Meningkatkan Aksi untuk Hapus Kekerasan Seksual dalam Konflik
Dunia telah berkembang sedemikian jauh dan perdamaian telah digaungkan di mana-mana sejak berdekade-dekade yang lalu. Namun sampai hari ini, konflik masih terus berlangsung di beberapa tempat di dunia dan itu mengganggu upaya pembangunan berkelanjutan (SDGs). Selain kekerasan berbasis senjata, konflik juga sering disertai dengan kekerasan seksual, baik berupa pemerkosaan, kawin paksa, hingga perbudakan seksual. Kekerasan seksual dalam konflik juga terjadi di Papua, yang melibatkan aparat bersenjata Indonesia dengan kelompok masyarakat sipil dan kelompok separatis (atau yang disebut pemerintah Indonesia sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata/KKB).
Kekerasan Seksual
Meski telah lama merdeka, Indonesia masih belum bersih dari konflik bersenjata di wilayah sendiri. Konflik di Papua tercatat sudah berlangsung sejak 1969, dan disebut-sebut sebagai konflik terpanjang dalam sejarah modern. Laporan tim Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) mencatat sedikitnya ada 2.118 korban jiwa dan 1.654 korban luka dalam konflik yang berlangsung di Papua dan Papua Barat sepanjang Januari 2010 hingga Agustus 2022.
Selain kekerasan dengan senjata, konflik di Tanah Papua juga diliputi dengan berbagai bentuk kekerasan lainnya, termasuk kekerasan seksual yang umumnya menimpa perempuan dan anak perempuan. Menurut penelitian Asia Justice Rights (AJAR) dan Papuan Women’s Working Group, 64 dari 170 perempuan asli Papua pernah mengalami kekerasan, termasuk di antaranya kekerasan seksual, sepanjang konflik berlangsung.
Laporan bersama sejumlah NGO yang bergerak di bidang HAM dan isu-isu Papua mengungkapkan bahwa perempuan Papua mengalami interogasi dan penyiksaan yang mengerikan, termasuk berupa kekerasan seksual, saat ditahan selama operasi militer. Mirisnya, para korban menjalani hidup dengan konsekuensi dari impunitas pelakunya dan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan pengalaman mereka.
Di tingkat dunia, kekerasan seksual terjadi antara lain dalam perang Ukraina-Rusia. Laporan yang dirilis Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) mendokumentasikan 133 kasus kekerasan seksual terkait konflik dalam kurun waktu Februari 2022 hingga 31 Januari 2023, baik yang dilakukan oleh kubu Rusia maupun Ukraina. Sebanyak 85 korban di antaranya merupakan laki-laki, dengan 45 korban perempuan dan 3 korban anak-anak.
Konflik-konflik lainnya di dunia, seperti di Pakistan, Palestina, dan Suriah, juga tidak terlepas dari kekerasan seksual di dalamnya.
Meningkatkan Aksi dan Melindungi Penyintas
Setiap tanggal 19 Juni, dunia memperingati Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Konflik untuk mengutuk kekerasan seksual sebagai taktik perang. Ditetapkan oleh PBB sejak tahun 2015, peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengakhiri kekerasan seksual untuk menghormati para korban dan penyintas kekerasan seksual di seluruh dunia.
Tahun ini, PBB mengusung tema “Menjembatani kesenjangan digital gender untuk mencegah, menangani, dan merespons kekerasan seksual terkait konflik.” Tema ini dimaksudkan untuk memperkuat dukungan bagi para penyintas dan mereka yang selama ini menjadi pendukung para korban. Aspek kesenjangan digital diangkat karena kekerasan seksual terkait konflik juga telah merambah ke ranah digital, sementara hak-hak para penyintas mesti dilindungi.
Pada akhirnya, menghapus kekerasan seksual membutuhkan komitmen bersama dari semua pihak, serta kerangka kerja yang tangguh yang mencakup aspek pencegahan, penegakan hukum, serta perlindungan terhadap penyintas.
“Pada Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Konflik, kami menyerukan kepada komunitas global untuk meningkatkan aksi dan pendanaan untuk merespons kebutuhan yang terus meningkat ini,” kata Direktur Eksekutif UNFPA Natalia Kanem. “Kita harus bekerja sama untuk mengakhiri kengerian [kekerasn seksual dalam konflik] ini, dan tidak membiarkannya berulang tanpa henti.”
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.