Risiko dan Tantangan Masyarakat Pesisir di Makassar dan Mumbai
Makassar dan Mumbai adalah dua kota pesisir yang dinamis. Meski berada di dua negara dengan latar belakang sejarah yang berbeda, dua kota ini memiliki kesamaan dalam hal ketergantungan masyarakatnya pada laut. Masyarakat nelayan di Makassar dan Suku Koli di Mumbai sama-sama mempunyai hubungan erat dengan laut—yang telah membentuk cara hidup mereka selama beberapa generasi. Lantas, apa saja tantangan dan risiko yang dihadapi oleh masyarakat pesisir di dua kota tersebut di tengah kepungan industrialisasi, urbanisasi, dan modernisasi?
Komunitas Nelayan di Makassar
Komunitas nelayan Makassar banyak ditemui di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di luar kota. Mereka juga mempunyai ikatan yang kuat dengan laut dan mengandalkan laut sebagai sumber mata pencaharian.
Namun, cara hidup tradisional mereka berubah semenjak pembangunan gencar dilakukan, salah satunya Makassar New Port. Masyarakat nelayan asal Pulau Lae Lae, misalnya, terpaksa harus pindah ke Desa Untia di wilayah daratan, sehingga membentuk identitas dan gaya hidup baru seiring dengan adaptasi mereka terhadap keadaan. Para perempuan menjalani kegiatan ekonomi baru, seperti menjadi pemipil kacang mete, petugas kebersihan, atau pelayan di kios makanan.
Perubahan ini menggambarkan kompleksitas sekaligus kemampuan beradaptasi manusia. Perubahan budaya, baik di tingkat lingkungan dan sosial, telah membentuk pola pengambilan keputusan, organisasi, dan pengelolaan sumber daya masyarakat nelayan. Meskipun menghadapi tantangan dalam melestarikan tradisi, mereka tetap memanfaatkan inti budaya mereka untuk merespons perubahan di lingkungan sekitar mereka.
Masyarakat Suku Koli di Mumbai
Masyarakat Suku Koli dianggap sebagai penduduk asli Mumbai, sejak kota ini masih dipisahkan oleh tujuh pulau pada abad ke-12. Sama seperti masyarakat nelayan di Makassar, mereka sangat menghormati dan terhubung dengan laut, dan mereka menganggap diri mereka sebagai penjaganya. Hubungan ini membuat orang Koli dapat bertahan dan hidup dengan tenang selama berabad-abad.
Laut dan ikan memiliki arti penting dalam praktik sosial, agama, dan budaya mereka. Ikan dianggap sebagai simbol kehidupan dan kemakmuran, dan hal ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari mereka, mulai dari dekorasi rumah hingga upacara dan perayaan.
Selain itu, masyarakat Koli juga memiliki pengetahuan tradisional tentang pola penangkapan ikan yang selaras dengan karakteristik ekologi, seperti pola gelombang pasang yang berkaitan dengan posisi bulan. Setiap anggota keluarga di masyarakat Suku Koli berpartisipasi dalam kegiatan penangkapan ikan, dan perempuan memainkan peran penting dalam membawa ikan hasil tangkapan ke pantai, memilah, dan menjualnya di pasar grosir dan eceran.
Namun, urbanisasi, globalisasi, dan pembangunan muncul sebagai tantangan dan mendatangkan sejumlah risiko. Pun begitu, masyarakat Koli berupaya melestarikan identitas dan nilai-nilai budaya mereka dengan menjadikan perikanan sebagai ruh keberadaan mereka.
Risiko dan Tantangan bagi Masyarakat Pesisir
Salah satu tantangan besar yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kurangnya perlindungan kebijakan dan pengakuan dari pemerintah. Di India, masyarakat pesisir seperti Suku Koli dan nelayan masih berjuang untuk mendapatkan hak penangkapan ikan teritorial dan pola penangkapan ikan tradisional menjadi rusak akibat urbanisasi, globalisasi, dan polusi. Situasi itu terjadi meskipun mereka mendapat pengakuan berdasarkan undang-undang kehutanan yang berlaku di tingkat pusat.
Sebagai contoh, perusahaan perikanan komersial menyusup ke wilayah penangkapan ikan mereka untuk memenuhi tuntutan urbanisasi, sehingga menyebabkan terganggunya musim reproduksi ikan dan berkurangnya hasil tangkapan. Dominasi kapal pukat komersial semakin memperburuk keadaan, karena mereka menangkap ikan di laut dalam dan mengabaikan hukum tradisional masyarakat adat.
Selain itu, perubahan iklim secara signifikan mengancam ekosistem pesisir Makassar dan Mumbai. Pemanasan dan kenaikan muka laut mengubah ekosistem perairan, mengakibatkan penurunan tangkapan ikan dan perubahan wilayah penangkapan ikan.
Di Mumbai, pengumuman zona pengelolaan pesisir yang baru akan mengambil alih ruang laut sejauh 22 kilometer dari pantai, sehingga berdampak pada mata pencaharian masyarakat Suku Koli. Selain itu, proyek pembangunan pesisir, seperti jalan pesisir Mumbai dan jalur laut Bandra-Worli, turut menyebabkan penumpukan sampah, perubahan arus air, dan gangguan pada habitat perkembangbiakan ikan.
Dampak perubahan iklim dan proyek pembangunan juga menimbulkan tantangan terhadap kehidupan perekonomian masyarakat pesisir. Sampai-sampai, mereka sering dianggap sebagai “pengungsi ekologis” karena marginalisasi dan hilangnya mata pencaharian mereka. Nelayan di kedua kota tersebut harus menjelajahi lautan yang lebih dalam untuk mendapatkan ikan, sehingga menyebabkan biaya operasional yang lebih tinggi dan risiko yang lebih besar terhadap keselamatan mereka. Daerah penangkapan ikan tradisional mengalami kontraksi sehingga menyebabkan konflik antarkomunitas nelayan dan perselisihan antar-Koliwada.
Perlu Strategi Adaptasi & Peraturan yang Efektif
Komunitas pesisir di Makassar dan Mumbai merespons semua tantangan tersebut dengan berbagai strategi adaptasi jangka pendek. Mereka menerapkan diversifikasi pendapatan dan teknik penangkapan ikan alternatif untuk mengatasi penurunan tangkapan ikan. Mekanisme penanggulangan secara struktural, seperti pembangunan tanggul beton dan benteng rumah, juga diterapkan untuk menahan dampak perubahan iklim.
Namun, untuk mengatasi masalah ini secara efektif, diperlukan kebijakan dan peraturan yang kuat. Instansi pemerintah mesti berkolaborasi dengan badan-badan daerah perkotaan yang terdesentralisasi untuk mengawasi aktivitas pesisir yang sedang berlangsung dan memastikan perlindungan lingkungan untuk melindungi hak masyarakat pesisir.
Selain itu, mendidik masyarakat pesisir tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap kehidupan mereka juga sangat penting dalam memberdayakan mereka untuk beradaptasi secara berkelanjutan. Selain itu, penting juga memastikan distribusi sumber daya yang adil serta pembiayaan yang mudah diakses dan inklusif, seperti memberikan kredit terorganisir dari bank komersial dan koperasi kepada masyarakat Suku Koli dan nelayan, untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pemberi pinjaman dan penyalur jahat.
Terakhir namun tidak kalah penting, melestarikan pengetahuan, budaya, dan nilai-nilai tradisional masyarakat pesisir untuk menjaga ketahanan mereka dalam menghadapi perubahan. Dengan perlindungan dan dukungan yang tepat, aspek-aspek ini sangat berharga dalam pembangunan berkelanjutan, karena tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir tetapi juga seluruh umat manusia dan Bumi.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Rahmat Riyadi lahir dan besar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan dan memiliki minat yang tinggi terhadap isu lingkungan. Dia menyelesaikan pendidikannya dalam bidang geofisika dan ilmu lingkungan. Saat ini bekerja sebagai Bioenergy Program Assistant di Madani Berkelanjutan di Jakarta.