Bagaimana Suku Semende di Muara Enim Hidup Berdampingan dengan Kucing Hutan
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan makhluk hidup lainnya, tidak terkecuali satwa liar. Namun, di banyak tempat, berbagai aktivitas antropogenik dan atas nama pembangunan telah menyebabkan ruang hidup satwa liar semakin berkurang, sehingga terkadang memaksa mereka memasuki wilayah manusia. Akibatnya, konflik manusia-satwa liar pun bisa terjadi sewaktu-waktu, sehingga keberadaan dan populasi satwa liar menjadi semakin terancam. Di Muara Enim, Sumatera Selatan, masyarakat Suku Semene berusaha menjaga keanekaragaman hayati di hutan mereka dengan hidup berdampingan dengan berbagai satwa liar, termasuk kucing hutan.
Penurunan Populasi dan Ancaman Kepunahan
Kucing hutan adalah hewan predator karnivora yang termasuk dalam famili felidae yang hidup di hutan. Seperti predator pada umumnya, kucing hutan memiliki karakter tubuh yang kuat dan gesit. Satwa ini berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan rantai makanan di hutan.
Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 36 spesies kucing hutan dan 9 di antaranya tersebar di tiga pulau Indonesia: Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Dari 9 spesies yang ada di Indonesia, 6 di antaranya hidup di hutan Sumatera. Enam spesies tersebut adalah macan dahan (Neofelis diardi), kucing emas (Catopuma temminckii), kucing batu (Pardofelis marmorata), kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis), kucing tandang (Prionailurus planiceps), dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Namun sayangnya, kerusakan ekosistem hutan akibat deforestasi dan berbagai faktor lainnya telah menyebabkan penurunan populasi kucing-kucing hutan tersebut hingga menimbulkan ancaman kepunahan, termasuk kucing emas dan harimau sumatera.
Menurunnya populasi kucing hutan tidak lepas dari pandangan negatif masyarakat terhadap hewan predator ini. Secara umum, kucing hutan dianggap sebagai ancaman bagi hewan ternak dan dianggap mengancam keamanan manusia. Pandangan ini membuat banyak orang terdorong untuk membunuh kucing hutan. Selain itu, adanya pasar ilegal satwa liar yang menawarkan harga tinggi mendorong sebagian warga untuk menangkap dan memperdagangkan kucing hutan. Dan semua hal ini turut diperparah oleh berkurangnya habitat asli mereka akibat deforestasi dan alih fungsi lahan, serta perubahan iklim yang berdampak terhadap sumber daya makanan dan air di hutan.
Kucing Hutan bagi Suku Semende
Menyadari betapa pentingnya kehadiran satwa liar dalam kehidupan, masyarakat Suku Semende, terutama yang hidup di dekat hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Kabupaten Muara Enim, memilih untuk hidup berdampingan, termasuk dengan kucing-kucing hutan. Perjumpaan mereka dengan kucing-kucing hutan liar merupakan hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Alih-alih menganggap kucing hutan sebagai ancaman, mereka justru memperlakukan kucing hutan seperti saudara dan membangun relasi yang kuat dan saling menguntungkan.
Misalnya, dengan berbagi ruang hidup, masyarakat Suku Semende menjadikan kucing hutan sebagai “penjaga” tanaman pertanian dan perkebunan mereka dari gangguan berbagai hama seperti babi hutan, tikus, dan burung. Dengan demikian, hasil panen pertanian mereka pun senantiasa terjaga.
Peran kucing hutan pun semakin penting mengingat dalam tradisinya, masyarakat Suku Semende menganggap padi sebagai tanaman yang sakral, sehingga siapa saja yang turut menjaga keberlangsungan padi merupakan saudara mereka. Bahkan, bagi sebagian besar masyarakat Suku Semende, harimau sumatera adalah nenek moyang mereka. Orang-orang Suku Semende yakin bahwa kucing hutan, termasuk harimau, tidak akan menyerang ketika bertemu selama masyarakat menghormati keberadaan mereka.
“Masyarakat tidak boleh mengganggu habitat kucing hutan di sekitaran desa karena keberadaan mereka berfungsi untuk menjaga tanaman kami dari hama pengganggu,” kata Syarifudin, salah satu anggota masyarakat Suku Semende di hutan adat Jurai Pancung.
Hidup Berdampingan
Populasi manusia dan keanekaragaman hayati berjalan ke arah yang berlawanan. Saat keanekaragaman hayati terus menurun, populasi manusia diperkirakan akan terus meningkat, sekalipun dengan adanya tren perlambatan. Hal ini berarti penyusutan habitat satwa liar akan masih terus berlanjut di masa-masa mendatang dan meningkatkan ancaman terhadap populasi mereka. Dengan demikian, hidup berdampingan mungkin akan menjadi satu-satunya pilihan ketika ekspansi ruang hidup manusia menjadi hal yang tak terelakkan. Yang perlu kita lakukan adalah menghadapi kenyataan ini dan mengelolanya dengan cara-cara yang baik dan berkelanjutan bagi semua makhluk hidup dan lingkungan.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.