Kerja Sama Empat Negara untuk Mengelola Limbah Kimia dalam Produksi Tekstil

Foto oleh Aditya Wardhana di Unsplash.
Pakaian merupakan kebutuhan primer untuk kelangsungan hidup manusia. Namun, produksinya sebagian besar masih berbahaya bagi planet kita. Produksi pakaian begitu masif—kemungkinan lebih besar dari yang semestinya, dan berakhir di tempat pembuangan sampah, baik yang terpakai maupun yang tidak terpakai. Pada 2019, produksi pakaian bertanggung jawab atas 8% emisi global.
Limbah dalam Industri Tekstil
Industri tekstil adalah salah satu pengguna utama Persistent Organic Pollutants (POPs) dan zat perfluoroalkyl dan polyfluoroalkyl (PFAS) di dunia. PFAS adalah zat kimia sintetis yang tidak terurai; mereka menumpuk di lingkungan dan mengancam kesehatan manusia dan ekosistem.
Sebagian besar pemerintah negara-negara di dunia menempatkan larangan global pada bahan kimia terburuk melalui Konvensi Stockholm tentang POPs. Namun, ribuan bahan kimia berbahaya lainnya seperti PFAS masih banyak digunakan di seluruh rantai nilai industri tekstil.
“Sektor tekstil adalah pengguna utama ‘bahan kimia selamanya’ beracun yang mencemari ekosistem lokal dan global,” kata Eloise Touni, Pejabat Program Bahan Kimia dan Limbah UNEP.
Syed Mujtaba Hussain, Sekretaris Gabungan Senior Kementerian Perubahan Iklim Pakistan, menambahkan, “Tahap pemrosesan basah tekstil adalah ‘hotspot’ lingkungan dalam hal pencemaran air, ekosistem, kesehatan manusia, dan dampak iklim karena tingginya penggunaan bahan kimia dan energi yang berasal dari bahan bakar fosil.”
Pengolahan basah merupakan tahapan untuk mengubah bahan baku menjadi kain melalui proses bleaching (pemutihan), printing (pencapan), dyeing (pencelupan), finishing (penyempurnaan), dan laundering (pencucian). Untuk setiap 1 kg kain yang diproduksi, pabrik pengolahan basah biasanya menggunakan 0,58 kg bahan kimia. Zat-zat ini kemudian merembes ke lingkungan sepanjang siklus tekstil.
Fesyen berubah dalam kecepatan cahaya, tetapi transformasi dalam cara industri tersebut beroperasi berjalan lambat.
Program Bersama Bangladesh, Pakistan, Indonesia, dan Vietnam
Bangladesh, Pakistan, Indonesia, dan Vietnam menyumbang hampir 15% dari ekspor pakaian global, mempekerjakan lebih dari 10 juta orang. Pada 14 Oktober, empat negara ini meluncurkan program bersama untuk mengurangi dan mengelola bahan kimia berbahaya dalam sektor tekstil mereka.
Inisiatif senilai $43 juta ini ditetapkan selama lima tahun, dipimpin oleh Program Lingkungan PBB (UNEP) dan didanai oleh Fasilitas Lingkungan Global (GEF). Pusat Regional Konvensi Basel & Stockholm Asia Tenggara dan Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam juga mendukung program ini.
Menurut Fauz Ul Azeem dari produsen tekstil Pakistan Interloop Limited, masalah utama dalam pabrik pengolahan adalah kurangnya kesadaran, pengetahuan, dan keahlian dalam mengelola limbah kimia. Selain itu, mereka sering khawatir tentang ongkos dan kualitas produk bila mereka mengubah sesuatu.
Program ini bertujuan untuk menjawab kekhawatiran tersebut dan permasalahan lainnya, menyelaraskan kebijakan publik industri tekstil dengan praktik terbaik internasional. Keempat negara berusaha untuk mendorong transformasi di seluruh industri yang akan menghapus PFAS dan bahan kimia lainnya. Program ini akan fokus pada bidang-bidang berikut:
- Transparansi rantai pasok
- Investasi dalam manajemen bahan kimia dan eko-inovasi
- Kesehatan dan keselamatan Kerja
“Kami menyambut baik proyek ini, yang akan mendorong sektor penting ini untuk mengurangi polusi seraya merambah pasar baru untuk pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata Syed Mujtaba Hussain, mendukung program ini.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Naz adalah Manajer Editorial Asia di Green Network. Ia bertanggung jawab sebagai Editor untuk Green Network Asia dan Reviewer untuk Green Network ID.