Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Foto: Asso Myron di Unsplash.
Di Indonesia, terdapat ribuan komunitas adat yang mendiami berbagai wilayah dan hidup berdampingan dengan alam yang dijaga dengan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Mereka memiliki hak kedaulatan atas tanah dan sumber daya alam di sekitarnya. Terkait hal ini, puluhan pemuda adat dari empat kawasan berkumpul di Papua pada 23-26 September 2025 dalam acara Forest Defender Camp dan menyatakan Deklarasi Sira, sebuah seruan untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat.
Eksploitasi Sumber Daya di Tanah Papua
Menurut catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), ada 303 wilayah adat di Tanah Papua yang telah teregistrasi per Agustus 2025, dengan luas 14,8 juta hektare. Namun, dari jumlah tersebut, yang statusnya telah ditetapkan secara hukum sebagai wilayah adat baru 1,8 juta di 33 wilayah. Banyak wilayah adat di Papua yang berpotensi menjadi hutan adat mengingat Papua merupakan daerah dengan bentang hutan terluas di Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Papua perlu pelibatan masyarakat adat.
Sayangnya, berbagai proyek atau kebijakan yang dijalankan di Papua seringkali justru tidak melibatkan masyarakat adat meski menjadi pihak yang paling terdampak. Misalnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke yang menggusur kawasan hutan alam yang menjadi rumah berbagai satwa endemik sekaligus bagian dari ruang hidup masyarakat adat. Atau aktivitas tambang nikel di Raja Ampat telah berdampak buruk pada ekosistem hutan maupun laut dan juga operasi penambangan oleh Freeport dengan rekam jejak buruknya terhadap di lingkungan dan masyarakat lokal.
Di sisi lain, laju deforestasi di Papua terus meningkat. Pada periode Januari-Februari 2024, total ada 765,71 hektare hutan yang hilang akibat pembukaan lahan untuk perluasan bisnis. Sementara berdasarkan data pada tahun 2001-2019, Auriga Nusantara mencatat bahwa tutupan hutan di Papua telah menyusut hingga 663.443 hektare.
Deklarasi Sira untuk Pengakuan Masyarakat Adat
Dalam Forest Defender Camp (FDC), 89 perwakilan Masyarakat Adat berkumpul di Kampung Sia, Distrik Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat Daya untuk memperkuat gerakan dan mengkampanyekan hak-hak Masyarakat Adat. Acara ini sekaligus menjadi langkah awal untuk membangun solidaritas global dan memperjuangkan payung hukum yang mengakui hak Masyarakat Adat dan akses langsung terhadap pendanaan iklim.
Pemuda adat yang hadir dalam FDC datang dari empat kawasan hutan tropis terbesar di dunia, yaitu Cekungan Kongo, Amazon, Borneo, dan juga Tanah Papua. Mereka sama-sama menghadapi berbagai permasalahan seperti eksploitasi di wilayah adat, perampasan tanah, partisipasi tidak bermakna dalam proses pengambilan keputusan, perlindungan hak yang lemah, hingga intimidasi dan kekerasan.
Merespons berbagai eksploitasi dan krisis yang mereka hadapi, para Pemuda Adat tersebut menyepakati sebuah seruan bagi para pemimpin dunia untuk menjaga iklim global yang tertuang dalam Deklarasi Sira. Deklarasi ini berisi seruan untuk:
- Mengakui dan melindungi hak Masyarakat Adat dengan meratifikasi dan mengimplementasikan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) dan ILO Nomor 169, pengakuan dan perlindungan terhadap batas-batas wilayah adat dan hak atas tanah adat, serta mempermudah proses administrasi dalam proses pengakuan masyarakat adat.
- Memastikan partisipasi dan kepemimpinan, terutama pemuda dan perempuan adat, dalam negosiasi iklim dan semua keputusan yang mempengaruhi wilayah dan kehidupan Masyarakat Adat.
- Mewujudkan keadilan gender dengan memastikan hak yang setara bagi perempuan adat atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam; kepemimpinan perempuan dalam tata kelola, serta hak untuk memperoleh manfaat secara adil.
- Mengakhiri kekerasan dan pengrusakan dengan menghentikan operasi militer atau penangkapan paksa terhadap Masyarakat Adat. Menghentikan praktik deforestasi dan ekspansi industri yang merusak di wilayah adat.
- Mendukung solusi yang dipimpin masyarakat adat dengan mekanisme pendanaan langsung untuk organisasi Masyarakat Adat dan integrasi pengetahuan tradisional ke dalam kebijakan dan rencana aksi iklim.
- Akuntabilitas global dengan menyerukan rantai pasok global mematuhi standar tertinggi lingkungan dan hak asasi manusia, yang pelaksanaannya dipantau oleh lembaga PBB terkait.
- Integritas masyarakat sipil yang mendesak semua program dan proyek dilaksanakan dengan mekanisme FPIC atau Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan).
Editor: Abul Muamar

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan Anda