Rumah Baca Komunitas: Menyemai Pendidikan Ekoliterasi dan Kesadaran Lingkungan
Di bawah siraman sinar mentari kemarau siang itu, kebun kecil seukuran 200 meter persegi di halaman depan dan samping Rumah Baca Komunitas menyambut kedatangan saya. Kebun kecil itu menyuguhkan kerindangan yang menenangkan. Pada “pintu masuk”, tanaman telang merambat dan menutupi sebagian tulisan “Kebun Ekoliterasi” di bagian atas. Bunga-bunganya yang berwarna ungu mekar di sana-sini.
Selain telang, berbagai jenis tanaman tumbuh subur di kebun itu; ada tanaman yang bisa dipakai untuk obat-obatan herbal, tanaman pengusir nyamuk, hingga tanaman buah seperti parijoto dan tin. Saya menengok satu per satu tanaman di kebun kecil itu selagi menunggu David Effendi, pendiri Rumah Baca Komunitas, yang baru tiba beberapa saat kemudian.
“Maaf ya, tadi ada kendala,” kata Cak David—sapaan akrab David Effendi. Pria yang juga merupakan staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu menjabat tangan saya dengan hangat.
Hari ini, sudah sepuluh tahun lebih Rumah Baca Komunitas (RBK) berdiri. Layaknya pohon, RBK mencoba memberi manfaat bagi banyak orang, dengan menyemai pendidikan ekoliterasi dan menebarkan kesadaran lingkungan kepada semua orang dari berbagai latar belakang. Melalui buku, kampanye lingkungan, aksi damai, dan seminar, aktivisme di ruang publik dengan model pendidikan lingkungan diujicobakan dengan kegiatan Sekolah Pemuda Ekoliterasi, Literasi Camp, serta riset-riset dan jurnalisme ekologi.
Mengusung slogan “Membaca, Menulis, Menanam”, tahun 2020 dan 2021 RBK menjadi pemrakarsa kampanye dan aksi “Faith for Climate Justice” di Indonesia. Sejak 2022, RBK menjadi salah satu vocal Greenfaith International Network untuk Indonesia.
Atas nama Green Network, saya mewawancarai pria kelahiran Lamongan itu di markas RBK yang berada di sudut gang kecil di Dusun Kanoman, RT 04/RW 05, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Rabu, 3 Agustus 2022.
Apa masalah utama yang Anda lihat di masyarakat, khususnya menyangkut literasi dan lingkungan?
Ada hubungan yang kuat antara ketimpangan pengetahuan dengan akses bacaan yang buruk akibat rendahnya dukungan publik mengenai berbagai macam persoalan lingkungan. Misalnya, rendahnya pengetahuan tentang hukum dan HAM yang menjadikan masyarakat tidak tahu harus melapor ke mana dan harus berbuat apa ketika kampungnya tiba-tiba dipalang atau ketika tiba-tiba air di desa mereka disedot oleh perusahaan, tanpa mereka tahu perjanjiannya dengan siapa dan bagaimana.
Jadi saya membangun tesis itu. Dari situ, muncul perjuangan yang mungkin sebetulnya menyambung dari pikiran-pikiran orang lain, yakni pendidikan ekoliterasi. Pendidikan itu harus mendorong seseorang agar peduli kepada manusia, kepada alam semesta, kepada lingkungan hidupnya.
Hari ini kita menyaksikan, ketika tanah di sebuah desa sudah dijadikan proyek korporasi atau pembangunan, orang-orang baru sadar, ‘oh ternyata kampung ini punya kekhasan ini itu’. Menurut saya, tidak harus menunggu konflik pecah dulu untuk mengetahui potensi-potensi itu. Jadi sebelum terjadi konflik, masyarakat harus didorong untuk bisa mengenali sumber daya di desanya, mengenali karakteristik tanaman-tanaman yang mungkin sebetulnya punya khazanah pengobatan, punya khazanah sejarah, dan sebagainya. Ini yang sangat kurang.
RBK sudah berdiri selama satu dekade lebih. Jika menengok balik ke belakang, apa yang mendorong Anda mendirikan komunitas ini?
Saya berangkat sebagai aktivis sosial—saya mengklaim diri seperti itu, ya—dan saya bergerak di dalam isu literasi sejak saya SMP. Dulu saya mengelola mading atau apapun yang terkait literasi. Ketika SMA saya ikut ekstrakurikuler jurnalistik, mengelola majalah. Kemudian saat kuliah di UGM saya gabung pers mahasiswa Balairung. Saya juga gabung Ikatan Pelajar Muhammadiyah, semua nyaris urusannya buku, literasi, jurnalisme.
Kemudian muncul satu keresahan di saat saya kuliah ketika saya berkegiatan ke daerah, berkegiatan di luar Jogja, bahkan di pinggiran Jogja, seperti di Gunung Kidul dan Kulon Progo, ternyata ada persoalan serius yang saya temukan. Saya melihat betapa pentingnya sebuah ruang baca yang bebas, ruang baca yang tidak dibatasi oleh jam kerja, tidak dibatasi oleh kepemilikan. Dari situ, waktu itu tahun 2011, saya menyulap kontrakan yang awalnya lebih privat. Kita buka menjadi tempat yang bisa dikunjungi orang-orang, bisa menjadi tempat diskusi, berdonasi buku, dan sebagainya.
Saya melihat ada gap yang sangat serius untuk kita tanggulangi dalam hal akses bacaan dan pengetahuan. Ada banyak lembaga yang sebetulnya menurut saya bisa mengatasi itu, namun nampaknya sangat lambat mengupayakannya.
Berapa tahun setelah itu, saya merefleksikan bahwa ketimpangan bacaan ini juga menjadi penyebab rendahnya kesadaran orang untuk membela lingkungan, membela kampungnya, membela sumber daya alam yang mungkin akan menggaransi mereka hidup lebih lama.
Pada level berikutnya, saya ingin mendorong orang-orang untuk memproduksi pengetahuan yang orisinil dari kampung-kampungnya, di mana masyarakat menjadi pusat dan alam menjadi kekuatan penopang hidup komunitas itu. Seperti di Kendeng dan Wadas, contohnya.
Dari semua itulah saya mendirikan komunitas ini. Awalnya, dua tahun pertama, RBK orientasinya hanya literasi an sich. Dulu awalnya kita mulai dengan slogan “Aku datang, aku membaca, aku merdeka”. Kemudian tahun 2014 itu, slogan kami berubah menjadi “membaca, menulis, menanam”. Di situ RBK memasuki gelombang baru kesadaran, yang saya kira dalam konteks mewacanakan ekoliterasi, RBK bisa dibilang pionir karena cukup awal. Termasuk pioneer dalam hal perpustakaan jalanan. Waktu itu kami turun ke Alun-Alun Kidul yang kesannya hanya tempat orang berdagang.
Apa kekhasan RBK kalau dibandingkan dengan komunitas literasi yang lain?
RBK berisi anak-anak muda yang berasal dari beragam etnis dan daerah, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi, Bangka, banyak sekali. Kami percaya bahwa dengan beragamnya orang yang bergabung di RBK, ada prospek ketika mereka pulang, mereka bisa mewarnai daerah mereka, dan itu sudah terbukti. Di Pulau Buru, ada rumah belajar komunitas yang digagas salah satu pegiat RBK, concern dalam isu lingkungan hidup. Di Bangka, di Lampung, di Papua, di Sulawesi juga ada. Mereka belajar dari RBK lalu mewarnai kampungnya.
Kami mendorong pegiat RBK untuk tidak puas dengan pengetahuan yang dimiliki. Ada yang lulus dari Inggris, Prancis, Australia, mau belajar di RBK. Tiga orang ini fokus isunya di lingkungan semua. Kami juga menjunjung inklusivitas. Kami tidak membatasi kelompok mana pun yang ingin belajar bersama di sini. Kami biasa melalukan sesuatu dengan keragaman yang sangat menonjol.
Kekhasan lainnya adalah RBK percaya bahwa orang-orang yang datang ke sini untuk meminjam buku adalah orang-orang baik, yang tidak perlu kita curigai kalau pinjam dikembalikan atau tidak. Jadi bebas meminjam berapa banyak. Ini sekaligus kita mengajarkan kepada negara yang kurang membuka akses bacaan. Perpustakaan kota saja, misalnya, hanya membolehkan orang meminjam maksimal hanya 3 buku, dan harus meninggalkan KTP. Bagi saya itu sangat tidak menyenangkan.
Apa saja kegiatan yang diadakan RBK?
RBK punya beberapa program selain ecoliteracy dan green movement. Ada movie screening, movie discussion, sharing ideas, Diskusi Rebo’an, RBK for kidz, Diskusi Jumat sore, bedah buku, aksi diam, perpustakaan jalanan, sharing books, sharing inspiration, dan apresiasi seni dan sastra.
Selain itu, kami juga sering menggelar kegiatan-kegitan untuk menyuarakan ekoliterasi, seperti diskusi publik, berbagi tanaman, kampanye, aksi teatrikal dan aksi jalan di berbagai tempat untuk menyuarakan keadilan iklim, seperti di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan dan Titik Nol KM Yogyakarta.
Bagaimana dengan pembiayaan RBK?
Kami punya karya-karya yang bisa kami jual. Kalau kami butuh dana kami jual lukisan, jual kaos, totebag, ada jasa mural juga. Kemudian jasa riset, misalnya ada lembaga yang butuh dukungan riset. Kami melayani itu. Entah dari LIPI, dari luar negeri, atau riset doktoral.
Jadi RBK ini betul-betul komunitas, bukan yayasan, bukan lembaga yang terdaftar. Tidak ada struktur di sini.
Nilai-nilai apa saja yang diusung atau ditanamkan di RBK?
Nilai inklusivitas, itu jelas. Kemudian nilai kesukarelaan. Kami nyaris tidak memiliki uang kas, tapi kalau kami ada kegiatan dan butuh dana, kami selalu punya cara untuk mendanainya, dan itu sudah bertahan selama 10 tahun ini.
Kemudian, kami menjunjung pluralitas, adil gender, reflektif, dan apapun bisa diobrolkan. Selain itu, kami juga adalah komunitas yang independen. Itu kenapa kami tidak mau menjadi yayasan yang bisa menerima dana dari banyak pihak.
RBK punya slogan “membaca, menulis, menanam”, bagaimana sejauh ini output-nya?
Membaca dan menulis itu barangkali sudah built-in, ya, di dalam sebuah komunitas literasi. Membaca, menulis, dan menghasilkan karya, itu biasa. Tetapi untuk menanam, butuh effort yang lebih besar. Kami membuat hutan mikro (sambil menunjuk ke arah kebun literasi). Tanaman-tanaman ini semua dari wakaf, kemudian kami bibitkan, lalu kami bagikan ke ruang publik, ke Alun-alun, Nol KM, dan juga panti asuhan.
Bagi kami, menanam itu bukan soal seberapa luas lahan yang ditanami, tapi bahwa kegiatan menanam itu nilainya revolusioner. Kami mendorong setiap pegiat di sini agar punya kesadaran untuk menanamkan nilai itu kepada peserta didik, kepada anak-anak terutama, karena kami punya program RBK for Kidz. Anak-anak kami ajak untuk menanam pohon dan mengenali alam semesta. Bagaimana agar anak-anak itu cinta pada tanaman; menanam, merawat, dan melihatnya sampai berbuah.
Masalah lingkungan ini tantangannya adalah bagaimana agar edukasi dan gerakan yang kita lakukan bisa diterima oleh masyarakat. Bagaimana mengkomunikasikannya ke masyarakat, itu terkadang yang menjadi kesulitan. Tapi kami sudah menyadari itu, jadi kami kolaborasi dengan anak-anak mahasiswa yang sedang KKN, dengan ibu-ibu, seperti membuat ecoprint, dan lain-lain.
Bagaimana ekoliterasi bisa menjawab masalah ekologis saat ini?
Konsekuensi dari gerakan literasi terkesan berat di perwacanananya. Kami tidak mau hanya selesai di wacana, tapi juga ada praktik yang kami ujicobakan. Makanya kami punya kebun ini (sambil menunjuk). Paling tidak kami punya bahan permenungan, bagaimana pohon itu kering kalau tidak disiram, bagaimana mereka tumbuh besar dan berkembang lalu berbuah. Itu menjadi refleksi sehari-hari kita.
Jadi kalau cuma berhenti di wacana, refleksinya jadi terlalu akademik, seperti di atas menara gading. Saya pikir lebih baik kita membuat mikro hutan kayak begini sebanyak-banyaknya daripada perwacanaan. Bukan perwacanaan tidak penting, ya. Melalui ekoliterasi itu pengetahuan kita jadi bersifat kritis dan emansipatoris. Kita punya aktivitas melindungi alam.
Kita lahir dan berkembang di bawah cengkeraman modernisme yang memang tidak ramah lingkungan. Itu tidak kehendaki. Kita lahir sudah ada motor, sudah ada pesawat, listrik tinggal menyalakan, dan lainnya. Jadi lebih berat perjuangannya dibanding misalnya kalau kita lahir dari hutan, dari masyarakat adat, yang mungkin dosa ekologisnya kecil.
Kita memang enggak bisa benar-benar jadi makhluk yang paripurna, kita hanya bisa mengurangi sedikit prahara yang kita timbulkan sendiri.
Pertanyaan ini sulit untuk dijawab, ya. Soal bagaimana agar ekoliterasi itu efektif dalam menjawab tantangan ekologis, paling tidak, ekoliterasi–saya yakin–bisa menciptakan kesadaran baru, baik di level individu, level komunitas, maupun level yang lebih struktural. Saya pribadi membiasakan diri tidak membuang sampah. Sampah sebisa mungkin berakhir di rumah saya. Tidak perlu ada langganan iuran sampah.
Ekoliterasi dengan cara kampanye untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, itu penting. Ekoliterasi memang tidak akan bisa menjawab dengan memuaskan masalah lingkungan yang ada, tetapi tidak ada salahnya kita mencegah kerusakan alam dengan menebarkan pendidikan dan kesadaran kepada orang-orang tentang betapa pentingnya merawat alam raya ini.
Apa yang Anda harapkan dari pemerintah dan para stakeholder terkait ekoliterasi dan kelestarian lingkungan?
Untuk para pegiat literasi dan anak-anak muda, penting untuk bersuara dalam isu kelestarian lingkungan hidup. Karena anak-anak muda ini yang akan menerima persoalan dampak lingkungan jika pembangunan tidak pernah ditolak atau dikritisi. Anak muda harus punya keberpihakan yang baik terhadap lingkungan, terhadpa persoalan-persoalan yang muncul akibat perubahan iklim dan pembangunan.
Kalau saya boleh mencolek negara, produksi pengetahuan berbasis penggalian potensi di daerah-daerah absen diupayakan oleh negara. Negara sering memberikan dana kepada perguruan tinggi atau kepada kelas menengah terdidik, yang orientasi produksi pengetahuannya -sadar atau tidak sadar- mungkin terwarnai oleh potensi bias latar belakang mereka, sehingga tidak optimal dalam mengafirmasi pengetahuan masyarakat lokal.
Dana-dana riset yang besar itu saya lihat tidak muncul ke sana. Saya kebetulan mengoleksi karya-karya antropologi yang basisnya nilai-nilai kearifan lokal. Karya-karya itu lebih banyak dihasilkan oleh peneliti dari luar negeri atau jurnalis-jurnalis independen daripada orang-orang yang didanai besar oleh negara— mereka hanya sibuk meriset birokrasinya, meriset tata kelolanya, yang itu ujung-ujungnya enggak banyak memberikan arti bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Sebetulnya pemerintah, misalnya lewat perpustakaan daerah atau lewat Dana Desa misalnya, bisa mengakselerasi penyelesaian masalah ketimpangan bahan bacaan itu daripada sibuk memvonis masyarakat “minat bacanya rendah”. Bagaimana orang bisa minat buku kalau akses buku bagi mereka masih rendah?
Aktivitas Rumah Baca Komunitas dapat disimak melalui Instagram.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.