, dan pelaku industri literasi perlu mengambil peran sosial yang lebih kuat, misalnya dengan memperluas akses terhadap buku murah dan berkualitas, menjalin kemitraan dengan sekolah dan komunitas, serta mendorong inovasi digital untuk menjangkau pembaca yang lebih luas, khususnya di daerah-daerah terpencil. Sementara itu, komunitas literasi juga perlu melakukan kegiatan atau gerakan yang menjangkau masyarakat umum secara inklusif, seperti komunitas buruh, perempuan, orang dengan disabilitas, dan anak-anak, untuk mengarusutamakan kegiatan membaca di tengah masyarakat.

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional dengan pembaruan seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan hasil temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.