Rumah Inklusif: Perjuangan Komunitas Kebumen untuk Hak Para Keluarga Penyandang Disabilitas
Rumah Inklusif, begitu Muinatul Khoiriyah dan para orang tua warga difabel di Kebumen menyebut wadah utama kegiatan kemanusiaan mereka. Di sebuah bangunan dengan desain arsitektur berbentuk Joglo, mereka mendampingi anak-anak penyandang disabilitas belajar dan berkarya.
Sejak 2009 Rumah Inklusif berupaya agar anak-anak difabel bisa percaya diri dan berdaya. Karena Inisiatifnya yang konsisten, komunitas ini menjadi rujukan para pemerhati isu pemberdayaan warga difabel di wilayah Kebumen dan sekitarnya. Rumah Inklusif sudah menerima banyak kunjungan tokoh maupun masyarakat umum yang ingin belajar mengenai inklusivitas warga difabel.
Batik Pegon adalah salah satu produk unggulan warga difabel di Rumah Inklusif. Melalui karya seni ini, Rumah Inklusif menunjukkan bahwa warga difabel bisa inklusif, berkarya, dan berdaya di tengah masyarakat. Berikut wawancara Muinatul Khoiriyah dengan Zia Ul Haq dari Green Network pada 2-3 Juni 2021 melalui WhatsApp.
Apa masalah utama yang Anda lihat terkait isu difabilitas di tengah masyarakat?
Masih adanya diskriminasi terhadap warga difabel, sehingga mereka tidak mendapat peluang yang adil maupun perlakuan yang layak di tengah masyarakat. Juga masih banyak anggota masyarakat yang memandang rendah kepada anak-anak difabel.
Butuh waktu lama untuk menciptakan kesadaran di tengah masyarakat agar menghargai warga difabel sebagai sesama manusia dan sesama anggota masyarakat. Misalnya saja, dulu kami kerap berkegiatan di musala. Setelah kegiatan, teman-teman difabel lazim beristirahat sambil rebahan di lantai musala. Gara-gara itu, para tetangga tidak mau datang ke musala.
Mereka menganggap anak-anak difabel hanya membuat musala jadi kotor, salah satunya karena ada anak berkebutuhan khusus berat yang belepotan air liur. Mereka merasa jijik, bahkan sampai tidak mau bersalaman dengan anak-anak difabel yang ada di sini.
Tentu saja itu membuat hati kami terasa nyeri. Anak-anak difabel semakin terkucil, para orang tua mereka pun semakin stres. Hal semacam ini nyaris terjadi dimana-mana.
Itu sebabnya Anda merangkul warga difabel untuk berkomunitas?
Lebih tepatnya keluarga yang mempunyai anak difabel. Awalnya komunitas ini hanya sebagai tempat bermain bagi teman anak-anak saya, wadah bermain yang bebas perundungan. Komunitas ini kemudian jadi tempat berkumpul para orang tua untuk curhat, saling berbagi cerita pengalaman hidup mereka dalam mengasuh dan mendampingi putra-putri mereka yang difabel. Dalam perkembangannya, ada banyak warga difabel yang ikut dalam kegiatan kami di komunitas ini.
Banyak hal yang kami temui saat berkumpul dan bercerita bersama mereka. Antara lain; adanya pemahaman dan sikap pamali, tidak logis, dan mistis saat anak yang dilahirkan ternyata difabel. Adanya kerenggangan, tidak rukun, bahkan kekerasan dalam keluarga dengan anak difabel. Adanya kesulitan bagi keluarga dan anak difabel untuk bersosialisasi di lingkungannya, karena masih banyak terjadi diskriminasi. Besarnya kesulitan untuk mendapat akses pendidikan bagi anak-anak difabel, baik pendidikan umum maupun keagamaan.
Apa yang sudah Anda dan komunitas Anda perjuangkan terkait hal-hal tersebut?
Bersama para orang tua yang dianugerahi amanat anak-anak difabel, kami membangun komunitas. Awalnya bernama Komunitas Keluarga Difa Kebumen pada tahun 2009. Melalui komunitas ini, kami saling menguatkan dan terus belajar mendampingi anak-anak kami.
Mendampingi anak berkebutuhan khusus sangat melelahkan lahir batin. Bahkan kadang membuat orang tua stres. Maka dengan berkomunitas, para orang tua bisa rutin berkumpul, saling mencurahkan isi hati dan beban yang ditanggung. Dari kegiatan sederhana ini kemudian komunitas ini mulai berkembang.
Bagaimana ceritanya jadi Rumah Inklusif?
Saat berproses, kami menyadari bahwa dengan nama Komunitas Keluarga Difa Kebumen tanpa sadar kami telah menjadi eksklusif, padahal anak-anak difabel kelak akan hidup bermasyarakat. Tidak mungkin mereka diajarkan hidup sendiri dan bersikap eksklusif. Mereka harus bisa inklusif bertumbuh di tengah masyarakat.
Maka sejak 2015 kami memutuskan untuk berganti nama menjadi Rumah Inklusif. Dengan harapan, tempat ini menjadi rumah untuk belajar saling menghargai dan menerima perbedaan antar keluarga dan semua warga difabel yang berproses di sini.
Apa saja kegiatan pemberdayaan di Rumah Inklusif?
Kami sudah berkomunitas dengan beragam kegiatan. Meski melalui hal-hal kecil, tapi inilah satu sikap dan tindakan nyata untuk menjawab persoalan mendasar yang dihadapi warga difabel dan orang tua mereka sehari-hari.
Tak hanya berkumpul, kami juga berkegiatan dan berkarya sebagai media untuk mengkampanyekan nilai-nilai inklusi, kemanusiaan dan cinta kasih pada sesama insan, termasuk di dalamnya adalah warga difabel, serta membumikan nilai-nilai tersebut di tengah masyarakat.
Misalnya, di Rumah Inklusif kami menciptakan karya Batik Pegon. Ada juga kegiatan lumbung inklusif atau koperasi, berawal karena adanya keluarga difabel yang sering terlilit hutang.
Dari situ kami dampingi mereka untuk belajar berjualan dan mengelola keuangan. Hasil berjualan yang mungkin tidak seberapa dikelola jadi tabungan bersama dengan teman-teman lainnya di koperasi ini.
Intinya, di Rumah Inklusif ini kami berkumpul, bersinergi, mengaji, belajar, berkarya, berproduksi, dan berjualan. Bahkan Batik Pegon karya warga difabel yang kami dampingi sudah sering dipamerkan di berbagai tempat.
Termasuk mengkampanyekan kesadaran ramah difabel?
Iya, tentu saja! Rumah Inklusif kerap menggelar acara-acara untuk masyarakat umum, juga menerima kunjungan dari komunitas lain, untuk sama-sama belajar tentang isu ramah difabel. Tapi yang utama adalah bagaimana kami bisa mendampingi anak-anak difabel itu untuk mandiri dan berkembang.
Rumah Inklusif juga ikut memberikan masukan ke pemerintah daerah baik melalui musrenbangkab, maupun pendampingan saat ada rancangan peraturan daerah terkait pendidikan atau peraturan daerah terkait warga difabel.
Kebijakan apa yang Anda harapkan dari pemerintah?
Sampai saat ini Rumah Inklusif belum pernah menerima bantuan langsung dari pemerintah. Kami menyelenggarakan semua kegiatan di Rumah Inklusif secara mandiri. Harapan kami pada pemerintah adalah agar pemerintah bisa memberlakukan kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang ramah dan berkeadilan bagi warga difabel.
Secara umum, saat ini perhatian pemerintah terhadap warga difabel sudah lumayan baik, meski masih jauh dari harapan. Kami melihat pemerintah belum menunjukkan perhatian yang ditunjukkan spesifik kepada keluarga atau orang tua warga difabel, padahal berdasarkan pengalaman kami di lapangan, seringkali orang tua atau keluarga anak-anak difabel lebih terpuruk dan rentan daripada anak-anak difabel itu sendiri. Pemerintah perlu memikirkan kebijakan yang menyasar para orang tua anak spesial ini.
Misalnya, anak yang terlahir dengan disabilitas, mereka enjoy saja menapaki kehidupannya seiring pengalaman hidup. Sementara bagi orang tuanya, sejak anaknya lahir mereka sudah terbebani atas stigma yang keras di tengah masyarakat, juga biaya pengobatan dan pendidikan yang mahal, yang sangat menguji jiwa raga mereka. Saat orang tua terpuruk jiwanya, pasti akan berpengaruh buruk pada perkembangan anak-anaknya. Dan tentu akan berdampak buruk bagi masa depan anak-anak difabel.
Kami berharap, pemerintah mempertimbangkan keadaan warga penyandang disabilitas dan para orang tua mereka, yang diwujudkan dengan memberikan solusi nyata yang inklusif bagi mereka melalui kebijakan yang berkeadilan untuk semua warga negara di Republik Indonesia.
Apakah komunitas Anda juga bekerja sama dengan dunia usaha? Apa yang ingin Anda sampaikan kepada para pengusaha?
Iya, kami pernah mendapat rekanan dari Jakarta, yaitu Komunitas Agen Kebaikan dan Batik Palbatu. Mereka datang ke sini membagikan ilmu membatik kepada komunitas kami. Sharing ilmu dan keahlian itulah yang kemudian melahirkan Batik Pegon, salah satu program unggulan kami. Kami harap dunia usaha bisa mendukung upaya kami dengan membagikan ilmu dan kesempatan peningkatan keahlian untuk warga difabel.
Apa yang paling dibutuhkan oleh warga difabel? Apa pesan Anda untuk masyarakat umum?
Perhatian dan perlakuan yang ramah dan berkeadilan. Warga difabel memiliki hak yang sama seperti semua anggota masyarakat pada umumnya. Maka jangan sampai kita memandang rendah kepada mereka, atau memperlakukan mereka dengan tidak setara. Justru kita harus saling membantu dan memberdayakan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
-Selesai-
Editor: Marlis Afridah
Aktivitas Rumah Inklusif dapat dilihat di saluran YouTube Rumah Inklusif.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Zia adalah penulis kontributor untuk Green Network ID. Saat ini aktif menjadi Pendamping Belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).