Donat yang Semakin Pahit: Peringatan Keras dari Fanning dan Raworth

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan mendasar populasi global, kita tidak bisa mengabaikan batas-batas planetari. Batas ini, yang membuat kondisi lingkungan yang stabil dari periode Holosen, adalah prasyarat mutlak bagi peradaban manusia untuk dapat terus berkembang. Periode Holosen, yang berlangsung sekitar 10.000 tahun terakhir, menyediakan kondisi iklim yang luar biasa stabil, memungkinkan pertanian, permukiman permanen, dan–pada akhirnya–lahirnya peradaban modern.
Mematuhi Batas Planetari dalam Memenuhi Kebutuhan
Batas planetari, yang diperkenalkan oleh Johan Rockström dan rekan-rekannya dan diukur kali pertama pada tahun 2009, mengidentifikasi sembilan proses sistem Bumi yang mengatur stabilitas ini. Melampaui batas-batas ini—baik itu terkait perubahan iklim, gangguan siklus biogeokimia (nitrogen dan fosfor), atau hilangnya keanekaragaman hayati—bukan hanya menimbulkan risiko lingkungan, tetapi juga mengancam berbagai kemajuan sosial. Sejak membaca makalah berpengaruh itu, saya menjadi tersadar: mencari kemakmuran tanpa menghormati integritas sistem pendukung kehidupan Bumi sama saja dengan merusak bangunan rumah kita sendiri demi menambah perabotan di dalamnya.
Integritas ekologis adalah kunci bagi ketahanan sosial dan ekonomi. Ketika siklus air terganggu, hasil panen menurun; ketika keanekaragaman hayati runtuh, ketahanan pangan terancam; dan ketika iklim memanas, migrasi massal dan konflik sosial meningkat. Ini berarti bahwa setiap investasi dalam pendidikan, kesehatan, atau penghilangan kemiskinan akan menjadi sia-sia jika sistem lingkungan global runtuh di bawah tekanan aktivitas manusia. Oleh karena itu, memastikan bahwa kita beroperasi dalam ruang ekologis yang aman adalah langkah pertama yang tidak dapat ditawar dalam mencapai keadilan sosial global.
Memahami Keberlanjutan Holistik dengan Ekonomi Donat
Kerangka Ekonomi Donat, yang dipelopori oleh Kate Raworth pada tahun 2012 dan menjadi sangat populer mulai tahun 2017 lewat kitab Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist, mewakili lompatan pemikiran yang mendefinisikan kembali tujuan pembangunan abad ke-21. Kitab tersebut mendapat sambutan positif dari para pemuka keberlanjutan, dan dibanjiri beragam penghargaan termasuk dinyatakan sebagai salah satu kitab terbaik oleh The Financial Times dan Forbes. Hingga sekarang, saya berpikir bahwa bahwa karya tersebut layak masuk ke dalam daftar 50 kitab keberlanjutan terbaik yang pernah ditulis hingga sekarang.
Di dalamnya Raworth memperkenalkan pendekatan holistik yang melampaui metrik tunggal Produk Domestik Bruto (PDB), yang dinyatakannya gagal menangkap dinamika kompleks antara manusia dan ekologi. Kita seringkali merayakan pertumbuhan ekonomi yang sejatinya didasarkan pada penipisan sumber daya alam dan peningkatan ketidaksetaraan. Ekonomi Donat secara visual dan konseptual mendamaikan dua tujuan kritis: mencapai Fondasi Sosial (memastikan tidak ada seorang pun yang jatuh dalam kekurangan kritis) dan mempertahankan Ambang Atas Ekologis (memastikan kita tidak melampaui batas planetari).
Fondasi Sosial terdiri dari 12 dimensi esensial, mulai dari makanan, air, dan energi, hingga kesetaraan gender, suara politik, dan perdamaian, yang secara kolektif mencerminkan hak asasi manusia universal—menambah wawasan dari 9 batas planetari yang diperkenalkan sebelumnya. Ruang di antara kedua lingkaran konsentris ini adalah “ruang yang aman dan adil bagi umat manusia.” Kerangka ini menantang model ekonomi linier “ambil, buat, buang” dan menggantinya dengan visi ekonomi yang regeneratif dalam desain, yang berarti memanfaatkan energi terbarukan dan mendesain ulang sistem material agar bersifat sirkular, mengurangi limbah hingga nol.
Selain itu, kerangka ini menuntut ekonomi yang distributif, yang berarti merancang ulang mekanisme pasar untuk berbagi nilai secara lebih adil—bukan hanya pendapatan, tetapi juga kepemilikan aset, tanah, dan desain. Dengan menggabungkan Batas Planetari dan Fondasi Sosial, kerangka ini memberikan pemahaman baru tentang keberlanjutan—ekonomi yang secara intrinsik menempatkan kebutuhan manusia dan kesehatan planet sebagai prioritas utama. Konsep ini menawarkan kompas yang jelas dan intuitif untuk tindakan transformatif, menggeser fokus dari pertumbuhan tanpa henti menjadi keseimbangan dan kemakmuran inklusif.
Kerapuhan Fondasi Sosial dan Keruntuhan Langit-langit Ekologis
Makalah terbaru oleh Andrew L. Fanning dan Kate Raworth, Doughnut of Social and Planetary Boundaries Monitors a World Out of Balance, menyajikan hasil pemantauan mutakhir dari kerangka Ekonomi Donat selama periode 2000 hingga 2022. Temuan mereka yang dipublikasikan di jurnal Nature pada tanggal 1 Oktober 2025 ini menegaskan diagnosis yang mengkhawatirkan: dunia berada dalam ketidakseimbangan parah, dan laju kemajuan sosial tidak sebanding dengan percepatan degradasi ekologis. Analisis tersebut bukan hanya menunjukkan di mana kita berada, tetapi juga seberapa cepat kita bergerak menjauh dari ruang yang aman dan adil. Membacanya membuat saya tersadar bahwa alih-alih manis, donat ala Raworth ini rasanya mungkin pahit dan getir, kecuali kalau kemudian kita semua memanfaatkan peringatannya untuk tindakan perbaikan.

Kemajuan yang Lambat dan Tidak Merata dalam Fondasi Sosial. ‘Temuan Fanning dan Raworth mengungkapkan bahwa meskipun PDB global telah berlipat ganda dalam beberapa dekade saja, pencapaian dalam mengurangi kekurangan sosial (social shortfall) hanya menunjukkan perbaikan yang moderat. Kekurangan sosial, yang diukur melalui 21 indikator pada 12 dimensi, menunjukkan bahwa pada tahun 2022, 35% populasi global (sekitar 3 miliar orang) masih hidup dalam kondisi kekurangan mendasar. Tren historis ini—dengan perbaikan rata-rata hanya 0,5% poin per tahun—sangat tidak memadai. Pencapaian ini setidaknya harus dipercepat lima kali lipat atau minimal menjadi 2,5% per tahun untuk dapat memenuhi kebutuhan semua orang pada tahun 2030, sejalan dengan ambisi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Kesenjangan antara laju kemajuan saat ini dan target 2030 adalah bukti nyata kegagalan model pembangunan saat ini dalam mencapai inklusivitas.
Perbaikan terbesar terlihat pada dimensi yang mengukur akses ke kebutuhan fisik dan teknologi seperti konektivitas internet, cakupan layanan kesehatan, dan akses listrik, menunjukkan keberhasilan dalam penyediaan infrastruktur dasar, terutama di negara-negara berkembang. Namun, lima indikator kunci menunjukkan sangat sedikit perubahan, termasuk kekurangan gizi, ketersediaan air minum aman, dan persepsi korupsi. Stagnasi dalam nutrisi dan akses air yang aman menegaskan kegagalan sistem pangan dan tata kelola air global untuk mengatasi masalah akar kemiskinan dan ketidakadilan distribusi.
Yang paling mengkhawatirkan, dua indikator penting—kerawanan pangan dan rezim otokratis—menunjukkan tren memburuk secara signifikan selama periode analisis. Peningkatan otokrasi dan kerawanan pangan (yang diperburuk oleh konflik dan krisis iklim) menyoroti bahwa kemajuan material yang dicapai di banyak negara ternyata tidak diimbangi dengan perbaikan dalam dimensi tata kelola dan ketahanan sistem. Kerapuhan Fondasi Sosial global ini mengisyaratkan bahwa stabilitas sosial dan politik jauh dari terjamin, bahkan ketika PDB meningkat.
Semakin Terlampauinya Ambang Atas Ekologis. Di sisi lain lingkaran Donat, ecological overshoot menunjukkan percepatan yang drastis, jauh melebihi perbaikan sosial. Saat ini, umat manusia telah melampaui setidaknya enam dari sembilan batas planetari, termasuk perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan siklus nitrogen/fosfor. Tingkat overshoot rata-rata meningkat dari 75% pada tahun 2000 menjadi 96% pada tahun 2022, hampir menyentuh ambang 100% yang menandakan pelanggaran total dan mendalam pada seluruh batas. Jika diukur sebagai persentase, tren ini memburuk dengan laju rata-rata 3,9% poin per tahun. Ini adalah bukti bahwa aktivitas ekonomi global saat ini didasarkan pada model yang destruktif.
Untuk memulihkan stabilitas sistem Bumi pada tahun 2050 (target yang realistis untuk menghindari titik kritis sistem), percepatan degradasi ini harus segera dihentikan dan bahkan dibalik dengan laju regenerasi hampir dua kali lipat dari laju degradasi saat ini, yaitu rata-rata 6,9% poin per tahun. Proyeksi laju pemulihan yang dibutuhkan ini menyoroti skala tantangan yang hampir tidak terbayangkan dalam skenario business as usual.
Beberapa indikator menunjukkan pemburukan yang sangat cepat, seperti konsentrasi di atmosfer, radiative forcing, dan bahan kimia berbahaya, yang tingkat overshoot-nya berlipat ganda dalam dua dekade. Fanning dan Raworth secara khusus menyoroti bahwa pemulihan ke batas aman pada tahun 2050 sangat tidak mungkin untuk beberapa indikator akibat waktu yang dibutuhkan oleh sistem respons dari Bumi—seperti akumulasi dan laju kepunahan spesies. Ini berarti bahwa bahkan jika kita menghentikan emisi hari ini, dampaknya baru akan terasa dalam beberapa dekade mendatang. Ini benar-benar menekankan kebutuhan untuk segera mencapai net-zero sekaligus keniscayaan memulai projek-projek restorasi ekologis skala besar.
Ketidaksetaraan sebagai Biang Kerok. Temuan paling krusial dari analisis ini terletak pada ketidaksetaraan global yang terungkap melalui pembagian negara menjadi tiga klaster pendapatan: 40% termiskin, 40% menengah, dan 20% terkaya. Ketidaksetaraan ini adalah kunci untuk memahami akar masalah ketidakberlanjutan global.
- Negara 20% Terkaya: Kelompok ini, yang hanya mewakili 15% populasi global, bertanggung jawab atas kontribusi overshoot ekologis tahunan terbesar, yaitu 44% dari total overshoot global—bahkan mencapai 73% untuk jejak karbon. Kontribusi dominan mereka terhadap krisis iklim dan lingkungan membongkar mitos bahwa pertumbuhan di negara-negara maju dapat secara ‘otomatis’ memisahkan (decouple) dampak lingkungan dan PDB. Secara kontras, kelompok ini memiliki kekurangan sosial terendah, dengan median hanya 2%. Jejak lingkungan dari konsumsi per kapita mereka 1,3 hingga 12,4 kali lebih besar daripada kelompok termiskin, menunjukkan bahwa gaya hidup yang sangat nyaman di sebagian kecil dunia-lah yang menjadi pendorong utama pelanggaran batas planetari.
- Negara 40% Menengah: Kelompok ini berada di tengah, menyumbang sekitar 52% dari overshoot dan 33% dari kekurangan sosial, kurang lebih proporsional dengan porsi populasi mereka. Klaster ini sangat penting karena tren pembangunan mereka akan menentukan masa depan Donat. Jika negara-negara ini malah mengikuti jalur pembangunan yang tinggi karbon dan sumber daya ala 20% terkaya itu, overshoot global akan mustahil dikendalikan.
- Negara 40% Termiskin: Kelompok ini, yang dihuni 42% populasi dunia, hanya menyumbang 4% terhadap overshoot ekologis global, yang membuktikan bahwa mereka bukanlah penyebab utama kerusakan lingkungan. Namun, mereka menanggung beban tidak proporsional, yaitu 63% dari total kekurangan sosial global. Mereka paling menderita dalam dimensi kebutuhan fisik seperti kesehatan, energi, dan perumahan. Ironisnya, mereka yang paling sedikit kontribusinya terhadap krisis ekologis adalah yang paling rentan terhadap konsekuensi dari pelanggaran batas planet—seperti kekeringan, kenaikan permukaan laut, dan gelombang panas.
Data ini secara definitif menunjukkan bahwa penyebab utama kerusakan ekologis global adalah konsumsi dan produksi yang berlebihan oleh negara-negara berpendapatan tinggi, sementara konsekuensi sosial terberat ditanggung oleh negara-negara miskin. Ketidaksetaraan ini menegaskan kebenaran argumen para akademisi post-growth mengenai perlunya mengatasi ketergantungan struktural negara-negara kaya pada pertumbuhan PDB tak terbatas dan sebaliknya berorientasi pada kebijakan ekonomi yang regeneratif dan distributif. Memperbaiki ketidakadilan ini bukanlah ‘sekadar’ masalah etika, tetapi merupakan prasyarat untuk mencapai stabilitas ekologis bagi Bumi.
Mengambil Keputusan Secara Realistis
Makalah Fanning dan Raworth bukanlah laporan biasa. Ia adalah detektor bahaya real-time yang mengonfirmasikan bahwa narasi pembangunan abad ke-20, yang didorong oleh obsesi pertumbuhan PDB tanpa batas, telah gagal total membawa kita semua ke ruang yang aman dan adil. Hasil pemantauan mutakhir ini, menurut hemat saya, perlu segera dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan di seluruh spektrum masyarakat sebagai panduan navigasi kritis.
Pemerintah di negara-negara berpenghasilan tinggi harus menerima bahwa pencapaian sosial mereka dicapai dengan mengorbankan stabilitas planet. Prioritas kebijakan harus beralih dari mengejar PDB menuju pengurangan konsumsi dan produksi ekologis secara terencana (degrowth atau post-growth) dan secara aktif mendanai transisi energi dan sosial yang distributif di negara-negara berpenghasilan rendah. Ini mencakup implementasi pajak karbon yang progresif, investasi dalam infrastruktur sosial (seperti layanan kesehatan dan pendidikan gratis), dan pergeseran indikator keberhasilan dari PDB menjadi metrik kesejahteraan yang lebih komprehensif. Sebaliknya, pemerintah di negara-negara berpenghasilan rendah harus memprioritaskan pemenuhan Fondasi Sosial sambil secara strategis menghindari jebakan pertumbuhan yang tinggi karbon dan menuntut keadilan iklim historis. Mereka harus menjadi pelopor dalam mengadopsi jalur pembangunan yang bersih, didorong oleh energi terbarukan dan model sirkular.
Perusahaan, terutama yang beroperasi di sektor ekstraktif, manufaktur, dan keuangan, harus mengintegrasikan batas planetari ke dalam model bisnis inti mereka, alih-alih sekadar menerapkan inisiatif sosial dan lingkungan yang bersifat kosmetik. Sektor keuangan, misalnya, harus secara radikal mengalihkan modal dari aset yang melanggar batas ekologis ke investasi yang bertujuan untuk regenerasi. Mereka perlu berinovasi dalam model ekonomi sirkular dan regeneratif yang dirancang untuk menjadi distributif sejak awal—membayar upah yang adil, menciptakan rantai pasokan yang adil, dan mengembalikan aset ekologis. Hal ini membutuhkan perubahan mendasar dalam struktur tata kelola perusahaan, menempatkan tujuan sosial dan ekologis di samping di atas laba bagi pemegang saham.
Sementara itu, masyarakat sipil dan individu memiliki peran krusial untuk menuntut akuntabilitas, menyebarkan pemahaman tentang Ekonomi Donat, dan menjadi agen perubahan kultural. Ini berarti mendefinisikan ulang apa arti kemajuan di luar konsumsi material, mendukung gerakan lokal dan regional yang mengadopsi kerangka Donat, seperti inisiatif Doughnut Cities, dan membuat keputusan konsumsi yang menghormati batas planetari. Ini adalah panggilan untuk partisipasi aktif dalam merancang ulang sistem, mengakui bahwa setiap pilihan—dari konsumsi hingga keterlibatan politik—memiliki jejak ekologis dan sosial.
Makalah Fanning dan Raworth adalah pengingat yang keras: kita tidak bisa lagi menunda regenerasi sosial dan ekologis, atau kita semua akan terjepit dalam reruntuhan bangunan yang fondasinya rapuh dan langit-langitnya runtuh. Dengan memanfaatkan wawasan berbasis data yang terkandung di dalamnya, kita telah memiliki peta jalan untuk melakukan reorientasi ekonomi global—mengubah arah dari pertumbuhan yang merusak menuju pembangunan yang regeneratif, distributif, aman, dan adil. Seluruh pihak kini perlu bertindak dengan urgensi yang sesuai dengan besarnya tantangan yang kita hadapi. Dan ini bukanlah hal yang idealistis, melainkan satu-satunya pilihan realistis—yaitu pilihan disandarkan pada kondisi objektif sosial dan lingkungan—kalau kita semua ingin tetap hidup baik di masa mendatang dan mewariskan kehidupan yang baik buat generasi mendatang.

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan AndaJalal adalah Penasihat Senior Green Network Asia. Ia seorang konsultan, penasihat, dan provokator keberlanjutan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Ia telah bekerja untuk beberapa lembaga multilateral dan perusahaan nasional maupun multinasional dalam kapasitas sebagai subject matter expert, penasihat, maupun anggota board committee terkait CSR, keberlanjutan dan ESG; menjadi pendiri dan principal consultant di beberapa konsultan keberlanjutan; juga duduk di berbagai board dan menjadi sukarelawan di organisasi sosial yang seluruhnya mempromosikan keberlanjutan.