Mendorong Penguatan Perlindungan bagi Masyarakat Adat
Prinsip ‘Tidak Meninggalkan Siapa Pun’ (Leave No One Behind) dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB mendorong upaya perlindungan bagi mereka yang termarginalisasi serta mengalami diskriminasi dan ketimpangan, termasuk di antaranya masyarakat adat.
Indonesia merupakan negara dengan komunitas masyarakat adat yang tersebar di berbagai daerah dalam jumlah besar. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat ada 2.161 komunitas adat di Indonesia. Mereka berhak memperoleh kehidupan yang layak, aman, dan sehat, sebagaimana semua masyarakat lainnya di dunia. Sayangnya, hingga hari ini, mereka belum benar-benar merasakan hak-hak tersebut.
Peran Penting Masyarakat Adat
Keberadaan masyarakat adat mewarnai lanskap Indonesia sebagai negara kepulauan. Pulau-pulau dengan jumlah komunitas masyarakat adat terbesar di Indonesia antara lain Kalimantan (750 komunitas), Sulawesi (649 komunitas), Sumatera (349 komunitas), Maluku (175 komunitas), Bali dan Nusa Tenggara (139 komunitas), Papua (54 komunitas), dan Jawa (45 komunitas).
Masyarakat adat memiliki peran penting dalam pembangunan berkelanjutan. Mereka memiliki kearifan lokal berupa pengetahuan tradisional yang kaya dan berperan penting dalam menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Di antaranya adalah pemanfaatan hasil hutan dan hasil laut tanpa merusak alam dan lingkungan.
Dalam menjalankan sistem pangan atau pertanian hingga obat-obatan, masyarakat adat banyak bergantung pada hutan dan laut sebagai sumber ekonomi utama. Mereka cenderung memanfaatkan hasil hutan tidak secara berlebihan. Sebagai contoh, masyarakat adat yang menjalankan ritual Sasi Ikan Lompa di Maluku untuk menjaga ekosistem ikan dalam kurun waktu tertentu untuk kemudian dipanen tanpa merusak populasi (overfishing). Tradisi serupa juga dilakukan oleh Masyarakat Adat Sihaporas, Sumatera Utara bernama Kolam Bombongan.
Selain itu, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Papua terbukti mampu menjaga keseimbangan alam. Mereka menjadikan hutan atau wilayah adat sebagai bagian dari kosmos yang menyatu dengan spiritualitas mereka dan menyebut hutan sebagai Ibu atau mother of earth.
Kondisi Masyarakat Adat dan Lingkungannya
Modernisasi dan pembangunan merupakan tantangan bagi eksistensi masyarakat adat. Stigma terbelakang membuat mereka sering tidak memiliki suara dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia adalah minimnya pengakuan dan perlindungan hukum negara yang menyebabkan keberadaan mereka terus terancam. Akibatnya, mereka kerap menghadapi perampasan wilayah hingga kekerasan dan kriminalisasi.
Minimnya pengakuan hutan adat dari pemerintah meningkatkan potensi perampasan wilayah adat. Per Maret 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru menerbitkan 89 surat keputusan berisi pengakuan terhadap hutan adat dengan luas mencapai 89.783 hektare. Angka itu hanya 0,65 persen dari potensi hutan adat yang mencapai sekitar 13,76 juta hektare, berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Masyarakat adat juga rentan mengalami penggusuran dan kriminalisasi karena sistem legalisasi wilayah mereka masih berdasarkan hukum adat, bukan hukum negara. Pada semester pertama 2020, diperkirakan 1.488 hektare hutan adat di Papua lenyap dengan 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan. Sebagian besar kasus tersebut merupakan kasus lanjutan dari tahun sebelumnya yang tak kunjung mendapatkan penyelesaian dari negara.
Sepanjang tahun 2020 hingga paruh kedua 2022, Komnas Perempuan juga menerima 13 laporan pengaduan tentang kondisi perempuan adat dalam pusaran konflik sumber daya alam (SDA) di berbagai wilayah nusantara.
RUU Masyarakat Adat
Masyarakat adat membutuhkan perlindungan hukum yang lebih kuat dan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat meniupkan harapan untuk itu. RUU Masyarakat Adat telah diusulkan dan dibahas sejak periode 2014-2019 dan disetujui dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR pada 4 September 2020. RUU Masyarakat adat mencakup pasal yang mengatur tentang pengakuan, perlindungan, pemberdayaan, Hak Ulayat, keadilan dan kesetaraan. Namun, RUU ini tidak kunjung disahkan hingga hari ini.
Pada dasarnya, ada banyak hal yang diperlukan untuk memperkuat perlindungan bagi masyarakat adat. Di samping hukum yang kokoh, perlindungan bagi mereka perlu didukung dengan kebijakan, program, dan inisiatif-inisiatif keberlanjutan yang serius dan berdampak, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, terutama masyarakat adat itu sendiri dan aktor-aktor yang berperan atau berpotensi mengancam eksistensi mereka. Sebab, masa depan masyarakat adat dan lingkungannya adalah masa depan kita semua.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Maulina adalah Reporter & Peneliti untuk Green Network Asia - Indonesia. Dia meliput Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.