Putusan Pengadilan Ekuador Tegaskan Pengakuan Hak Alam Sungai Machángara
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan alam. Namun, manusia kerap melupakan prinsip ini dan mengabaikannya atas nama pembangunan. Kini, di tengah kerusakan alam yang semakin mengkhawatirkan, semakin banyak orang yang mengambil sikap. Sebagai contoh, putusan pengadilan di Ekuador pada Juli 2024 menegaskan pelanggaran terhadap hak alam Sungai Machángara karena polusi dan pembiaran.
Putusan Pengadilan terkait Kondisi Sungai Machángara
Berada di Andes selatan, Sungai Machángara melintasi Ibu Kota Ekuador, Quito. Sungai sepanjang 22 km ini sangat tercemar oleh sampah dan kontaminan lainnya dari air limbah yang tidak diolah. Pejabat kota setempat mengakui bahwa mereka hanya mengolah 2% sungai tersebut. Akibatnya, rata-rata kadar oksigen Sungai Machángara berada di angka 2%, menjadikannya sungai ‘mati’ yang tidak cocok untuk kehidupan akuatik.
Pada Mei 2024, kelompok masyarakat Ekuador mengajukan gugatan hukum atas ke Pengadilan Pichincha dalam rangka “Aksi Perlindungan” Sungai Machángara. Meskipun ada banding dari pemerintah kota, pada tanggal 5 Juli, pengadilan akhirnya memutuskan bahwa Pemerintah Kota Quito melanggar hak alam Sungai Machángara.
Selain itu, pengadilan juga memerintahkan Pemerintah Kota Quito untuk melakukan dekontaminasi sungai, sekaligus tindakan nyata untuk mengurangi polusi dan pendirian instalasi pengolahan air. Putusan tersebut juga menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah kota, kelompok warga, dan masyarakat sipil. Selain itu, disebutkan bahwa pendanaan bukanlah masalah jika pemerintah kota dapat mengelola sumber daya secara efektif dan meminta dukungan keuangan dari pemerintah pusat.
“Memiliki putusan yang mengakui hak alam Sungai Machángara, sungai terpenting di Ibu Kota Quito, dan perintah untuk memulihkannya adalah sebuah sejarah, dan tentunya merupakan sebuah kisah sukses,” kata aktivis dan ilmuwan politik asal Ekuador, Natalia Greene. “Ini menjadi preseden bagi upaya kolaboratif antara warga negara dan pihak berwenang untuk mencapai tujuan bersama.”
Mengarusutamakan Hak Alam
Pada dasarnya, Hak Alam (Right of Nature/RoN) adalah kerangka hukum yang mengakui hak intrinsik alam untuk terus ada dan bebas dari pemanfaatan manusia.
Ekuador adalah negara pertama yang mengakui Hak-Hak Alam dalam konstitusinya pada tahun 2008. Negara-negara lain di dunia kini sedang mengejar ketertinggalan, dimana pemerintah nasional dan masyarakat adat berupaya untuk memasukkan Hak-Hak Alam ke dalam pemerintahan mereka dengan tepat.
Di AS, Masyarakat dan Komunitas Adat memimpin upaya ini dengan menyediakan buku panduan berisi sumber daya dan strategi bagi masyarakat adat yang tertarik untuk mengimplementasikan hak-hak alam. Sementara itu, sebuah konferensi di India mengeksplorasi Hak Alam dalam pemerintahan adat dari perspektif multidisiplin seperti sejarah, sosiologi, ilmu konservasi, studi pembangunan, serta studi budaya dan kreatif.
Berbagai tantangan terkait perubahan iklim telah mendorong kita untuk mengkaji ulang cara hidup, dan untuk itu langkah-langkah tegas harus diambil. Harapannya, pengakuan hukum yang luas terhadap hak-hak alam akan membuka jalan bagi hidup berdampingan secara damai dan berkelanjutan antara manusia dan planet Bumi.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.