Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Opini

Bisakah Sawit dan Margasatwa Hidup Berdampingan?

Saya percaya bahwa memboikot industri kelapa sawit tidaklah selalu menjadi solusi yang tepat. Mengembangkan suatu rencana aksi untuk mengatasi isu-isu seputar industri kelapa sawit secara mendalam, lebih jauh, dan secepat mungkinlah yang sangat dibutuhkan.
Oleh Sidi Rana Menggala
11 Juni 2021

Ilustrasi oleh Inez Kriya

Sebagaimana banyak hal lainnya, selalu ada pro dan kontra tentang pengaruh keberadaan perkebunan Elaeis guineensis terhadap lingkungan. Berkurangnya biodiversitas akibat praktik-praktik yang mengabaikan keberlanjutan dari produksi minyak kelapa sawit telah menjadi topik diskusi di berbagai forum, terutama di kalangan Dewan Eropa. Para akademisi dan ilmuwan tengah mengumpulkan bahan-bahan untuk membuktikan hipotesis bahwa kelapa sawit dan margasatwa tidak dapat hidup berdampingan. Berbagai studi internasional telah menunjukkan pentingnya mengadopsi nilai-nilai intrinsik untuk mendukung praktik-praktik konservasi.

Seperti yang kita ketahui, kelapa sawit adalah komoditas penting bagi PDB beberapa negara, seperti Indonesia dan Malaysia. Menurut UNDP, setidaknya 16 juta pekerjaan di Indonesia saja bergantung pada sektor kelapa sawit baik secara langsung maupun tidak. Dengan mempertimbangkan hal ini, saya percaya bahwa memboikot industri kelapa sawit tidaklah selalu menjadi solusi yang tepat. Mengembangkan suatu rencana aksi untuk mengatasi isu-isu seputar industri kelapa sawit secara mendalam, lebih jauh, dan secepat mungkinlah yang sangat dibutuhkan.

Terkait hal ini, saya merekomendasikan intensifikasi berkelanjutan sebagai hipotesis yang bisa dijadikan jalan keluar. “Intensifikasi berkelanjutan” mengacu pada sebuah pendekatan pertanian untuk meningkatkan hasil produksi dan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada, dan di saat yang sama juga melakukan upaya pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan melalui metode-metode inovatif yang melindungi sumber daya alam dan tidak menyertakan perluasan area produksi pertanian.

Cagar adalah wilayah yang dirancang dengan tujuan utama sebagai pelindung lingkungan secara berkelanjutan yang melingkupi sumber daya alam, sumber daya buatan, dan nilai historis serta budaya suatu bangsa dalam ranah pembangunan berkelanjutan. Manajemen cagar alam adalah sebuah upaya untuk menciptakan pelestarian dan mengendalikan penggunaan cagar alam. Adanya kesempatan bagi margasatwa dan kelapa sawit untuk dapat hidup berdampingan tentu juga akan berpengaruh secara positif terhadap biodiversitas. Dengan demikian, intensifikasi berkelanjutan akan sangat sejalan dengan ide ini.

Bagaimana caranya?

Ulmanen, dkk (2012) menyatakan, “bagi para konservasionis di seluruh dunia, melindungi biodiversitas di perkebunan sawit -selama beberapa tahun belakangan- telah menjadi suatu usaha yang bukan lagi soal memperkuat keberadaan cagar baru di habitat yang asli, melainkan lebih kepada memberi ruang untuk margasatwa di sekitar kehidupan kita sendiri yang ter-urbanisasi.” Dengan metode dan pendekatan yang tepat, ekonomi dan ekologi dapat berjalan bergandengan; itulah mengapa sangat penting menjadi inovatif untuk menemukan berbagai macam solusi dan strategi.

Ada banyak praktik dan hipotesis yang bisa saja dilakukan; namun rekomendasi saya tertuju pada penciptaan lingkungan ramah-margasatwa di area non-produktif dalam wilayah perkebunan kelapa sawit. Tiga area utama yang dapat dipertimbangkan adalah aliran sungai, lahan perkebunan, dan area yang kemungkinan digunakan dalam jalur migrasi margasatwa.

Pertama, daerah aliran sungai di area perkebunan dapat ditanami jenis-jenis tumbuhan yang dapat dimakan, seperti kacang-kacangan dan buah. Sungai juga dapat menyediakan air bersih untuk margasatwa di area tersebut. Area yang berjarak minimum 10 – 15 meter dari sungai dapat berfungsi sebagai area yang dapat dihuni oleh margasatwa, dan tidak boleh ditanami Elaeis guineensis.

Kedua, lahan perkebunan Elaeis guineensis dapat ditanami semak, akar-akaran dan umbi-umbian, jamur, dan buah beri untuk meniru habitat hutan yang asli. Jadi, kita dapat menciptakan hutan buatan di area perkebunan yang juga dapat berfungsi sebagai hutan makanan bagi spesies margasatwa. Pohon kelapa sawit memerlukan tanah yang mampu menyerap air dengan baik dan kaya nutrisi, sehingga hutan pangan bagi margasatwa seharusnya tidak terlalu sulit dibuat.

Ketiga, beberapa area tertentu di wilayah perkebunan kelapa sawit dapat dipertahankan sebagai rute migrasi margasatwa. Migrasi pada koloni margasatwa biasanya disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi iklim lokal, kesediaan pangan, perubahan musim, atau untuk keperluan kawin dan berkembangbiak. Kebanyakan perkebunan kelapa sawit industrial mengalihkan jalur migrasi alamiah mereka ke hutan komunitas, hutan lindung, atau taman nasional terdekat. Pembenahan atas kesalahan ini penting dilakukan dengan menyediakan jalur migrasi alami yang aman dan kaya persediaan pangan bagi margasatwa.

Akan tetapi, apakah itu saja cukup? Metode intensifikasi berkelanjutan ini dapat menghasilkan produksi yang lebih banyak dari area lahan pertanian yang sama, sambil mengurangi dampak negatif pada lingkungan, sekaligus meningkatkan kontribusi terhadap sumber daya alam dan alur layanan ekologis. Perlu diingat bahwa untuk menerapkan metode ini, termasuk tiga rekomendasi yang sudah saya sebutkan di atas, sangat membutuhkan pendekatan terintegrasi oleh para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit, satu paket dengan niat baik mereka untuk mengimplementasikan pendekatan bioekonomi ini. 

Editor: Nazalea Kusuma

Penerjemah: Inez Kriya

Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Sidi Rana Menggala
Website |  + postsBio

Sidi adalah Direktur Eksekutif Sustainable Spices Initiative Indonesia. Ia juga seorang insinyur Biosains di Ghent University, Belgia.

    This author does not have any more posts.

Continue Reading

Sebelumnya: PBB Laporkan Dampak COVID-19 pada Perempuan, Imbau Upaya Pemulihan Pro Perempuan
Berikutnya: Bhutan: Negara Pencinta Alam dengan Kementerian Kebahagiaan

Lihat Konten GNA Lainnya

Kursi roda anak berukuran kecil di samping deretan kursi kayu, dengan latar belakang papan tulis hitam dan lantai berkarpet berwarna cerah. Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
15 Oktober 2025
orang-orang menunggang kuda menyusuri aliran sungai Bagaimana Ongi River Movement di Mongolia Melindungi Manusia dan Lingkungan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Ongi River Movement di Mongolia Melindungi Manusia dan Lingkungan

Oleh Dinda Rahmania
15 Oktober 2025
dua buah kakao berwarna kuning di batang pohon Bagaimana Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Memperkuat Industri Kakao
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Memperkuat Industri Kakao

Oleh Abul Muamar
14 Oktober 2025
Beberapa orang berada di dalam air untuk memasang kerangka jaring persegi berwarna hijau, sementara lainnya berdiri di pematang tambak dengan pagar bambu sederhana di bagian belakang. Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
13 Oktober 2025
Dua perempuan menampilkan tarian Bali di hadapan penonton. Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara

Oleh Attiatul Noor
13 Oktober 2025
perempuan yang duduk di batang pohon besar, laki-laki berdiri di sampingnya dan dikelilingi rerumputan; keduanya mengenakan pakaian tradisional Papua Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Oleh Seftyana Khairunisa
10 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia