Memperkuat Tata Kelola Mitigasi Risiko Bencana: Pelajaran dari Bencana Hidrometeorologi di Sumatera
Banjir di Kabupaten Aceh Tenggara akibat hujan deras sejak 23 November 2025. | Foto: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Wikimedia Commons.
Sebagai negara yang berada di wilayah garis khatulistiwa, Indonesia cenderung memiliki curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Kerentanan ini diperparah oleh kerusakan ekosistem seperti hutan dan daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai pelindung alami dalam menyerap air, menahan longsor, dan menstabilkan aliran air. Pada saat yang sama, upaya pengurangan risiko bencana secara umum juga masih kurang memadai dan tidak merata di setiap daerah. Oleh karena itu, di hadapan kombinasi antara faktor alam dan kerusakan lingkungan tersebut, Indonesia mesti memperkuat tata kelola lingkungan dan mitigasi risiko bencana.
Deforestasi dan Kerusakan Lingkungan di Sumatera
Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Dengan ekosistemnya yang kaya, Pulau Sumatera menjadi rumah bagi ribuan spesies; tanahnya yang sehat membuat berbagai komoditas pertanian seperti sawit, kopi, karet, dan lain sebagainya tumbuh subur; dan juga merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam mineral seperti batu bara, minyak bumi, emas, dan nikel.
Kekayaan alam Sumatera memberinya daya tarik yang kuat bagi berbagai usaha yang melibatkan pemanfaatan alam. Namun, kondisi tersebut berkelindan dengan peningkatan angka deforestasi. Pada tahun 2024, Pulau Sumatera mengalami deforestasi seluas 91.248 hektare yang meningkat 174 persen dibanding tahun sebelumnya. Kondisi tersebut didorong oleh ekspansi perkebunan seperti kelapa sawit, pembukaan hutan alami untuk dijadikan hutan kayu pulp (bahan baku pembuatan kertas), alih fungsi lahan gambut, pembangunan infrastruktur, pertambangan, dan perambahan liar yang semakin sulit dikendalikan.
Deforestasi di Sumatera tidak hanya mengurangi luas hutan, tetapi juga memicu perubahan ekologis yang lebih dalam. Hutan gambut yang selama ini berfungsi sebagai penyimpan karbon dan pengendali banjir alami mengering dan kehilangan daya serapnya. Di daerah aliran sungai, pembukaan lahan menyebabkan sedimentasi yang meningkat, merusak kualitas air, dan memperburuk risiko banjir bandang dan longsor.
Kerusakan Ekosistem yang Mengganggu Keseimbangan Alam
Dalam beberapa tahun terakhir, laju kehilangan tutupan pohon di berbagai provinsi di Sumatera menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sumatera Utara mencatat kehilangan hutan dalam skala yang sangat besar, disusul Aceh dan Sumatera Barat yang juga mengalami penyusutan hutan dalam jumlah signifikan. Besarnya kehilangan hutan ini menggambarkan tekanan ekologis yang kuat pada kawasan yang seharusnya menjadi penyangga keanekaragaman hayati. Di banyak wilayah, berkurangnya hutan juga turut memperbesar risiko bencana hidrometeorologi.
Pada akhir November hingga awal Desember 2025, beberapa daerah di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat mengalami banjir dan longsor besar yang merenggut lebih dari 710 korban jiwa, dan menyebabkan kerugian sosial-ekonomi. Jutaan warga terpaksa mengungsi, infrastruktur rusak, lahan pertanian gagal panen, dan aktivitas ekonomi masyarakat terhenti selama berhari-hari. Dampak ini menunjukkan bahwa bencana hidrometeorologi tidak hanya menghancurkan lingkungan secara fisik, tetapi juga mengguncang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Pada saat yang sama, kerusakan ekosistem ini semakin mengganggu keseimbangan alam. Banjir dan longsor turut memicu hilangnya keanekaragaman hayati, mendorong penurunan populasi spesies liar seperti gajah dan harimau yang statusnya hampir punah, serta memaksa satwa liar untuk mendekati permukiman manusia sehingga meningkatkan potensi konflik.
Di Pidie Jaya, Provinsi Aceh, Gajah Sumatera ditemukan mati akibat terbawa arus banjir. Tubuh gajah ditemukan bersama tumpukan kayu-kayu besar yang ikut hanyut. Gambaran ini menekankan bahwa hilangnya hutan juga berarti matinya satwa liar di dalamnya. Selanjutnya, bencana hidrometeorologi juga dapat mendorong satwa liar untuk keluar dari hutan. Seperti yang pernah terjadi di Riau, dua individu harimau muncul di wilayah perkebunan sawit akibat tempat hidupnya terdampak banjir. Kondisi ini menunjukkan bagaimana perubahan ekologis akibat bencana dapat memperbesar risiko konflik antara manusia dan satwa liar.
Lemahnya Tata Kelola Lingkungan dan Mitigasi Bencana
Jatuhnya korban dan banyaknya kerugian yang dialami akibat bencana alam di Pulau Sumatera ini tidak terlepas dari tata kelola lingkungan dan mitigasi risiko bencana yang lemah. Pada saat yang sama, tanggung jawab dan akuntabilitas dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan krisis iklim juga masih kurang. Deforestasi di beberapa wilayah di Sumatera menegaskan masalah itu.
Deforestasi di Sumatera secara umum terjadi akibat dari pelepasan atau alih fungsi kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) seperti perkebunan, pertambangan, atau permukiman, yang dilakukan atas izin pemerintah melalui revisi tata ruang. Contohnya, pada tahun 2024, pemerintah melakukan perubahan status terhadap 20.803 hektare kawasan hutan di Sumatera Utara menjadi APL dan menyerahkan kepemilikannya kepada perusahaan penghasil serat rayon dan bubur kertas. Di Aceh, kawasan hutan banyak dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikendalikan oleh perusahaan yang mengantongi izin operasional dari pemerintah.
Berikutnya, kasus-kasus perusakan lingkungan di Indonesia yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko bencana alam marak terjadi akibat lemahnya penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan masih terhambat oleh berbagai faktor. Keterbatasan sumber daya penegak hukum dan praktik korupsi turut memperparah keadaan, membuat banyak pelanggaran lingkungan sulit ditindak dengan efektif.
Memperkuat Tata Kelola Lingkungan dan Mitigasi Bencana
Bencana hidrometeorologi yang terjadi di Sumatera menegaskan pentingnya perbaikan tata kelola lingkungan dan mitigasi risiko bencana, sekaligus peningkatan akuntabilitas dan tanggung jawab bersama dalam isu kerusakan lingkungan dan krisis iklim. Indonesia telah berkomitmen pada Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030, sebuah kesepakatan global yang menegaskan bahwa pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari memahami risiko, memperbaiki tata kelola, berinvestasi pada pencegahan, hingga memastikan kesiapsiagaan di setiap level. Intinya, mitigasi perlu dijalankan secara terpadu dan lintas sektor agar lebih efektif dan berkelanjutan.
Komitmen tersebut perlu diterjemahkan menjadi pengawasan dan perlindungan ekosistem alami yang lebih kuat, sistem peringatan dini multi-bahaya yang menjangkau masyarakat hingga ke daerah pelosok dan terisolir, dan dukungan anggaran yang memadai bagi seluruh lembaga teknis untuk mitigasi bencana. Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan terkait menjadi hal yang krusial. Tanpa pembenahan tata kelola yang solid dan investasi berkelanjutan pada upaya pencegahan, bencana akan terus berulang, dan kelompok rentan akan selalu menjadi pihak yang paling terdampak.
Editor: Abul Muamar
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member Sekarang
Obat Manjur bagi Kegelisahan Para CEO
Membangun Pendekatan Strategis untuk Dukung Kesehatan Perkotaan
Memahami dan Mendorong Transformasi Keberlanjutan Perusahaan: Belajar dari Makalah Nurani, dkk (2025)
Memahami dan Mengatasi Deprivasi Anak Multidimensi
Perkembangan dan Tantangan Produksi Hidrogen Hijau di Indonesia
IS2P Gelar Pelatihan untuk Jurnalis, “Membaca Laporan Keberlanjutan: Dari Data Jadi Berita”