Memutus Lingkaran Setan Kekerasan dalam Pendidikan Dokter Spesialis

Foto: Ryunosuke Kikuno di Unsplash.
Bagi banyak orang, dokter spesialis adalah profesi yang disegani dan kerap dipandang tinggi. Namun selama bertahun-tahun, mungkin tidak banyak yang tahu kalau dalam proses pendidikan dokter spesialis di berbagai tempat, terdapat kekerasan yang berlangsung turun-temurun, diwariskan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Syahdan, pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia sedang mengalami krisis dokter spesialis, terutama di luar Pulau Jawa dan di daerah-daerah terpencil. Melihat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan dokter spesialis, yang menyebabkan banyak korban yang akhirnya memilih keluar atau tidak melanjutkan studi, rasanya tidak berlebihan jika menyebut lingkaran setan kekerasan dalam pendidikan sebagai salah satu biang keladi di balik kekurangan jumlah dokter spesialis di Indonesia.
Perundungan dan Kekerasan dalam Pendidikan Dokter Spesialis
Pada 12 Agustus 2024, Aulia Risma Lestari, dokter residen asal Tegal yang menjadi salah satu mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Dr Kariadi, Semarang, meninggal dunia karena tekanan mental akibat perundungan yang sering dialaminya dari senior-seniornya. Dalam persidangan, terungkap bahwa perundungan terhadap Aulia melibatkan kekerasan fisik dan pemerasan mencapai ratusan juta rupiah, termasuk untuk keperluan makan dan rokok seniornya.
Di Bandung, Wildan Ahmad Furqon, yang pernah jadi peserta didik PPDS Ortopedi di RSUP Dr. Hasan Sadikin, mengungkap pengalaman mengerikan yang ia alami. Selain mengalami perundungan fisik dan verbal hampir setiap hari—disuruh berdiri dengan satu kaki, push-up, berjalan jongkok, merangkak, dan mengangkat kursi lipat—ia juga diminta membayar jasa servis mobil dan keperluan hiburan para seniornya. Ia juga pernah dihukum menginap di rumah sakit selama satu bulan karena ketahuan pulang saat jam bertugas untuk menemani istrinya melahirkan. Semua kekerasan itu membuat Wildan akhirnya memilih mundur.
Sementara itu, di Palembang, seorang dokter residen PPDS Anestesi Universitas Sriwijaya menjadi korban kekerasan oleh dokter konsulen di RSUP Mohammad Hoesin. Ia dirawat di IGD karena testisnya mengalami hematoma akibat ditendang oleh dokter konsulen tersebut.
Itu hanya tiga kasus yang mengemuka. Faktanya, setidaknya terdapat 632 kasus perundungan dan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan PPDS berdasarkan 2.668 pengaduan yang diterima oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam kurun waktu 20 Juli 2023 hingga 25 April 2025. Tidak hanya di rumah sakit umum pusat yang berada di bawah naungan Kemenkes, perundungan juga kerap terjadi di banyak rumah sakit umum daerah, RS swasta, puskesmas, dan klinik kesehatan. Yang mengkhawatirkan, kekerasan tersebut berlangsung turun temurun, dari senior terhadap junior dan berestafet ke angkatan berikutnya.
“Yang kita lihat itu hanya the tip of the ice. Di dalamnya itu banyak sekali, dan itu memang ditutup-tutupi. Saya merasakannya,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, 30 April 2025.
Buruknya Sistem Pendidikan dalam PPDS hingga Krisis Dokter Spesialis
Kemenkes beberapa kali menyebutkan bahwa Indonesia mengalami krisis dokter spesialis serta distribusi yang tidak merata selama puluhan tahun. Berdasarkan data tahun 2023, jumlah dokter spesialis di Indonesia sebanyak 51.949 orang, dengan mayoritas berada di Pulau Jawa. Untuk melayani 277,43 juta penduduk, Indonesia masih membutuhkan 25.732 dokter spesialis tambahan agar rasio dokter spesialis terhadap jumlah penduduk dapat tercapai sesuai rasio ideal yang ditetapkan oleh Bappenas, yakni 0,28 per 1.000 penduduk (28 dokter spesialis untuk 100.000 penduduk), tentu disertai dengan distribusi yang merata.
Terbatasnya perguruan tinggi yang menyelenggarakan PPDS hingga tingginya biaya dan sistem pendidikan yang memberatkan disebut-sebut sebagai faktor utama dari isu ini. Namun, yang tak boleh diabaikan adalah buruknya sistem pendidikan dalam PPDS yang “melanggengkan” perundungan dan kekerasan. Pihak universitas maupun rumah sakit tempat PPDS berlangsung seringkali “lepas tangan” ketika terjadi kasus, menganggap bahwa semua itu di luar tanggung jawab dan urusan mereka. Akibatnya, tidak sedikit residen PPDS yang memilih keluar atau mundur di tengah jalan. Meski bukan satu-satunya faktor, permasalahan ini jelas berkontribusi dalam menyebabkan krisis dokter spesialis di Indonesia.
Sebagai respons atas permasalahan ini, pemerintah telah membentuk skema pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit, dan programnya telah diluncurkan sejak Mei 2024. Skema ini menitikberatkan pada perekrutan putra-putri daerah untuk mengisi kekosongan dokter spesialis di wilayah terpencil, dukungan biaya hidup untuk peserta selama masa pendidikan, pengawasan jam kerja maksimal 80 jam per minggu, serta transparansi seleksi dan evaluasi berbasis sistem digital untuk mencegah praktik perundungan hingga kekerasan.
Selain itu, pada tahun 2023, Kemenkes juga telah mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan tentang pencegahan dan penanganan perundungan terhadap peserta didik pada rumah sakit pendidikan di lingkungan Kemenkes, didukung oleh sistem laporan perundungan online yang menjamin kerahasiaan identitas pelapor.
Namun, sampai sejauh ini, perundungan hingga kekerasan dalam PPDS masih terus berlanjut.
Mengakhiri Perundungan dan Kekerasan
Tidak ada kata lain: estafet perundungan dan kekerasan dalam pendidikan dokter spesialis harus segera diakhiri. Harus ada tindakan yang lebih berani, lebih tegas, dan lebih terbuka dari seluruh pihak terkait, khususnya rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang menjadi tempat penyelenggaraan pendidikan, universitas, dan Kemenkes. Mengakui adanya perundungan dan kekerasan yang berlangsung turun-temurun adalah langkah awal yang sangat penting. Selanjutnya, harus ada evaluasi menyeluruh dalam sistem pendidikan dokter spesialis untuk mengurai dan memecahkan permasalahan yang ada, dan duduk bersama merumuskan perbaikan sistemik agar pendidikan dokter spesialis menjadi lebih baik dan dapat melahirkan dokter-dokter spesialis yang andal, kompeten, berdedikasi, dan menjunjung tinggi kemanusiaan di atas segala kepentingan lainnya.
Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang lebih tegas terkait sistem dan proses pendidikan, sementara universitas dan rumah sakit harus menciptakan kultur pendidikan yang sehat dan humanis yang menghormati harkat dan martabat manusia, serta mengadopsi kebijakan nol toleransi terhadap kekerasan dalam bentuk apa pun.
Memutus lingkaran setan kekerasan dalam pendidikan dokter spesialis adalah sebuah urgensi, bukan semata tentang keselamatan dan kesehatan para peserta didik dan upaya mencetak lebih banyak dokter spesialis, melainkan juga tentang perbaikan sistem layanan kesehatan. Tentang kelahiran dokter-dokter spesialis yang andal, empatik, berwelas asih, sejahtera, serta sehat jiwa dan raganya. Tentang nasib kesehatan masyarakat Indonesia. Juga tentang penciptaan pekerjaan yang layak di dunia kedokteran.

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.