Jepang Hidupkan Kembali Toko Buku Fisik di Tengah Arus Digitalisasi
Di tengah derasnya arus teknologi dan digitalisasi, banyak hal bersifat fisik yang ditinggalkan, termasuk buku. Di Jepang, seperti halnya di banyak negara lain, jumlah toko buku fisik telah berkurang drastis akibat perkembangan ini. Kini, berbagai upaya tengah dilakukan untuk menghidupkan kembali toko buku fisik di Jepang, mulai dari proyek pemerintah hingga inisiatif komunitas, untuk mempertahankan keberadaannya.
Berkurangnya Toko Buku Fisik di Jepang
Lebih dari sekadar tempat untuk menjual buku, toko buku fisik juga menjadi pusat budaya dan komunitas. Toko buku fisik dapat memberikan harapan saat putus asa; toko buku fisik juga dapat menyatukan orang-orang saat krisis melanda. Dan bagi banyak orang secara umum, toko buku fisik dapat menjadi tujuan untuk rekreasi dan melepaskan penat.
Di Jepang, jumlah toko buku fisik telah menurun signifikan. Seperti yang dilaporkan oleh Japan Publishing Industry Foundation for Culture, 27,7% kota-kota di Jepang tidak lagi memiliki toko buku hingga Maret 2024. Menurut data pemerintah, margin keuntungan yang rendah dan persaingan yang ketat dengan toko daring menjadi alasan utama penurunan ini.
Dengan semakin populernya teknologi digital, banyak orang mulai beralih dan membeli buku digital karena dianggap praktis. Ribuan eksemplar buku tidak terjual dan berdebu di rak-rak toko buku. Akibatnya, toko buku harus membayar biaya transportasi untuk mengembalikan buku dan majalah yang tidak terjual, yang dipotong dari pendapatan mereka yang rendah. Selain itu, nilai diskon dari toko buku digital membuat mereka lebih menarik bagi pembeli, sehingga toko buku fisik semakin ditinggalkan.
Inisiatif Pemerintah dan Komunitas
Sebagai respons atas hal tersebut, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang memutuskan untuk membentuk tim proyek lintas departemen guna mempromosikan toko buku fisik di seluruh penjuru Jepang. Proyek ini mengundang para manajer toko buku untuk berbagi pendapat mereka tentang kondisi di lapangan. Selain itu, pemerintah akan memperkenalkan berbagai cara untuk meningkatkan jumlah pelanggan dan langkah-langkah dukungan lainnya.
“Pemerintah pusat dan daerah serta industri terkait harus memahami masalah ini dan melakukan apa yang mereka bisa (untuk menghidupkan kembali toko buku),” kata Yoji Muto, Menteri Perindustrian, seperti dilansir Japan Times.
Sementara itu, pemilik toko buku telah mengambil tindakan dengan cara mereka sendiri. Di distrik Kanda Jimbocho, Tokyo, sebuah toko buku berbagi-rak didirikan sebagai cara untuk mengembalikan kegembiraan membaca buku secara fisik bagi masyarakat. Mulai dari individu hingga perusahaan, siapa pun dapat menyewa rak seharga 4.850-9.350 yen ($32-$61) per bulan dan menempatkan semua jenis buku untuk dijual. Dengan cara ini, orang-orang dapat memiliki berbagai pilihan buku, tidak hanya buku-buku populer yang dijual di toko buku biasa.
“Pelanggan dan pemilik rak mengunjungi toko buku tidak hanya untuk menjual dan membeli buku, tetapi juga untuk menikmati obrolan tentang buku,” kata Rokurou Yui, salah satu toko buku berbagi-rak, seperti dikutip dalam RFI.
Pentingnya Ikatan dalam Kehidupan Nyata
Komunitas adalah jantung masyarakat kita, dan ruang fisik merupakan fasilitator penting dalam pembangunan komunitas. Kehadiran toko buku fisik menekankan pentingnya ikatan dalam ruang kehidupan nyata dengan orang-orang di sekitar kita, serta aksesibilitas ruang pendidikan dan budaya bagi orang-orang untuk belajar, bersosialisasi, dan berkembang.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Madina adalah Reporter di Green Network Asia. Dia adalah alumni program sarjana Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Dia memiliki tiga tahun pengalaman profesional dalam editorial dan penciptaan konten kreatif, penyuntingan, dan riset.