Meningkatkan Akses terhadap Buku untuk Difabel Cetak
Selama ribuan tahun, buku telah menjadi bagian penting dalam hidup kita. Melalui buku, kita memperoleh pengetahuan dan wawasan tentang berbagai hal dari berbagai penjuru dunia yang menjadi bekal berharga bagi kita dalam menjalani hidup. Singkatnya, buku adalah penunjang utama pendidikan untuk semua.
Namun sayangnya, buku tidak selalu tersedia secara merata dan adil untuk semua orang. Mereka yang tergolong sebagai kelompok rentan, terutama kelompok difabel, masih belum dapat mengakses buku–dan bahan bacaan lainnya–semudah orang-orang pada umumnya. Dalam hal ini, “difabel cetak” menjadi kelompok yang paling merasakan kesulitan.
Mengenal Difabel Cetak
Disabilitas atau difabel cetak (print disability) adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca materi cetak (berupa buku dan lainnya) karena perbedaan persepsi, fisik, atau visual. Difabel cetak mencakup dan tidak terbatas pada gangguan penglihatan atau kebutaan; masalah ketangkasan fisik seperti multiple sclerosis, penyakit Parkinson, radang sendi atau kelumpuhan; ketidakmampuan belajar seperti disleksia; cedera otak atau gangguan kognitif; dan demensia dini.
Sebagian perpustakaan di berbagai dunia saat ini telah menyediakan koleksi buku untuk difabel beserta dan fasilitas/alat pendukungnya. Namun, sebagian lainnya masih belum. Di Indonesia, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) termasuk salah satu yang telah menyadari pentingnya menyediakan akses bacaan dan fasilitas pendukung bacaan untuk kelompok difabel.
Melalui Layanan Lansia dan Disabilitas, Perpusnas memiliki 3.276 judul buku edisi Braille dan 462 audio book (buku yang disuarakan), meliputi buku biografi, fiksi, non-fiksi, buku agama, dan buku pengetahuan. Selain itu, juga ada kursi roda, alat pembaca audio book, dan komputer khusus untuk membantu difabel cetak.
Minimnya Akses terhadap Buku untuk Difabel
Menurut estimasi World Blind Union, lebih dari 90 persen dari seluruh karya tulis yang telah terbit tidak dapat diakses oleh difabel netra dan mereka yang memiliki gangguan penglihatan–yang termasuk difabel cetak. Akibatnya, kelompok difabel cetak mengalami ketertinggalan jauh di belakang dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan haknya, yang kemudian berdampak pada pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik, ekonomi, dan budaya.
Kondisi ini disebut sebagai book famine (kelaparan buku). UNDP mencatat bahwa meskipun teknologi informasi telah mengalami perkembangan pesat, book famine tetap berlangsung di berbagai belahan dunia hingga saat ini, terutama di negara-negara berkembang.
Aktivis Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Furqon Hidayat memetakan sejumlah tantangan yang perlu diatasi untuk meningkatkan akses terhadap bahan bacaan bagi kelompok difabel. Beberapa di antaranya:
- Terbatasnya buku edisi Braille atau audio book. Selain kuantitas yang masih rendah, belum semua perpustakaan di Indonesia menyediakan buku dalam format yang ramah difabel.
- Minimnya bahan bacaan gratis yang menyediakan format yang dapat dibaca oleh difabel.
- Kurangnya sosialisasi kepada kelompok atau komunitas difabel mengenai ketersediaan bahan bacaan. Sosialisasi belum menjangkau skala luas hingga ke pelosok desa.
- Rendahnya minat baca di kalangan difabel sebagaimana di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya.
- Minimnya akses bacaan yang terjangkau secara fisik bagi difabel.
“Sebenarnya yang dikehendaki tunanetra itu adalah ketersediaan bahan bacaan yang terjangkau. Misalnya terjangkau dari rumahnya atau tidak terlalu jauh,” kata Furqon.
Buku untuk Difabel
Para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, telah mengadopsi Perjanjian Marrakesh (Marrakesh Treaty) untuk mengakhiri book famine global sejak 2013. Perjanjian Marrakesh bertujuan untuk meningkatkan akses ke karya tulis yang telah terbit bagi difabel cetak dengan menghilangkan hambatan hukum terkait hak cipta di tingkat nasional dan internasional dalam proses alih wahana/bentuk. Perjanjian tersebut mewajibkan negara-negara untuk mengizinkan produksi, penyebaran, impor, dan ekspor materi terbitan dalam format yang dapat diakses oleh kelompok difabel.
Meski begitu, peningkatan akses terhadap buku untuk difabel di Indonesia masih perlu ditingkatkan dan diperluas skalanya dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait. Perkembangan teknologi perlu dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung langkah ini. Bukan hanya perpustakaan yang mesti berperan, tetapi juga seluruh aktor potensial, termasuk industri percetakan, penerbit, organisasi penerbit, toko buku, pegiat literasi, pengajar, institusi pendidikan, dan lainnya. Tentunya, dukungan pemerintah (mulai dari pusat hingga desa) serta kementerian dan lembaga-lembaga terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga sangat diperlukan dalam hal ini.
Lebih dari sekadar bahan bacaan, buku adalah jendela dunia. Buku mendukung upaya kita bersama untuk meningkatkan literasi dan kualitas pendidikan serta menyebarluaskan pengetahuan. Menyediakan akses terhadap buku untuk difabel, terutama buku-buku berkualitas dengan multi-bahasa, adalah salah satu langkah kita untuk menegakkan prinsip ‘Tidak meninggalkan siapapun’ (Leave no one behind) dan menghapus ketimpangan serta mendukung keberagaman dan inklusi sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
“Akses terhadap pengetahuan adalah hak asasi manusia yang utama. Tidak akan ada pembangunan jika buku tidak dapat diakses. Setelah ratifikasi strategis ini, penguatan kebijakan dalam negeri dan ekosistem pembiayaan berkelanjutan mesti menjadi prioritas semua pihak,” kata Aria Indrawati, Ketua Umum Pertuni.
Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia yang jatuh pada tanggal 23 April.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.