Dilema Sampah Covid di Asia Selatan

Foto oleh Nataliya Vaitkevich dari Pexels
Sebelum COVID-19, Asia Selatan telah menjadi salah satu wilayah penyumbang polusi plastik terbesar. Dengan meningkatnya kasus COVID-19, pada November 2021 lebih dari 8 juta ton sampah plastik imbas dari pandemi telah dihasilkan secara global. Dari jumlah tersebut, sebanyak lebih dari 25.000 ton sampah plastik telah mencemari lautan.
Asia Selatan dihadapkan dengan masuknya limbah secara tiba-tiba dengan sumber daya yang terbatas. Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik kemudian menumpuk sehingga menyumbat saluran air dan mencemarinya. Akibatnya, sampah tersebut mengancam ekosistem laut dan terurai menjadi mikroplastik yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Lantas, faktor apa saja yang menyebabkan meningkatnya sampah plastik yang salah kelola?
Sebuah laporan dari Bank Dunia telah mengeksplorasi dampak COVID-19 pada pengelolaan sampah plastik di Asia Selatan. Bahkan sebelum COVID-19, masalah utama yang mengakar di Asia Selatan sekaligus mempengaruhi rantai daur ulang sampah plastik yaitu sumber daya keuangan yang tidak memadai, fasilitas kelembagaan, keahlian dan kebijakan lingkungan serta kurangnya kesadaran masyarakat.
Masalah teknis yang utama di Asia Selatan adalah pengumpulan dan transportasi sampah. Hingga saat ini, masih banyak penduduk di Asia Selatan yang tidak memiliki akses ke layanan pengumpulan sampah di kota. Oleh karena itu, para pemulung memainkan peranan besar. Tetapi jenis plastik tertentu memiliki harga yang rendah sehingga sebagian besar plastik tidak dikumpulkan oleh para pemulung.
Sebagian besar limbah di masa pandemi berasal dari limbah medis yang dihasilkan oleh rumah sakit. Namun, kekurangan sistem pengelolaan limbah medis membuat limbah berbahaya tidak diproses dengan baik. Unit pembakaran untuk limbah medis tidak memenuhi standar internasional dan tidak ada pemisahan yang aman antara limbah medis berbahaya dari limbah padat lainnya.
Selain itu, ada pula peningkatan ketergantungan pada penggunaan plastik sekali pakai. Industri plastik menyebarkan narasi bahwa plastik sekali pakai adalah pilihan yang paling higienis. Penangguhan larangan plastik sekali pakai di beberapa negara juga berpengaruh terhadap menumpuknya sampah plastik. Peningkatan pengiriman ke rumah karena karantina juga menyebabkan peningkatan penggunaan plastik sekali pakai.
Sebelum pandemi, penurunan harga minyak telah menyebabkan meningkatnya persaingan antara industri plastik daur ulang dan market plastik. Dengan narasi populer bahwa plastik sekali pakai lebih higienis sejak pademi COVID-19, harga minyak semakin menurun dan bisnis daur ulang menyusut hingga 50 persen di beberapa negara Asia. Plastik yang seharusnya didaur ulang menjadi tumpukan sampah yang bermuara pada pencemaran. Jika tidak dibakar secara terbuka, sampah – sampah tersebut akan dibuang dan mencemari perairan.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM / lockdown) juga berdampak pada para pemulung yang memainkan peran penting dalam industri daur ulang plastik di Asia Selatan. Pengumpul sampah di lima negara Asia (India, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Indonesia) melaporkan pengurangan sebesar 65 persen dalam volume plastik yang mereka kumpulkan. Disaat yang sama, pendaur ulang juga melaporkan penurunan rata-rata 50 persen untuk permintaan plastik daur ulang.
Bank Dunia mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan untuk mengelola sampah plastik lebih baik, yaitu:
- Mendiagnosis, menganalisis, memantau, dan mengkomunikasikan dampak COVID-19 terhadap penggunaan plastik,
- Mengintegrasikan pengelolaan polusi plastik dalam rencana pemulihan untuk pembangunan kembali dengan cara yang lebih hijau, tangguh, dan inklusif (build back better).
- Mengelola sampah plastik sebagai bagian dari limbah medis berbahaya selama pandemi COVID-19.
- Menjadikan prinsip-prinsip kesiapsiagaan pengelolaan sampah sebagai bagian dari manajemen risiko bencana.
- Mempercepat upaya untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya polusi plastik dalam konteks pandemi COVID-19.
Editor: Marlis Afridah
Penerjemah: Ari Ganesa
Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Tia adalah penulis kontributor untuk Green Network Asia. Saat ini bekerja sebagai Client Executive di sebuah perusahaan konsultan komunikasi global berbasis di Jakarta.