Kisah Penyintas yang Menggugah Perubahan Undang-Undang Kekerasan Seksual di Nepal
Ilustrasi oleh Irhan Prabasukma
Sebulan yang lalu, seorang gadis pemberani dari Nepal membagikan kisah mengerikan di media sosial. Kisah tersebut mengenai dirinya saat berusia 16 tahun di mana ia dibius, diperkosa, direkam, dan kemudian diperas oleh seorang penyelenggara kontes kecantikan. Kisah tersebut viral, tetapi ia tidak bisa melaporkan pemerkosaan itu. Inilah konsekuensi undang-undang Nepal: kasus kekerasan seksual mesti dilaporkan dalam jangka waktu setahun.
Keberanian yang Menggugah
Kisah gadis pemberani itu menyentak Nepal. Apa yang disampaikannya menggugah semua orang Nepal untuk mengubah undang-undang kekerasan seksual di negara itu, terutama menyangkut kapan korban dapat melaporkan kasus pemerkosaan yang mereka alami–dalam hal ini undang-undang pembatasan (statute of limitations). Undang-undang yang berlaku saat ini seolah mengesampingkan kultur mengenai pemerkosaan yang berujung pada stigma dan pelecehan yang dihadapi para penyintas ketika melaporkan kasus mereka.
Berhari-hari setelah ia mengunggah kisahnya, ratusan aktivis berunjuk rasa di jalanan Kathmandu pada 18 Mei, menyerukan perubahan undang-undang kekerasan seksual di Nepal. Pada 21 Mei, polisi Nepal menangkap terduga pelaku hanya dengan tuduhan perdagangan manusia dan penculikan. Tiga hari kemudian, enam pengacara mengajukan petisi kepada Mahkamah Agung untuk menghapus undang-undang pembatasan tersebut.
DW melaporkan tanggapan dari Phadindra Gautam, juru bicara untuk Kementerian Hukum, Peradilan, dan Parlemen. Gautam berkata bahwa pihak berwenang akan menyelidiki apakah akan mengubah undang-undang pembatasan itu atau mencabutnya sama sekali.
Undang-undang Pemerkosaan Nepal
Berdasarkan laporan 2021 oleh Equality Now, Nepal memiliki undang-undang pembatasan terpendek untuk kasus kekerasan seksual di antara enam negara Asia Selatan, yaitu satu tahun. Lebih parahnya lagi, satu tahun itu dikurangi menjadi tiga bulan ketika korban ditahan, dikendalikan, diculik, atau disandera.
Pembatasan satu tahun yang ada dalam undang-undang saat ini sebenarnya merupakan perpanjangan yang telah dilakukan pada 2017, dari batas 35 hari sebelumnya. Pada Januari 2021, usulan untuk menghapus undang-undang pembatasan terhadap kasus kekerasan seksual telah diajukan dan telah ditolak.
Di samping undang-undang pembatasan itu, para aktivis juga berupaya mengubah seluruh kenyataan tentang undang-undang perkosaan Nepal. Definisi pemerkosaan di Nepal masih terbatas pada tindakan penetrasi dalam kondisi tertentu (tidak mencakup hal-hal seperti mabuk atau sedang tidak sadarkan diri) yang disengaja oleh laki-laki terhadap perempuan.
Ketidakadilan pun berlanjut bahkan setelah korban mengajukan laporan mereka. Di pengadilan, riwayat seksual korban kerap diangkat sebagai “bukti karakter”. Akibatnya, pada 2016 – 2017, hanya 34.8% dari ribuan kasus kekerasan seksual yang diajukan di Nepal yang berakhir dengan hukuman.
Seruan untuk Perubahan
Para aktivis setempat, organisasi internasional, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum sekarang bahu-membahu mengubah hukum untuk melindungi perempuan dan korban kekerasan seksual secara umum.
“Ini bisa jadi momen yang sangat penting bagi Nepal,” ujar Smriti Singh dari Amnesty International.
Penerjemah: Gayatri W.M
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member SekarangNaz is the Manager of International Digital Publications at Green Network Asia. She is an experienced and passionate writer, editor, proofreader, translator, and creative designer with over a decade of portfolio. Her history of living in multiple areas across Southeast Asia and studying Urban and Regional Planning exposed her to diverse peoples and cultures, enriching her perspectives and sharpening her intersectionality mindset in her storytelling and advocacy on sustainability-related issues and sustainable development.

UU KUHAP 2025 dan Jalan Mundur Perlindungan Lingkungan
Wawancara dengan Eu Chin Fen, CEO Frasers Hospitality
Meningkatkan Akses terhadap Fasilitas Olahraga Publik di Tengah Tren Gaya Hidup Sedenter
Langkah Pemerintah Inggris dalam Mengatasi Pengangguran Kaum Muda
Mengarusutamakan Solusi Berbasis Alam untuk Reformasi Manajemen Risiko Bencana
Mengupayakan Sirkularitas Pusat Data melalui Pemulihan Panas Buangan