Agus Yusuf, Pelukis Difabel yang Bercita-cita Bangun Sekolah Seni Ramah Difabel
“Kalau orang normal [non-difabel] bisa, kita yang difabel juga harus bisa.” Kalimat itu dituturkan oleh Agus Yusuf Endang Kresno Raden, pelukis difabel asal Desa Sidomulyo, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Cerita panjang terbentang di balik kata “bisa” yang ia ucapkan. Sebelum memulai, ia mengambil jeda sejenak, menatap jauh ke luar pintu rumahnya yang terbuka, menerawang ingatan di bawah langit Madiun yang cerah.
Siang itu, Agus baru saja mengerjakan sebuah lukisan di galeri lukisnya yang terletak di bagian belakang rumahnya. Lukisan itu menampilkan perahu-perahu nelayan yang sedang berlabuh. Lukisan itu hampir rampung. “Besok dilanjutkan lagi,” katanya. Ia biasa melukis pada pagi hingga tengah hari, waktu terbaik dimana ia bisa berkonsentrasi penuh.
Bakat Alami Pelukis Difabel
Agus lahir di Madiun pada 20 Mei 1963 dari keluarga petani penggarap. Ia merupakan seorang difabel daksa sejak lahir dan tumbuh sebagai anak yang mandiri dan pantang menggantungkan diri pada orang lain. Ia juga tak ingin membebani orang tuanya.
Meski terlambat masuk sekolah dibanding anak-anak seusianya, ia tak pernah berkecil hati. Setiap hari ia berangkat ke sekolah menempuh jarak sekitar tiga kilometer tanpa alat bantu apapun. “Saya sekolah di SD Negeri Sidomulyo. Itu SD umum, bukan sekolah khusus orang difabel,” katanya.
Sebagai seorang autodidak, bakat melukis Agus mulai terlihat sejak ia duduk di bangku kelas 2 SD. Dengan mengandalkan mulut dan kaki sebelah kiri, lukisannya selalu menjadi yang paling menonjol di antara teman-teman sekelasnya. Bakatnya segera disadari oleh guru-gurunya, yang lantas mengikutkannya pada lomba melukis tingkat desa pada saat ia duduk di bangku kelas 5. Selanjutnya, ia terus menjuarai lomba-lomba lain hingga ke tingkat kabupaten di Madiun.
Tekad yang Kuat
Tahun 1985, Agus lulus Sekolah Menengah Pertama pada usia 22 tahun. Ketika itu, ia sempat tak tahu harus melakukan apa, sementara mencari pekerjaan pun bukanlah hal yang mudah baginya. “Saya tidak lanjut [sekolah] karena keterbatasan ekonomi orang tua saya. Waktu itu adik saya juga mau masuk STM (Sekolah Teknik Menengah). Jadi adik saya saja yang lanjut. Setelah tamat SMP itu, saya sempat menganggur,” katanya.
Selama tiga tahun, Agus sempat berada di titik nadir dalam hidupnya. Sesekali ia meratapi kondisinya. Namun, ia tak pernah benar-benar menyerah. Tekad untuk tidak menyusahkan orang lain terus menyala dalam benaknya. Karena itu, ia terus berusaha meningkatkan keterampilannya.
“Selain belajar dan banyak membaca, selama menganggur itu saya juga terus berpuasa, mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Segala macam puasa saya jalani. Saya memohon diberikan pekerjaan yang ringan, tapi gajinya besar,” ujarnya.
Doa dan usaha Agus terjawab. Suatu hari pada tahun 1988, seorang tetangganya memberinya kabar tentang keberadaan Association of Mouth and Foot Painting Artists of The World (AMFPA), sebuah yayasan yang menaungi difabel yang melukis dengan mulut dan kaki dari seluruh dunia, yang saat itu sedang mencari pelukis difabel asal Indonesia. Lalu, dengan penuh keyakinan, ia mengirim surat lamaran ke yayasan yang bermarkas di Swiss tersebut.
Setelah menjalani proses seleksi selama satu tahun, pada 1989 ia dinyatakan diterima sebagai anggota asosiasi tersebut dengan status sebagai Student Member. Melalui asosiasi inilah lukisan-lukisannya dibayar dengan layak dan menjadi sumber penghidupannya sampai sekarang.
“Kalau dipikir-pikir dengan logika, dengan keadaan saya yang begini, tidak mungkin itu terjadi. Tapi Allah Maha Tahu,” tuturnya.
Sebagai Student Member, Agus diwajibkan untuk mengirim 3-6 lukisan per tiga bulan ke AMFPA melalui pos. Selain untuk dijual, lukisan-lukisan tersebut akan dievaluasi oleh AMFPA untuk mengukur perkembangan dan kelayakannya untuk naik level. Untuk diketahui, di AMFPA terdapat tiga level anggota, yakni Student Member, Associate Member, dan Full Member.
Agus sendiri menghabiskan waktu selama 21 tahun untuk dapat naik tingkat. “Tahun 2010 baru saya naik tingkat jadi Associate Member,” katanya.
Mengajar Melukis dan Bercita-cita Bangun Sekolah Seni
Sedari awal, Agus tak ingin kemampuan melukisnya hanya memberi manfaat untuk dirinya sendiri. Sejak tahun 2003, ia mulai mengajar melukis untuk anak-anak. Selain mengajar secara rutin di galeri lukisnya, ia juga sering diundang oleh para guru seni dari berbagai sekolah di Madiun untuk menjadi guru spesialis dalam membina murid yang akan mengikuti kompetisi melukis. Beberapa murid yang pernah diajarnya berhasil memenangkan berbagai kompetisi dan sebagian dari mereka semakin mencintai dunia seni lukis.
Dalam mengajar, ia selalu menekankan pentingnya menikmati proses. Prinsip itu membuat murid-muridnya mampu mengekspresikan perasaan seni mereka ke atas kanvas dengan nyaman dan tanpa terkekang. Prinsip itu juga membantunya menemukan keunikan murid-muridnya, seperti cara mereka menggores dan mewarnai.
“Setelah itu, barulah saya masukkan materi, seperti teknik mengkomposisikan warna, teknik pencahayaan, dan teknik menggores tanpa putus, agar mereka punya lukisan yang terukur karena teknik-teknik itu,” katanya.
Sampai sekarang, Agus tetap membuka pintu galerinya bagi siapa saja yang ingin belajar melukis. “Orang-orang kampung sini saya ajak belajar melukis di sini, gratis, gak usah bayar. Anak-anak yatim-piatu yang saya undang setiap bulan Ramadan, juga saya tawarin untuk belajar melukis di sini. Tapi, ya, sayangnya, warga di kampung ini kurang minat dengan seni lukis dan tidak mendorong anaknya untuk belajar seni, jadi yang belajar sama saya tidak pernah banyak,” ujarnya.
Agar dapat membagikan ilmunya kepada lebih banyak orang, Agus bercita-cita membuka sekolah seni, sekaligus untuk memberdayakan teman-teman seniman difabelnya yang masih berjuang untuk hidup sejahtera. Dalam bayangannya, ia berharap sekolah seni itu nantinya dapat menjadi tempat belajar yang ramah bagi difabel. Ia yakin, dengan sejumlah tokoh publik yang ia kenal, cita-citanya itu bukanlah sesuatu yang muluk-muluk.
“Rasanya saya terlalu egois kalau cuma memikirkan diri sendiri. Saya ingin membantu sebanyak mungkin orang. Apalagi semua ini, kan, cuma titipan Yang Maha Kuasa. Saya sudah punya lahan. Dan saya kenal sama Bupati. Kenal dekat malah. Tinggal saya pikirkan bagaimana cara menyampaikannya,” katanya.
Ia menambahkan, “Yang jelas, saya siap menyumbangkan tenaga saya untuk mengajar. Yang saya utamakan adalah anak-anak difabel, karena saya merasakan betul bagaimana rasanya menjadi seorang difabel. Kalau nanti sudah berjalan, teman-teman saya yang pelukis difabel juga saya ajak untuk mengajar. Insya Allah mereka juga siap.”
Mempekerjakan Orang
Sepanjang karier kepelukisannya, Agus telah menghasilkan lebih dari 650 lukisan dengan gaya naturalis-realis. Lukisan-lukisannya banyak terinspirasi dari objek-objek yang ada di alam.
Setiap tiga hingga lima tahun sekali, Agus dan para anggota AMFPA lainnya mengadakan pameran bersama di berbagai negara, antara lain Spanyol, Austria, Swiss, Singapura, dan Thailand. Di dalam negeri, ia juga rutin menggelar pameran bersama para pelukis difabel lainnya di berbagai kota.
“Saya menggelar pameran untuk mengenalkan ke masyarakat bahwa pelukis dengan mouth and foot itu ada. Biasanya di Surabaya, Jogja, dan Salatiga. Sekaligus di sana menjadi tempat untuk saling belajar meningkatkan teknik,” katanya.
Dari lukisan-lukisan yang ia ciptakan, Agus kini hidup sejahtera bersama istri dan dua anaknya. Dengan uang yang ia sisihkan setiap bulan, ia membeli lahan sawah seluas 1.400 meter persegi dan mempekerjakan lima petani untuk menggarap sawahnya. Setiap tahun di bulan Ramadan, ia selalu memberi santunan kepada anak-anak yatim-piatu dan duafa yang tinggal di sekitar kampungnya. Ia juga menjadi donatur tetap di lembaga amil zakat Yatim Mandiri Madiun.
Singkatnya, cita-cita Agus tidak terpaku pada keinginan membangun sekolah. Lebih dari itu, ia ingin hidupnya dapat memberi manfaat bagi sebanyak mungkin orang.
“Sesuai prinsip yang saya bilang tadi, kalau orang normal bisa, saya juga harus bisa. Saya tidak ingin menyusahkan orang lain. Mengendarai mobil, ya, saya bisa sendiri. Mengendarai sepeda motor, ya, saya bisa. Makan juga saya makan sendiri, gak mesti disuapi. Dan alhamdulillah, kemarin (Juni 2023) saya menunaikan ibadah Haji bersama istri,” katanya.
“Makanya, saya selalu berpesan, khususnya untuk anak-anak difabel, hendaknya kita jangan menggantungkan diri ke orang lain. Jangan mengharap belas kasihan orang lain. Jangan patah semangat. Kita harus menggali kemampuan kita. Kalau kita semangat, punya tekad, Allah pasti memberi jalan,” Agus memungkasi.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.