Maju-Mundur Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan dalam RUPTL 2025-2034

Krisis iklim dan dampaknya yang semakin parah membuat transisi ke energi terbarukan menjadi semakin mendesak. Pada 26 Mei 2025, pemerintah merilis dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang merupakan pedoman untuk pengembangan sistem ketenagalistrikan dalam memenuhi kebutuhan listrik hingga 10 tahun mendatang. Namun, masih terdapat sejumlah celah dalam beberapa target dan rencana yang dimuat dalam rencana tersebut.
RUPTL 2025-2034
Dalam dokumen RUPTL, PLN memproyeksikan bahwa bauran energi terbarukan akan mencapai 34,4% pada akhir tahun 2034. Target ini akan dicapai melalui rencana pembangunan pembangkit hingga sebesar 69,5 gigawatt (GW), yang ditingkatkan dari rencana dalam dokumen sebelumnya, yaitu 40,6 GW untuk tahun 2021-2030.
Dalam rencana tersebut, 76% dari total kapasitas pembangkit disebutkan akan berasal dari energi hijau dan sistem penyimpanan energi seperti baterai dan pumped storage. Lebih rinci, pembangkit energi baru terbarukan sebesar 42,1 GW, kapasitas penyimpanan 10,3 GW, dan tenaga nuklir sebesar 0,5 GW. Sementara 24% sisanya, yaitu sekitar 16,6 GW, akan ditambahkan dari pembangkit listrik energi fosil, yaitu gas (10,3 GW) dan batubara (6,3 GW).
Adapun jenis energi yang akan dikembangkan meliputi tenaga surya (17,1 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), hidro (11,7 GW), dan juga bioenergi (0,9 GW). Sementara itu, tenaga nuklir akan mulai diperkenalkan dengan pembangunan dua unit reaktor kecil di Sumatera dan Kalimantan, masing-masing berkapasitas 250 megawatt.
RUPTL juga diproyeksikan dapat menarik investasi hingga sebesar Rp2.967 triliun dan menciptakan 1,7 juta lapangan kerja yang 91% di antaranya diklaim pekerjaan hijau. Selain itu, RUPTL juga memuat program Listrik Desa (Lisdes) yang menargetkan aliran listrik ke 780 ribu rumah tangga di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal.
Catatan Kritis
Namun, dokumen RUPTL 2025-2034 memiliki celah yang berpotensi mengaburkan arah transisi energi Indonesia, terutama karena dokumen ini masih memasukkan energi fosil dalam proporsi yang cukup besar. Padahal sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Permen ESDM 10/2025 yang memuat pelarangan pengembangan PLTU baru dan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU sebagai strategi transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
Menurut Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), penambahan energi fosil dalam RUPTL 2025-2034 mencerminkan adanya kemunduran terhadap komitmen transisi energi nasional dan bertentangan dengan ambisi penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Hal ini dapat menciptakan ketidakpastian bagi publik, sektor keuangan, dan investor swasta yang ingin beralih ke energi bersih.
Selain itu, Yayasan Indonesia CERAH juga menilai bahwa RUPTL 2025-2034 dapat memperkuat ketergantungan pada energi fosil. Misalnya, pembangunan pembangkit tenaga gas dengan umur teknis 25-30 tahun biasanya akan disertai dengan pembangunan infrastruktur tambahan, kontrak jangka panjang, serta subsidi harga gas bumi tertentu (HGBT). Dengan modal besar yang sudah tertanam, akan sulit bagi pemerintah untuk menutup pembangkit lebih awal kecuali dengan kompensasi besar.
Sementara itu, IESR menilai bahwa rencana pengembangan energi nuklir perlu dikaji secara cermat karena minimnya kerangka regulasi yang mengatur keamanan operasinya. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) juga berpotensi menimbulkan risiko keamanan yang tinggi, sementara masih belum ada kejelasan teknologi yang akan dipakai serta rendahnya penerimaan masyarakat.
Mengawasi Implementasi
Implementasi RUPTL harus dikawal dan diawasi untuk memastikan agar transisi menuju energi terbarukan dapat tercapai sesuai target yang ditentukan. Pemerintah juga perlu menyusun berbagai kebijakan yang mendukung, seperti menciptakan iklim investasi yang sehat dalam sektor energi terbarukan, mendukung penelitian dan pengembangan teknologi, dan berbagai regulasi lain untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan. Selain itu, implementasi RUPTL harus dipastikan sejalan dengan transisi energi berkeadilan lewat partisipasi publik yang bermakna dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Editor: Abul Muamar
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.