Klaim Keberlanjutan dalam Pembangunan IKN dan Penggusuran Masyarakat Adat
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah gencar melakukan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, yang diproyeksikan sebagai ibu kota baru Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa pembangunan IKN menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan, terutama dalam beberapa aspek yang berkaitan dengan lingkungan. Namun, klaim tersebut dipertanyakan, ketika dalam prosesnya terjadi penggusuran terhadap masyarakat adat setempat yang telah menghuni daerah tersebut selama bertahun-tahun.
Pembangunan IKN
Pembangunan IKN telah dimulai sejak tahun 2022. Dalam prosesnya, “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” (SDGs) atau keberlanjutan (sustainability) telah menjadi jargon yang kerap digaungkan. Misalnya, dokumen Voluntary Local Review (VLR) SDGs IKN yang dirilis Otorita IKN menyatakan bahwa SGDs menjadi kerangka dalam inovasi dan tantangan terkait pembangunan IKN. Dokumen tersebut juga memuat analisis capaian dan keselarasan pembangunan IKN dengan SDGs.
Selain itu, Otorita IKN juga menerbitkan beberapa panduan pembangunan IKN seperti Strategi Emisi Nol Bersih Nusantara 2045, Cetak Biru Kota Cerdas Nusantara, dan Pedoman Bangunan Cerdas Nusantara. Sayangnya, tidak ada satu pun dari dokumen tersebut yang menjawab bagaimana perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat adat yang terancam tergusur akibat pembangunan IKN.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) juga menyampaikan visi IKN sebagai kota berkelanjutan di dunia. Namun kenyataannya, UU ini melegalkan aturan tentang pemberian hak atas tanah lebih dari 100 tahun kepada investor, dan membuat warga lokal tergusur.
Penggusuran Masyarakat Adat Kalimantan Timur
IKN direncanakan akan berdiri di lahan seluas kurang lebih 256.142 hektare wilayah daratan dan 68.189 hektare wilayah lautan. Lahan tersebut akan diperoleh melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sejatinya, pengadaan tanah ini mestinya memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat, mengutamakan musyawarah mufakat, dan memastikan pemberian ganti rugi.
Sayangnya prinsip-prinsip tersebut seolah tidak berjalan dalam proses pengadaan lahan untuk IKN. Penggusuran masyarakat adat Suku Balik dan Suku Paser yang mendiami Kampung Tua Sabut di RT 05 Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur, adalah salah satu contohnya. Pada 4 Maret 2024, Otorita IKN mengeluarkan surat undangan kepada warga untuk membahas hunian warga yang dinilai tidak berizin dan tidak sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perancangan IKN. Undangan tersebut disertai dengan surat “peringatan” yang memberi waktu maksimal 7×24 jam hari kerja kepada warga untuk merobohkan bangunan yang dimaksud.
Ironisnya, RT 05 Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur dihuni oleh masyarakat adat Suku Balik dan Suku Paser. Masyarakat adat Suku Balik diketahui telah menetap di Kecamatan Sepaku sejak masa pendudukan Jepang, dan terus hidup di wilayah itu hingga sekarang. Mereka berperan besar dalam perlindungan hutan dan sungai setempat. Setali tiga uang, masyarakat adat Suku Paser juga telah tinggal di wilayah tersebut sejak zaman kolonial Belanda. Kini, sekitar 200 orang Suku Balik dan Suku Paser terancam tergusur dari tempat tinggalnya.
Melindungi Tanah Masyarakat Adat dalam Pembangunan
Hak-hak masyarakat adat harus dilindungi dalam pembangunan, termasuk hak atas tanah adat, sesuai pengakuan internasional melalui The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People. Namun, hingga kini, perlindungan hak atas tanah masyarakat adat masih mengalami beberapa tantangan, seperti kurangnya penegakan hukum dalam melindungi hak atas tanah masyarakat adat, eksploitasi mineral dan sumber daya, hingga kurangnya akses masyarakat adat terhadap perlindungan dari pelanggaran hak.
Laporan tentang masyarakat adat PBB yang berjudul “State of the World’s Indigenous People: Rights to Lands, Territories, and Resources” memberikan rekomendasi untuk meningkatkan perlindungan terhadap tanah masyarakat adat agar tidak meninggalkan mereka dalam pembangunan, di antaranya:
- Pemerintah mengakui masyarakat adat dan hak mereka atas tanah adat, mengadopsi sistem identifikasi nasional bagi masyarakat adat, serta mengakui kontribusi masyarakat adat dalam hal konservasi lingkungan dan keanekaragaman hayati.
- Mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai tindak lanjut perlindungan hukum bagi masyarakat adat serta meninjau ulang peraturan mengenai industri ekstraktif yang berpotensi merampas tanah masyarakat adat dan membahayakan lingkungan.
- Mendorong representasi masyarakat adat dalam DPR maupun pemerintah, sehingga suara mereka dapat terdengar dan dapat terlibat secara langsung dalam pembuatan kebijakan.
- Melibatkan masyarakat adat dalam proses perencanaan proyek atau usaha yang akan dilakukan di wilayah adat dan menghormati keputusan mereka.
- Menjamin tersedianya ganti rugi bagi tanah yang telah disepakati diserahkan ke negara untuk kepentingan umum.
- Menjamin pembagian keuntungan yang adil dalam hal perusahaan menggunakan tanah mereka untuk usaha.
Perlindungan terhadap hak atas tanah serta hak-hak lainnya dari masyarakat adat dalam pembangunan IKN memerlukan tindakan yang serius dan kajian yang mendalam untuk memahami konteks budaya serta kebutuhan ekonomi dan sosial mereka. Diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat adat, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk merumuskan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan terkait hak masyarakat adat. Selain itu, pengawasan yang ketat terhadap implementasi kebijakan serta penegakan hukum yang adil sangatlah penting untuk memastikan hak-hak tersebut dilindungi secara efektif.
Pada akhirnya, pembangunan IKN mesti berjalan tanpa meninggalkan seorang pun di belakang agar benar-benar selaras dengan SDGs. Kesadaran akan pentingnya pengakuan dan perlindungan atas hak tanah masyarakat adat merupakan langkah awal yang krusial.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Titis adalah Intern Reporter di Green Network Asia. Ia sedang menempuh semester akhir pendidikan sarjana Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya. Ia memiliki passion di bidang penelitian lintas disiplin, penulisan, dan pengembangan komunitas.