Panduan Bebas Deforestasi untuk Petani Kecil
Deforestasi memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan, sosial, hingga ekonomi. Hutan yang ditebangi akan melepaskan karbon ke atmosfer sehingga dapat memperparah pemanasan global dan berdampak pada rusaknya habitat dan keanekaragam hayati. Sementara itu, masyarakat yang bergantung pada hutan juga akan terganggu kehidupannya, termasuk para petani. Terkait hal tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengembangkan Panduan Bebas Deforestasi untuk Petani Kecil untuk membantu petani dalam menjaga hutan dan memastikan komoditas yang dihasilkan dapat menembus pasar global.
Petani Kecil dalam Regulasi Deforestasi
Pada 16 Mei 2023, Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Anti-Deforestasi (European Union Deforestation Regulation) untuk memastikan bahwa produk yang masuk pasar Uni Eropa tidak berkontribusi pada deforestasi global. Setidaknya ada tujuh komoditas yang diatur, yaitu sawit, kopi, dagung, kayu, kakao, kedelai, dan karet. Undang-undang ini menjadi sebuah langkah besar untuk menuntut komitmen terkait rantai pasok yang berkelanjutan sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon.
Disahkannya Undang-Undang ini memunculkan perdebatan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang selama ini merupakan salah satu mitra dagang Uni Eropa. Di satu sisi, UU ini dapat membantu petani untuk menerapkan praktik berkelanjutan dan membuka peluang pasar. Namun di sisi lain, peraturan tersebut juga berpotensi merugikan petani kecil yang tidak memiliki sumber daya atau pengetahuan teknis untuk membuktikan bahwa komoditas yang mereka hasilkan tidak berkontribusi terhadap deforestasi. Para petani kecil rentan terkena sanksi sehingga dapat mengurangi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam pasar, yang pada gilirannya akan mengancam kehidupan mereka.
Panduan Bebas Deforestasi untuk Petani Kecil
Panduan Bebas Deforestasi untuk Petani Kecil merupakan hasil kolaborasi High Carbon Stock Approach (HCSA), Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS), Yayasan Petani Pelindung Hutan, Greenpeace, dan High Conservation Value Network (HCVN). Pedoman ini disusun selama lebih dari enam tahun dengan melibatkan para petani kecil di desa, termasuk perempuan dan anak muda, dan diujicobakan di Kalimantan Barat untuk memastikan agar panduan tersebut mudah diadaptasi oleh komunitas lokal.
“Kami para petani yang tergabung dalam Komunitas Poyo Tono Hibun sebagai masyarakat Dayak Hibun sangat mendukung adanya Toolkit Bebas Deforestasi ini. Saya melihat sendiri bahwa toolkit ini benar-benar dikembangkan berdasarkan masukan dari para petani, masyarakat adat dan komunitas lokal ketika toolkit ini diujicobakan di Kalimantan Barat. Saya sudah melihat sendiri dampak positifnya. Kami membutuhkan bantuan dari semua pihak agar para petani dapat menerapkan praktik-praktik terbaik dan terus melestarikan hutan tanpa meninggalkan kearifan lokal dan budaya kami,” kata Valens Adi, perwakilan petani dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Secara garis besar, ada enam tahap yang dikembangkan dalam pedoman tersebut, yaitu:
- Persiapan untuk menjangkau partisipasi petani kecil.
- Sosialisasi dan peningkatan kesadaran untuk mengidentifikasi dan mendapat persetujuan dari petani kecil dan masyarakat lokal dalam mengimplementasikan panduan.
- Social mapping untuk memahami sejarah penggunaan lahan dan potensi adanya konflik lahan, termasuk ancaman dan potensi untuk konservasi.
- Pemetaan area atau tanah penting milik masyarakat lokal.
- Verifikasi lapangan.
- Pengembangan Rencana Konservasi dan Penggunaan Lahan Terpadu dan pengelolaan serta pemantauan.
Komitmen Hentikan Deforestasi
Panduan Bebas Deforestasi untuk Petani Kecil ini diharapkan dapat memperkuat kelembagaan dan tata kelola sumber daya alam, terutama di tingkat tapak. Namun, panduan ini juga harus dibarengi dengan komitmen kuat dari pemerintah untuk terus menurunkan laju deforestasi yang terjadi di Indonesia. Perlu ada pengawasan dan penegakan hukum yang kuat untuk mengatasi pembabatan hutan dan menggencarkan rehabilitasi.
Pemerintah juga bisa berbenah dalam memberikan perizinan untuk pembukaan lahan yang melibatkan deforestasi agar tidak semakin mengorbankan hutan yang tersisa. Tidak kalah penting, pelibatan masyarakat dalam kebijakan dan pengakuan hutan-hutan adat juga merupakan langkah penting yang bisa ditempuh.
“Petani kecil kerap disalahkan atas terjadinya deforestasi di Indonesia dan kemudian tersisih dari pasar. Namun, kolaborasi kami dengan petani kecil membuktikan bahwa mereka bisa melakukan praktik bebas-deforestasi. Kami berharap dengan pedoman ini para petani kecil anggota kami mendapat akses yang lebih adil terhadap pasar. Mereka juga akan bisa membantu pemerintah mewujudkan komitmen mengurangi deforestasi,” kata Sabaruddin, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.