Seruan untuk Mendukung Agenda Masyarakat Adat dalam COP16 CBD
Kerusakan lingkungan dan penurunan keanekaragaman hayati telah mendorong pengakuan kembali peran vital masyarakat adat sebagai pengelola dan pelestari alam. Sayangnya, pengakuan tersebut tidak serta merta terwujud dalam tindakan konkret dan luas karena pada kenyataannya masih banyak masyarakat adat di berbagai tempat yang kehilangan hak-haknya, termasuk akibat kebijakan atau program pemerintah dimana Masyarakat Adat itu berada. Terkait hal ini, sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar mendukung agenda Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity ke-16 (COP16 CBD).
Diakui, Tapi Tidak Serius
Masyarakat Adat telah diakui memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi dan melestarikan lingkungan alam dan keanekaragaman hayati di Bumi. Meski populasinya hanya sekitar 5-6% secara global, Masyarakat Adat melindungi 80% keanekaragaman hayati Bumi yang tersisa. Selain itu, 36% dari hutan utuh yang tersisa di dunia juga berada di lahan Masyarakat Adat dengan tingkat kelestarian yang lebih tinggi. Penghormatan terhadap hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal telah menempati peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati pada tahun 2022.
Namun, peran dan kontribusi Masyarakat Adat seringkali tidak diakui secara serius di banyak tempat. Di Indonesia, 2,6 juta hektare wilayah adat dirampas oleh negara dan korporasi atas nama investasi sepanjang tahun 2023 menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Perampasan terjadi tidak hanya untuk kepentingan industri seperti tambang, tetapi juga untuk memproduksi energi yang diklaim bersih dan perdagangan karbon. Sebuah proyek yang diklaim atas nama mitigasi iklim di Pulau Flores, misalnya, melibatkan perampasan wilayah 14 komunitas adat di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, NTT.
Selain itu, menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dari sekitar 26,9 juta hektare wilayah adat yang teregistrasi, baru 4% yang telah mendapat status pengakuan hukum, dan itu pun masih sebatas pengakuan keberadaan oleh Pemerintah Daerah, belum berupa penetapan hak oleh Pemerintah Pusat.
Mendukung Agenda Masyarakat Adat
Perwakilan Masyarakat Adat mendorong negara-negara yang hadir dalam COP16 CBD di Cali, Kolombia, pada 21 Oktober-1 November 2024 untuk memastikan pengakuan penuh atas kontribusi Masyarakat Adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia. Masyarakat Adat juga mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen (Subsidiary Body) yang mengikat khusus Article 8(j) terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
Namun sayangnya, delegasi Indonesia dalam COP16 CBD menolak gagasan pendirian Subsidiary Body tersebut meskipun terdapat pengakuan bahwa peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal untuk mencapai target KM-GBF sangat besar. Delegasi Indonesia juga tidak menghendaki adanya pendanaan langsung yang dapat diakses oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal untuk upaya pelestarian lingkungan alam dan keanekaragaman hayati.
“Penolakan Indonesia terhadap pembentukan Subsidiary Body pada Article 8(j) tentang Pengetahuan, Inovasi, dan Praktik-Praktik Tradisional adalah sebuah kemunduran,” kata Cindy Julianty, perwakilan dari WGII (Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia).
Pembicaraan terkait upaya mempermanenkan Working Group on Article 8(j) sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu untuk memastikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya genetik. Kerangka kerja dan pembentukan Subsidiary Body dapat membantu memastikan terukur dan terjaminnya dimensi keadilan dan sosial dari implementasi KM-GBF.
Aksi Segera
Saat ini, lingkungan alam dan keanekaragaman hayati Indonesia terancam oleh berbagai aktivitas industri seperti pertambangan, pertanian skala besar, dan berbagai proyek strategis nasional yang membahayakan lingkungan dan sumber penghidupan masyarakat adat dan komunitas lokal. Oleh karena itu, menjamin dan melindungi wilayah Masyarakat Adat dan kawasan konservasi harus menjadi tindakan segera karena dapat membantu Indonesia mencapai target perlindungan 30% area keanekaragaman hayati di daratan dan lautan pada tahun 2030.
Menurut data WGII, terdapat lebih dari 22 juta hektare lahan yang dikelola dan dilindungi dengan pengetahuan tradisional yang dapat berkontribusi untuk mencapai tujuan konservasi KM GBF. Dalam hal ini, dukungan pendanaan langsung bagi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal merupakan hal krusial untuk mencapai tujuan tersebut.
“Menjamin hak penguasaan tanah masyarakat adat adalah hal yang terpenting jika kita ingin melindungi keanekaragaman hayati yang masih tersisa,” kata Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.