Sungai-Sungai di Dunia Semakin Kering Akibat Krisis Iklim
Meskipun lebih dari 70% Bumi terdiri atas air, air tawar yang ada tidak sampai 1% jumlahnya. Celakanya, tahun 2023 menandai tahun terkering bagi sungai-sungai di dunia. Krisis iklim yang semakin terasa seiring meningkatnya suhu Bumi turut meningkatkan kekhawatiran terhadap sumber daya air di seluruh dunia.
Bencana Hidrologi Ekstrem
Tahun 2023 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah. Secara keseluruhan, suhu pada tahun tersebut 1,48°C lebih hangat dibandingkan suhu acuan pada tingkat pra-industri, dengan hampir 50% hari di sepanjang tahun melebihi ambang batas 1,5°Ct.
Selain itu, transisi alami dari La Niña ke El Niño pada pertengahan tahun 2023 dan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia menyebabkan kekeringan dan banjir di berbagai belahan dunia. Misalnya, dua bendungan di Libya runtuh karena kelalaian dan banjir besar pada September 2023, yang merenggut 11.000 nyawa.
“Akibat kenaikan suhu, siklus hidrologi semakin cepat. Siklus hidrologi juga menjadi semakin tidak menentu dan tidak dapat diprediksi, dan kita menghadapi masalah yang semakin memburuk entah itu karena terlalu banyak atau terlalu sedikit air. Atmosfer yang lebih hangat menahan lebih banyak kelembapan sehingga mendorong curah hujan yang tinggi. Penguapan dan pengeringan tanah yang lebih cepat memperparah kondisi kekeringan,” kata Celeste Saulo, Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Celakanya, kita semua tidak mengambil tindakan segera yang diperlukan, kata Saulo.
Tahun Terkering
Menurut laporan State of Global Water Resources, tahun 2023 adalah “tahun terkering bagi sungai-sungai di dunia dalam lebih dari tiga dekade”. Selama lima tahun terakhir, aliran sungai berada di bawah normal. Kondisi yang semakin buruk ini menunjukkan bahwa ketersediaan air bagi masyarakat dan ekosistem berkurang.
Debit sungai (volume air yang mengalir melalui sungai) di banyak daerah tercatat lebih rendah dari biasanya. Lembah Mississippi dan Amazon mengalami tingkat air terendah yang pernah terjadi. Kondisi serupa yang menyebabkan kekeringan parah juga dialami wilayah lain di Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Di Asia, lembah Sungai Gangga, Brahmaputra, dan Mekong mengalami kondisi yang lebih rendah dari biasanya di hampir seluruh wilayahnya.
Sementara itu, tingkat kelembapan tanah di seluruh dunia berada di bawah atau jauh di bawah normal pada tahun 2023. Tanah di Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika Utara, dan Timur Tengah mengalami kekeringan pada bulan Juni hingga Agustus. Di Meksiko, kondisi ini berlangsung hampir sepanjang tahun akibat kekeringan.
Selain itu, dalam lima dekade terakhir, terjadi kehilangan massa gletser secara besar-besaran. Dari September 2022 hingga Agustus 2023 saja, gletser kehilangan lebih dari 600 Gigaton air. Tahun 2023 menjadi tahun kedua berturut-turut di mana seluruh wilayah yang memiliki gletser mengalami kehilangan es. Saulo memperingatkan, “Mencairnya es dan gletser mengancam keamanan air jangka panjang bagi jutaan orang.”
Mengelola Sumber Daya Air Global
“Terlalu sedikit yang kita ketahui mengenai kondisi sumber daya air tawar dunia yang sebenarnya. Kita tidak bisa mengelola apa yang tidak kita ukur,” kata Saulo.
Peningkatan pemantauan dan pembagian data hanyalah langkah pertama. Mendorong partisipasi dan kolaborasi negara-negara untuk memperoleh data observasi dan variabel relevan lainnya sangat penting untuk memahami dinamika siklus air. Pada akhirnya, pemahaman yang lebih baik akan menghasilkan pengambilan keputusan yang lebih baik untuk mencapai pengelolaan sumber daya air global yang berkelanjutan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.