Desakan untuk Mewujudkan Reforma Agraria Sejati

Foto: Sandy Zebua di Unsplash.
Akses ke tanah telah menjadi salah satu kebutuhan mendasar umat manusia selama ribuan tahun. Tanah memungkinkan kita untuk memiliki tempat tinggal, bercocok tanam, dan hal-hal lainnya yang bertujuan mencapai kesejahteraan dalam hidup. Namun, kesenjangan kepemilikan tanah telah menimbulkan berbagai masalah, termasuk ketidakadilan sosial-ekonomi, kerusakan lingkungan, serta mempengaruhi ketahanan pangan. Itulah mengapa reforma agraria sejati dibutuhkan, khususnya di Indonesia.
Sayang, hingga hari ini, harapan itu belum juga terwujud, bahkan ketika tuntutan terus disuarakan setiap tahun.
Mengapa Perlu Reforma Agraria
Kebutuhan akan reforma agraria berakar pada masalah struktural yang panjang. Kesenjangan dalam penguasaan tanah yang telah berlangsung sejak era kolonial, yang menjadi akar utama, telah menyebabkan berbagai masalah yang kemudian juga mengakar, terutama terkait ketidakadilan sosial-ekonomi. Sebagai contoh, petani yang tidak memiliki lahan akan sulit untuk merasakan hidup layak, terjebak dalam lingkaran kemiskinan, dan bahkan rentan terhadap eksploitasi.
Namun, isu agraria bukan hanya tentang lahan pertanian dan nasib petani gurem. Isu agraria juga menyasar kelompok masyarakat rentan yang lebih luas dengan berbagai aspek kehidupan. Beberapa contohnya masyarakat yang harus berhadapan dengan korporasi atau proyek pemerintah dan kehilangan sumber air bersih, masyarakat adat yang menghadapi konsesi hutan dan kehilangan ruang hidup, penduduk miskin yang kesulitan dalam mengakses tanah untuk membangun hunian atau kebutuhan lain, dan lain sebagainya. Singkatnya, reforma agraria adalah suatu hal yang mendesak karena selama ini ada banyak isu struktural yang tak kunjung teratasi.
Masalah Struktural
Dalam penjabaran yang lebih konkret, setidaknya ada 24 masalah struktural yang melatari desakan akan reforma agraria. Masalah-masalah tersebut disampaikan dalam demonstrasi yang berlangsung di halaman Gedung DPR RI dan di beberapa kota besar di Indonesia pada 24 September 2025, bertepatan pada Hari Tani Nasional. Demonstrasi tersebut diikuti oleh ribuan orang dari serikat petani dan nelayan, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil.
Selain ketimpangan penguasaan tanah yang semakin parah, beberapa masalah struktural yang menjadi sorotan adalah peningkatan dan akumulasi konflik agraria, peningkatan represifitas aparat dalam merespons massa yang menentang penggusuran, petani kecil yang semakin sulit mencapai hidup sejahtera, privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ekspansi pertambangan, dan maraknya korupsi agraria dan sumber daya alam.
Isu lain yang tidak kalah penting adalah pelibatan militer dan polisi dalam urusan pangan dan pertanian; adanya proyek-proyek Strategis Nasional yang mengorbankan ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal; tidak adanya redistribusi tanah; ketiadaan jaminan hak atas tanah bagi perempuan, buruh, dan pemuda; serta minimnya partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan agraria dan pangan.
“Indeks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia menyebut bahwa satu persen kelompok elit di Indonesia menguasai 58% tanah, kekayaan alam dan sumber produksi, sementara 99% penduduk berebut sisanya. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir (2015-2024), sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektar. Dampaknya, 1,8 juta keluarga kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian dan masa depan,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Selain itu, massa juga menyampaikan sembilan tuntutan, beberapa di antaranya:
- Mendesak presiden dan DPR untuk segera menjalankan reforma agraria sesuai UUPA 1960.
- Mempercepat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah, menertibkan jutaan hektare tanah terlantar dan tanah yang dimonopoli konglomerat, serta memulihkan hak masyarakat adat.
- Mengesahkan RUU Reforma Agraria.
- Menghentikan represifitas aparat di wilayah konflik agraria.
- Mendorong industrialisasi pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan berbasis gotong royong rakyat demi kedaulatan pangan dan transformasi sosial pedesaan.
Mewujudkan Reforma Agraria Sejati
Pada akhirnya, reforma agraria sejati merupakan langkah fundamental untuk menghapus ketimpangan struktural, melindungi hak masyarakat adat dan komunitas lokal, menjaga ketahanan pangan, sekaligus mendukung kelestarian lingkungan–selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam hal ini, kemauan politik menjadi prasyarat mutlak. Reforma agraria mesti menjadi agenda nyata yang dijalankan dengan tegas, adil, dan berpihak pada kebutuhan masyarakat luas.

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan Anda