Tambang Nikel Raja Ampat dan Dampak Eksploitasi Sumber Daya Alam

Foto: Blackinstudio07 di Pixabay.
Kekayaan ekologi dan keindahan alam Indonesia salah satunya ditunjukkan oleh lanskap Kepulauan Raja Ampat. Namun, meski berstatus sebagai kawasan konservasi dan wisata unggulan, Raja Ampat tidak luput dari ancaman eksploitasi sumber daya alam (SDA), termasuk pertambangan nikel. Tidak hanya tambang nikel Raja Ampat, eksploitasi SDA di mana pun dapat mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal, dan karenanya harus dilakukan dengan memastikannya ramah alam dan ramah sosial.
Tambang Nikel Raja Ampat dan Dampak Eksploitasi SDA
Raja Ampat dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dengan ribuan spesies ikan, terumbu karang, dan biota laut, serta kekayaan hutannya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir kekayaan alam tersebut terancam oleh eksploitasi SDA, terutama pertambangan nikel.
Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat telah berlangsung sejak 1967 oleh PT Gag Nikel, yang mengelola lahan seluas 13.136 hektare di Pulau Gag. Kegiatan perusahaan dimulai dari eksplorasi dan berlanjut ke tahap produksi sejak 2018. Pada tahun 2025, pemerintah mencabut izin empat perusahaan tambang lainnya yang beroperasi di Pulau Kawei, Pulau Manyaifun Batang Pele, Pulau Manuran, dan Yesner Waigeo Timur. Pencabutan dilakukan karena perusahaan-perusahaan tersebut dinilai melanggar aturan lingkungan dan berada di kawasan Geopark. PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha PT Antam (BUMN) tetap beroperasi dan tidak dicabut izinnya.
Aktivitas tambang nikel di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah berdampak buruk pada ekosistem hutan dan laut di Raja Ampat. Pembukaan lahan tambang telah menghilangkan lebih dari 500 hektare wilayah hutan dan vegetasi alami. Kondisi tersebut memicu limpasan tanah yang semakin memperparah sedimentasi wilayah pesisir yang merusak terumbu karang dan mengganggu ekosistem laut. Selain itu, wilayah Batang Pele dan Manyaifun, yang dekat dengan destinasi wisata, juga menghadapi masalah yang sama.
Selain tambang, wilayah hutan Raja Ampat juga terancam oleh alih fungsi lahan, termasuk rencana perkebunan kelapa dan proyek perdagangan karbon. Pada tahun 2024, ada dua perusahaan yang mencoba mengajukan izin, namun mengalami penolakan dari masyarakat adat yang berupaya mempertahankan dan menjaga kelestarian hutan adat mereka. Tidak hanya itu, pembalakan liar di Raja Ampat juga kerap terjadi hingga saat ini.
Selain kerusakan alam, eksploitasi SDA juga menimbulkan dampak sosial serius yang terutama menimpa masyarakat lokal. Aktivitas pertambangan dapat mengganggu hingga menghilangkan mata pencaharian tradisional masyarakat lokal yang bertumpu pada kelestarian ekosistem dan telah diwariskan turun-temurun. Di samping itu, kehadiran tambang juga dapat memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.
Meningkatkan Kepedulian dan Aksi Nyata
Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi SDA tidak hanya terjadi di Raja Ampat, tetapi juga di banyak pulau-pulau kecil dan wilayah lain di Indonesia seperti Halmahera (Maluku Utara), Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur), hingga Morowali (Sulawesi Tengah) dan Bantaeng (Sulawesi Selatan). Oleh karena itu, mengemukanya kasus tambang nikel Raja Ampat yang menyita banyak perhatian, harus dapat menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran, kepedulian, pengawasan, dan aksi nyata dalam menjaga kelestarian alam dan memperbaiki tata kelola sumber daya alam di mana pun. Pemerintah, bisnis, investor, dan seluruh masyarakat harus berkomitmen dan berkolaborasi untuk mengarusutamakan praktik ekonomi yang lebih berkelanjutan dan menghentikan praktik eksploitasi yang merugikan demi masa depan yang lebih baik bagi manusia dan Bumi.
Editor: Abul Muamar

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.