Jalan Terjal Senyum Puan Menghapus Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak di Lombok
Gadis kecil berumur 5 tahun itu tak bisa berbuat apa-apa ketika seorang predator seksual memangsanya bertahun-tahun yang lalu. Selama belasan tahun, ia tidak berdaya dan hanya bisa menyimpan memori kelam atas peristiwa traumatik itu seorang diri.
Lama kemudian, ketika ia tumbuh menjadi seorang perempuan terdidik dengan segenap ilmu pengetahuan dan menyaksikan banyak pengalaman serupa di sekelilingnya, ia bangkit dan maju ke depan untuk membela kaum perempuan yang rentan mengalami diskriminasi.
Namanya Ade Lativa Fitri. Tidak hanya kekerasan seksual saat kecil, pada saat sudah besar ia juga mengalami diskriminasi berbasis gender di lingkungan kampusnya ketika terpilih sebagai ketua sebuah organisasi. Orang-orang, termasuk mereka yang berada di dalam organisasi, menganggap dirinya tidak layak menjadi pemimpin hanya karena ia seorang perempuan. Setiap kebijakan yang ia ambil diremehkan karena dianggap lahir dari emosinya semata.
“Tadinya saya pikir anak-anak di lingkungan kampus sudah bisa berpikir kritis, punya nalar yang benar—apalagi anak-anak organisasi. Tapi kenyataannya, ketika saya naik, selama saya menjabat dan bahkan ketika saya sudah lengser pun, banyak suara-suara yang mengatakan ‘Jangan ada lagi pemimpin perempuan setelah Adel!’. Yang dipermasalahkan bukan kapasitas dan kapabilitas, tapi simply karena saya terlahir sebagai perempuan,” katanya, dalam obrolan bersama Green Network pada Senin malam, 7 November 2022.
Menjadi penyintas kekerasan seksual dan korban diskriminasi gender membuatnya memahami betul bagaimana posisi perempuan dalam masyarakat di Lombok. Itulah yang membulatkan tekadnya untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menghapus kekerasan seksual, terutama di lingkungan perguruan tinggi.
Tidak hanya itu, perempuan yang akrab disapa Adel ini juga bertekad mengembalikan kesalahpahaman tentang tradisi Merariq di tanah kelahirannya yang kerap menyeret anak-anak perempuan di bawah umur ke dalam lingkaran api pernikahan dini.
Merariq Kodeq dan Kekerasan Seksual dalam Keluarga
Di Lombok, ada satu tradisi dari suku asli setempat yang membolehkan laki-laki membawa lari perempuan untuk dinikahi. Tradisi yang mirip dengan kawin lari ini disebut Merariq atau sering juga ditulis Merarik. Seiring waktu berjalan, tradisi ini kerap disalahpahami oleh masyarakat setempat sehingga melanggengkan praktik perkawinan anak di bawah umur–fenomena yang kemudian disebut Merariq Kodeq atau Merarik Kodek. Hal inilah yang menjadi salah satu perhatian Adel.
“Masih banyak dari masyarakat kita yang merasa bahwa perempuan tidak perlu bereksplorasi di pendidikan dan lain-lain. Jadi ketika si anak itu sudah lulus SD atau lulus SMP, selama dia sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah, ya dia sudah boleh dinikahkan,” tutur perempuan kelahiran Mataram, 29 November 1997 itu.
“Ada semacam aturan tak tertulis di sini yang mana ketika anak keluar rumah dan tidak pulang sampai jam 10 malam, itu berarti dia harus dinikahkan. Banyak yang salah dalam menafsirkan tradisi itu. Sanksi adatnya tidak diterapkan, sehingga kesalahpahaman ini membentuk budaya (kebiasaan) baru. Padahal dalam tradisi Merariq yang benar tidak seperti itu,” Adel melanjutkan.
Dalam tradisi Merariq, standar usia dewasa dan boleh menikah minimal 21 tahun, lebih tinggi dibanding yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2019–minimal 19 tahun. Akan tetapi, aturan itu kerap dilanggar oleh masyarakat di Lombok.
“Soal minimal usia itu tidak banyak yang tahu, tidak sering digaungkan sehingga orang-orang menganggap berapa pun usia si anak, ketika si perempuan diculik sama laki-lakinya, maka haram hukumnya untuk dikembalikan ke keluarganya karena dianggap sebagai aib. Mereka menganggap karena si anak perempuan sudah dibawa oleh laki-laki, gak boleh dibalikin lagi, dianggap sudah kotor, jadi harus dinikahkan,” kata Adel.
Praktik perkawinan usia anak di Lombok masih langgeng hingga hari ini. Belum adanya aturan yang tegas serta kerap adanya dispensasi dari pemerintah setempat membuat praktik ini berjalan mulus.
“Sebenarnya dari sisi aturan, Perda di tingkat provinsi sudah ada. Cuma sayangnya, beberapa waktu lalu, poin sanksi itu dihilangkan dengan alasan itu akan menjadi kebijakan dari pemerintah kabupaten/kota masing-masing,” ujar mahasiswi Universitas Mataram ini.
Sejatinya, ada program Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK) di Lombok. Namun sejauh ini, kebijakan tersebut belum membuahkan hasil yang optimal.
“Dampaknya sih ada. Beberapa waktu lalu ada kasus perkawinan usia anak di Lombok Barat yang viral, yang kemudian ditelusuri pihak mana yang meloloskan. Ternyata ketahuan itu diloloskan di tingkat desa. Hanya saja, saya gak tahu apakah itu diusut tuntas karena viral atau bagaimana, karena faktanya masih banyak sekali kasus pernikahan anak yang saya rasa belum ditangani,” kata Adel.
Selain perkawinan usia anak, kekerasan seksual dalam keluarga juga menjadi masalah serius di Lombok dan Sumbawa. “Akhir-akhir ini perkawinan inses (kekerasan seksual dalam keluarga) tinggi sekali datanya. Ada bapak dengan anak, paman dengan keponakan, terutama di daerah Pulau Sumbawa. Di Lombok sebenarnya juga banyak. Bedanya, di Sumbawa isunya lebih ke kekerasan, sedangkan di Lombok soal perkawinan usia anak,” lanjutnya.
Awal Mula Komunitas Senyum Puan
Pada mulanya, Adel hanya memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan masalah-masalah kekerasan seksual, diskriminasi gender, dan perkawinan anak di bawah umur di Lombok. Dari titik itu, banyak korban pelecehan dan kekerasan seksual yang bercerita padanya. Sebagai penyintas, Adel menjadi pendengar yang baik dan turut merasakan penderitaan mereka.
Lambat laun, Adel sadar bahwa dirinya tidak akan mampu mengemban tugas itu sendirian. Hingga pada Juli 2020, ia mendirikan komunitas Senyum Puan.
“Apa yang dialami mereka itu lebih, lebih, lebih, tidak enak dibanding yang saya alami. Mereka hanya berani cerita ke saya, tapi mereka tidak punya kesempatan, keberanian, dan kemampuan untuk berbicara lebih. Itu membuat saya menyadari bahwa ‘Oh, saya gak bisa bergerak sendirian’. Kalau saya hanya sendiri dengan media sosial saya, gak akan terjadi perubahan apapun,” katanya.
Pengalaman Mencegah Perkawinan Anak
Senyum Puan pernah mencoba menggagalkan perkawinan anak di wilayah Kecamatan Pagutan Timur, Kota Mataram. Namun, upaya mereka gagal karena semua pihak menganggap perkawinan anak sebagai hal yang lazim. Pemerintah setempat pun, kenang Adel, tidak berdaya untuk mencegah.
“Kami berusaha untuk memisahkan, supaya tidak terjadi pernikahan itu. Sayangnya, dari pihak keluarga (perempuan) menganggap kalau anaknya dikembalikan, itu akan menjadi aib. Dan itu bisa memantik perang saudara antarkampung. Itu yang kemudian membuat pemerintah desanya sendiri seperti angkat tangan dan akhirnya meloloskan perkawinan anak itu,” Adel melanjutkan.
Dari pengalaman itu, Adel menjadi tahu bahwa masih banyak pihak yang belum paham mengenai aturan yang sesungguhnya dalam tradisi Merariq.
Aktivitas dan Fokus Senyum Puan
Sebagai komunitas yang mayoritas anggotanya mahasiswa dan anak muda, Senyum Puan berfokus pada isu kekerasan seksual di perguruan tinggi. Komunitas ini hadir mengisi kekosongan akan gerakan yang fokus menyorot isu gender di lingkungan kampus.
“Banyak sekali kami temukan pihak kampus yang berusaha menutup-nutupi karena menjaga nama baik. Saya gak paham nama baik apa yang mereka jaga dengan membiarkan kekerasan seksual itu,” kata Adel.
Senyum Puan juga menyoroti isu perubahan iklim yang menyertai masalah gender. “Sekarang kami lagi persiapan untuk campaign gender dan climate change. Kami menyadari bahwa Mataram ini salah satu tujuan migrasi, yang akibatnya terjadi kepadatan penduduk dan lingkungan jadi kumuh. Dan itu akan sangat berdampak terutama kepada perempuan,” sambungnya.
Di samping itu, Senyum Puan mengadakan kunjungan ke sekolah dan kampus-kampus di Lombok. Di sekolah, Senyum Puan menyampaikan edukasi terkait kesehatan reproduksi. Sedangkan di kampus, mereka mendorong pihak kampus untuk membentuk satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Selain itu, Senyum Puan membuka punya hotline Ruang Aman, di mana para korban pelecehan atau kekerasan seksual dapat melakukan konseling, dan akan dibantu jika ingin menempuh jalur hukum.
“Dan kami juga punya semacam aksi ke desa-desa atau kelurahan, tergantung pada isunya. Misalnya ada isu apa di desa apa, kami akan turun ke sana. Terakhir kami ke Kelurahan Dasan Cermen (Kecamatan Sandubaya, Mataram), karena angka kekerasan domestik di sana tinggi,” lanjut Adel.
Sementara di internal, Senyum Puan mengadakan Kelas Puan dan Kamis Kasih. Kelas Puan berupa diskusi-diskusi yang membahas masalah gender terkini, sedangkan Kamis Kasih adalah wadah untuk saling berbagai mengenai pengalaman masing-masing. Mengusung inklusivitas dan keberagaman, anggota Senyum Puan bukan hanya perempuan, tetapi juga ada laki-laki.
Tantangan
Mengakhiri perkawinan anak dan meluruskan kesalahpahaman mengenai tradisi Merariq sama artinya dengan melawan keyakinan masyarakat. Itulah yang dirasakan Senyum Puan sejauh ini. Saat berniat menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual, Adel dan teman-temannya sering menghadapi hambatan, termasuk dari pihak korban sendiri.
“Dari beberapa pengaduan yang kami terima, korban-korban itu merasa takut, bukan hanya di ranah domestik, tapi juga di luar keluarga karena ada ketimpangan relasi, ada relasi kuasa yang menyebabkan korban takut untuk melapor. Meyakinkan korban itu yang paling sulit karena kita tidak bisa bertindak tanpa kesepakatan dari korban.”
Selain itu, Senyum Puan juga kerap mengalami hambatan hanya gara-gara nama komunitas mereka. Banyak pihak yang mengira mereka berafiliasi ke salah satu tokoh politik di Indonesia.
“Tidak hanya dicurigai, kami juga pernah kena teguran. Diusir pun kami pernah gara-gara nama kami. Gak hanya masyarakat biasa, tapi orang-orang pemerintahan pun beberapa kali menolak kehadiran kami,” kata Puteri Indonesia Intelegensia NTB 2020 ini.
Harapan
Ke depan, Adel berharap Senyum Puan dapat memperluas fokus gerakan ke arah pemberdayaan perempuan usia anak yang sudah terlanjur menikah. Harapan itu ingin diwujudkan dalam waktu dekat, salah satunya di daerah Lingsar yang memiliki potensi UMKM yang baik.
“UMKM di Lingsar hanya diolah oleh generasi tua, tidak diteruskan oleh generasi mudanya. Jadi, kami berpikir bagaimana kami bisa memberdayakan anak-anak perempuan yang sudah terlanjur menikah itu supaya mereka bisa memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Mereka bisa terlibat di UMKM itu sekaligus menggantikan generasi-generasi tua di sana,” kata Adel.
Jalan terjal terbentang di hadapan Adel dan Senyum Puan, tapi ia yakin bahwa perjuangannya tak akan berakhir seperti kisah Sisifus dalam Mitologi Yunani, yang dihukum selama-lamanya mengangkat batu besar ke puncak gunung, tetapi batu itu terus menggelinding kembali ke bawah dan ia harus mengulanginya lagi dan lagi. Adel yakin, perjuangan Senyum Puan tak akan sia-sia.
Sembari berjuang, Adel pun berharap pemerintah segera membuat peraturan yang tegas untuk mengakhiri perkawinan anak dan mengatasi kekerasan seksual di Lombok.
“Untuk kekerasan seksual, kami merasa bahwa egosektoral dari pemerintah terlalu besar. Mereka ingin mengambil alih kasus, tapi dalam penyelesaiannya sering lambat. Menyedihkan ketika kekerasan seksual sulit atau bahkan tidak tertangani karena urusan administrasi yang berbelit. Jadi saya berharap itu diperbaiki,” katanya mengakhiri.
Aktivitas Senyum Puan dapat disimak melalui Instagram @senyumpuan.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.