Mengkaji Ulang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper)

Foto: Tom Fisk di Pexels.
Selama ini, aktivitas industri seringkali menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk menjalankan aktivitasnya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Salah satunya melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) yang dilakukan setiap satu tahun sekali oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Sayangnya, masih banyak perusahaan yang operasionalnya tetap merusak lingkungan hingga merampas ruang hidup masyarakat lokal meski telah mendapatkan peringkat Proper yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan dalam mekanisme dan pelaksanaan penilaian Proper.
Apa Itu Proper (Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan)?
Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) merupakan program pengawasan dan evaluasi kinerja terhadap perusahaan untuk mendorong ketaatan terhadap peraturan lingkungan hidup. Program ini pertama kali diberlakukan pada tahun 1995 yang kala itu bertujuan untuk mengendalikan pencemaran lingkungan dalam lingkup kegiatan Program Kali Bersih (Prokasih).
Saat ini, Proper diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 1 tahun 2021. Berdasarkan peraturan ini, Proper diawali dengan pemilihan perusahaan peserta oleh KLH, lalu dilakukan pengumpulan data dengan mengevaluasi laporan perusahaan atau pengawasan langsung ke lapangan. Tahap ini akan menghasilkan rapor sementara yang akan dilaporkan oleh setiap lembaga yang terlibat sebelum akhirnya diumumkan kepada publik.
Hasil akhir Proper adalah peringkat berdasarkan warna, yaitu Peringkat Emas dan Peringkat Hijau untuk kriteria lebih dari yang disyaratkan (beyond compliance), Peringkat Biru untuk taat, serta Peringkat Merah dan Peringkat Hitam untuk perusahaan yang tidak taat. Syarat ketaatan untuk mendapat Peringkat Biru mencakup pemenuhan ketentuan izin lingkungan, pengendalian pencemaran air, udara, air laut, dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), serta pengendalian kerusakan lingkungan hidup khusus untuk pertambangan. Sementara beyond compliance (Peringkat Emas dan Peringkat Hijau) menandakan bahwa perusahaan telah menerapkan sistem manajemen lingkungan, efisiensi energi, mengupayakan penurunan emisi, mengimplementasikan prinsip Reduce, Reuse, and Recycle (3R) limbah, konservasi air, melindungi keanekaragaman hayati, dan memiliki program pengembangan masyarakat.
Pada tahun 2024, dari 4.495 perusahaan yang menjadi peserta Proper, 85 di antaranya mendapat Peringkat Emas, 277 perusahaan masuk Peringkat Hijau, 2.649 Peringkat Biru, 1.313 Peringkat Merah, dan 16 perusahaan masuk Peringkat Hitam. Selain itu, ada pula 164 perusahaan yang ditangguhkan karena penegakan hukum dan 41 perusahaan yang tidak diumumkan karena tidak beroperasi. Setiap tahunnya, rata-rata peserta Proper meningkat 27% persen.
Ketidakjelasan Transparansi dan Partisipasi
Namun, penilaian Proper syarat akan masalah dan menuai banyak kritik. Salah satunya terkait adanya perusahaan yang meraih peringkat yang baik, namun dalam operasionalnya masih merusak lingkungan dan menimbulkan berbagai dampak buruk terhadap masyarakat sekitar. Misalnya, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Selatan mendapatkan penghargaan Proper Biru pada tahun 2024 meski memiliki catatan buruk tentang eksploitasi lingkungan dan pekerja. Sementara itu PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, juga mendapatkan Peringkat Biru meski telah menyebabkan deforestasi, pencemaran sungai dan laut, dan kriminalisasi terhadap warga.
Sejak lama, Proper telah mendapat banyak kritik terutama soal ketidakjelasan transparansi dan partisipasi publik. Pada tahun 2012, sekelompok organisasi masyarakat sipil pernah melayangkan surat protes terhadap penilaian Proper karena memberikan peringkat Hijau dan Emas kepada perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Protes tersebut juga meminta KLH untuk mengkaji ulang pelaksanaan Proper, serta memperbaiki transparansi penilaian, indikator kinerja, dan mekanisme yang jelas bagi partisipasi masyarakat.
Sebuah penelitian yang dilakukan dengan wawancara terhadap pejabat yang terkait dengan Proper, organisasi masyarakat sipil (OMS), dan masyarakat umum, menemukan bahwa tidak ada partisipasi dalam proses identifikasi dan penilaian peringkat bagi peserta Proper. Partisipasi hanya ditemukan dalam tahap finalisasi pemeringkatan, terutama penilaian kriteria pengembangan masyarakat untuk perusahaan berperingkat Emas, dan ketika peringkat dirilis ke publik.
Narasumber yang merupakan perwakilan OMS juga menyatakan bahwa mereka tidak mendapat akses dan transparansi informasi yang digunakan dalam penilaian peringkat Proper. Selain itu, perwakilan OMS ini juga juga berpendapat bahwa Dewan Pertimbangan sebagai pelaksana Proper dipilih dengan prosedur yang kurang jelas dan tidak mewakili masyarakat lokal. Akibatnya, anggota dewan tersebut tidak mengetahui kegiatan aktual yang dilakukan oleh perusahaan dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Dalam Permen LHK 1/2021, Dewan Pertimbangan dinyatakan sebagai salah satu pelaksana Proper yang mencakup pejabat pimpinan tinggi madya pada KLHK, perguruan tinggi, media massa, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup, dan praktisi. Beleid ini hanya mengatur kriteria serta tugasnya dan menyatakan bahwa Dewan ini dibentuk oleh Menteri.
Dalam penelitian tersebut, perwakilan dari Proper mengatakan bahwa pemilihan dewan dilakukan secara internal dan tidak dapat dilakukan secara terbuka (misalnya dengan mengizinkan OMS memilih perwakilan mereka sendiri) karena terlalu ‘memakan waktu’. Mereka juga menyatakan bahwa jumlah partisipasi yang terbatas dikarenakan masalah praktis seperti kurangnya sumber daya manusia.
Lemahnya Penegakan Hukum dan Sanksi
Permen LHK 1/2021 mengatur bahwa penegakan hukum akan dilakukan terhadap peserta Proper yang berperingkat Merah dan Hitam. Secara spesifik, perusahaan berperingkat Merah akan dikenakan sanksi administratif. Dalam publikasi dan Surat Keputusan Menteri mengenai hasil Proper, memang dicantumkan jumlah perusahaan yang dikenai penegakan hukum, tetapi tidak ada penjelasan lanjutan sejauh mana penegakan beserta sanksi diberikan. Lemahnya penegakan hukum dan sanksi ini dapat membuat perusahaan mengabaikan peringkatnya sama sekali meski telah berulang kali ditempatkan dalam kategori Merah atau Hitam.
Selain itu, mekanisme pemilihan perusahaan sebagai peserta juga tidak disertai dengan ketentuan yang secara eksplisit mewajibkan keikutsertaan tersebut. Meskipun Menteri LHK telah menyebutkan akan mewajibkan Proper pada tahun 2025, masih belum ada peraturan yang meresmikan rencana tersebut. Selain itu, Permen LHK 1/2021 juga tidak memuat pasal tentang sanksi atau paksaan terhadap perusahaan yang menolak.
Penelitian lain memandang bahwa ketiadaan ketegasan tersebut akan menimbulkan pertanyaan mengenai sistem pengawasan bagi perusahaan nonpeserta Proper. Karena pada dasarnya, setiap perusahaan baik peserta maupun nonpeserta Proper memiliki kewajiban hukum yang sama dalam upaya perlindungan lingkungan. Akan tetapi, masih ada perusahaan nonpeserta yang memiliki catatan lingkungan yang buruk tetapi dapat terus beroperasi tanpa sanksi. Misalnya PT Freeport Indonesia yang mendapat Proper Merah tahun 2015 dan sempat diberikan sanksi pada tahun 2018 atas temuan kerusakan lingkungan yang disebabkannya. Namun sejak tahun 2016, Freeport tidak pernah terdaftar kembali dalam Proper dan izin operasinya terus berlanjut meski diketahui memiliki rekam jejak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Hal seperti ini membuat sistem pengawasan terhadap perusahaan nonpeserta Proper menjadi dipertanyakan. Tanpa adanya pengawasan, pelanggaran hukum perusahaan tidak dapat diketahui dan pemberian sanksi tidak dapat dilakukan.
Memastikan Akuntabilitas
Sejatinya, perusahaan memiliki tanggung jawab secara ekonomi, sosial, dan lingkungan atas segala aktivitas yang dijalankannya. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus mengeluarkan dokumen yang melaporkan tentang kinerja lingkungan dan pertanggungjawaban sosial yang dapat diakses secara terbuka oleh publik. Di sinilah pemerintah turut berperan dalam memastikan akuntabilitas perusahaan sekaligus melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap setiap pelanggaran yang ada. Pemerintah harus bisa terbuka terhadap berbagai kritik dan protes dari masyarakat yang terdampak aktivitas perusahaan, kemudian menindaklanjutinya dengan penegakan hukum yang tegas serta pemberian sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlalu.
Editor: Abul Muamar
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.