Kepemimpinan Perempuan di Tengah Ruang yang Bergerak

Para peserta Ri’aya Young Adult Stewardship Program Second Cohort. | Foto: The Peninsula Qatar.
Ketika pertama kali memasuki ruang-ruang kepemimpinan, saya sering mendengar narasi lama: perempuan harus memilih. Pilih karier atau keluarga, pilih organisasi atau studi, pilih menjadi pemimpin atau menjadi pengikut. Rasanya seperti hidup perempuan terus dibatasi oleh pilihan biner, seakan-akan perempuan tidak mungkin dapat melakukan banyak hal secara bersamaan. Namun, dari perjalanan pribadi terlibat di berbagai komunitas dan kegiatan, saya belajar bahwa kepemimpinan perempuan hadir dari kemampuan untuk merangkul keberagaman peran tanpa harus kehilangan jati diri.
Pengalaman Belajar tentang Kepemimpinan Perempuan
Salah satu pengalaman berkesan yang saya dapatkan adalah ketika saya menjadi delegasi perempuan muslim Indonesia dalam kegiatan Ri’aya Young Adult Stewardship Summer Program, yang berlangsung pada 8-23 Agustus 2025 di Doha, Qatar. Di sana, saya belajar banyak tentang bagaimana komunitas perempuan dapat menciptakan ruang aman untuk belajar, menginspirasi, dan memberdayakan sesama perempuan. Pengalaman tersebut membuka cakrawala baru bagi saya, bahwa perempuan muda Muslim dapat sekaligus menjadi pemimpin, pembelajar, dan pengubah dunia.
Dalam kegiatan itu, saya bertemu dengan Duta Besar Kolombia untuk Qatar, Odette Yidi, salah satu duta besar termuda di dunia. Dari beliau saya belajar satu hal penting: menjadi perempuan di ruang kepemimpinan tidak akan pernah mudah. Akan selalu ada pertanyaan-pertanyaan tajam yang diarahkan kepada perempuan, mulai dari bagaimana menyeimbangkan keluarga dan karier hingga bagaimana menghadapi kritik yang lebih keras daripada yang dilayangkan kepada laki-laki. Namun, alih-alih terjebak dalam dilema itu, Odette memilih untuk terus melangkah. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah tentang membuktikan diri kepada orang lain, melainkan tentang mengukuhkan keyakinan bahwa perempuan juga bisa.
Lalu, satu pertanyaan besar muncul di dalam benak saya: mengapa perempuan harus merelakan satu hal jika sebenarnya bisa melakukan hal lain di saat yang bersamaan? Pertanyaan ini menjadi semacam gugatan saya terhadap sistem sosial yang masih membatasi ruang gerak perempuan.
Perempuan sebagai Pemimpin Perubahan
Dari berbagai kegiatan yang telah saya ikuti, saya belajar bahwa kepemimpinan perempuan adalah tentang mengatur ritme, mengelola prioritas, dan memimpin dengan empati. Saya menyaksikan bahwa perempuan tidak hanya dapat hadir sebagai pemimpin formal, tetapi juga pemimpin dalam narasi perubahan: memimpin gerakan, menginspirasi komunitas, dan memberi ruang aman bagi orang lain untuk tumbuh. Hal ini saya rasakan dalam kegiatan di Doha, dimana solidaritas antarperempuan Muslim menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi standar ganda yang melelahkan.
Pengalaman menjadi peserta program di Doha membuat saya percaya bahwa kepemimpinan perempuan bukan soal memilih jalur yang “paling aman”, tetapi tentang menciptakan jalan baru yang lebih adil. Dari situ, saya ingin dan berupaya menempatkan diri saya bukan sekadar sebagai mahasiswa, aktivis, ataupun calon pemimpin; tetapi sebagai representasi dari generasi perempuan yang menolak untuk dipaksa memilih. Kami perempuan ingin dan mampu hadir di banyak ruang sekaligus, dengan integritas dan empati yang diajarkan oleh ibu-ibu kami.
Kesempatan saya belajar selama dua minggu di Doha bukan hanya soal mendapatkan eksposur internasional, melainkan juga ruang yang mengingatkan bahwa kepemimpinan perempuan adalah tentang keberanian untuk meruntuhkan batasan lama sekaligus membangun narasi baru. Bahwa perempuan tidak harus merelakan satu hal untuk bisa meraih yang lain. Sebaliknya, dengan keberanian, dukungan komunitas, dan tekad yang kuat, perempuan bisa melakukan segalanya di saat yang bersamaan.
Editor: Abul Muamar

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang
Aisha adalah mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Ia terlibat dalam komunitas Green Welfare Indonesia, UNICEF East Asia & Pacific Young People's Action Team, dan Ikatan Duta Bahasa DKI Jakarta. Ia memiliki minat pada isu perlindungan anak, hak-hak anak, dan kesetaraan gender.