Memahami Kecurigaan dan Kekecewaan terhadap Gerakan Keberlanjutan Perusahaan
 
                Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
“Rather than love, than money,
than fame, give me truth”
– Henry David Thoreau
Seorang jurnalis belia datang kepada saya dan langsung menyemburkan pernyataan, atau lebih tepatnya dakwaan, bahwa gerakan keberlanjutan perusahaan tidaklah sebersih apalagi semulia yang dikesankan. Hiruk-pikuk pemberian penghargaan kepada korporasi yang terus bisa disaksikan sepanjang tahun di Indonesia, menurut dia, tak sepenuhnya menggambarkan realitas perusahaan-perusahaan yang menerimanya, apalagi menggambarkan kondisi sektor bisnis di Indonesia. Setelah lewat lima menit mendengar curhat-nya, saya kemudian menanyakan apa tujuannya minta bertemu. Dia bilang, “Kang Jalal saya tahu selalu bicara apa adanya dibandingkan pengamat keberlanjutan lainnya. Nggak marah?”
Tidak Selalu Marah
Secara retrospektif saya tak tahu persis apakah pertanyaan itu maksudnya adalah apakah saya marah terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan berbagai bentuk pencitraan keberlanjutan, atau maksudnya apakah saya marah terhadap tuduhan itu. Tetapi, ketika itu, yang terpikirkan adalah yang pertama. “Kamu tahu apa yang dibilang Bruce Banner ketika ditanya kenapa dia bisa berubah seketika menjadi Hulk?” Pertanyaan saya itu dia jawab dengan gelengan kepala, sehingga saya langsung memberi tahu jawabannya: “I am always angry.”
Itu adalah gambaran perasaan saya yang sesungguhnya. Terhadap perilaku banyak perusahaan, saya marah. Tidak always, tetapi dalam cukup banyak kesempatan. Di hampir seluruh waktu, saya kecewa. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja saya punya alasan untuk tersenyum lebar pada kemajuan hakiki yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan tertentu. Tetapi, saya tak bisa menjelma menjadi Hulk, dan saya tetap ingin jauh lebih konstruktif dibandingkan mengungkapkan kekecewaan bahkan kemarahan. Oleh karena itu, saya memberi tahu sudut pandang banyak kritikus keberlanjutan perusahaan kepada sang jurnalis. Di sini, saya ingin merekonstruksikan kembali apa yang saya sampaikan.
Upaya Penjinakan yang Berhasil
Di tengah hiruk pikuk wacana dan demonstrasi bertema krisis iklim dan ketimpangan sosial, ruang-ruang rapat pimpinan tertinggi perusahaan memperkenalkan istilah yang tadinya asing buat mereka: keberlanjutan. Istilah ini, bersama sepupunya yang kini tampil lebih modis, ESG (Environmental, Social, and Governance), telah menjadi semacam agama baru bagi dunia korporasi. Perusahaan-perusahaan berlomba-lomba menerbitkan laporan keberlanjutan setebal novel, dihiasi infografis berwarna-warni dan potret pekerja dan masyarakat yang tersenyum di tengah ladang hijau. Para petingginya mendeklarasikan komitmen pada planet dan manusia dengan retorika yang begitu agung, seolah-olah korporasi, yang selama ini menjadi salah satu arsitek dan kontraktor utama krisis ekologis dan sosial, tetiba telah menemukan pencerahan dan siap menjadi juru selamat. Namun, saya harus akui, jika kita mengupas lapisan cat hijau yang tebal di dinding-dinding perusahaan ini, kita akan menemukan sebuah gambaran kebenaran yang jauh lebih suram.
Gerakan keberlanjutan korporasi modern, pada hakikatnya, bukanlah sebuah revolusi kesadaran, melainkan sebuah mahakarya penjinakan—begitu kata Matthew Archer dalam bukunya, Unsustainable: Measurement, Reporting, and the Limits of Corporate Sustainability. Ia adalah produk dari apa yang bisa disebut sebagai Keberlanjutan Neoliberal, sebuah ideologi yang percaya bahwa mekanisme pasar, jika dibekali dengan data yang cukup, secara ajaib akan menyelesaikan masalah-masalah yang diciptakannya sendiri. Paradigma ini telah melahirkan sebuah obsesi yang nyaris patologis terhadap pengukuran, standarisasi, dan pelaporan. Lahirlah sebuah kultus dalam agama baru itu: dataisme, yaitu keyakinan buta bahwa realitas sosial dan ekologis yang kompleks, cair, dan saling berkelindan dapat direduksi menjadi angka-angka dingin dalam spreadsheet.
Asumsinya sederhana. Jika kita bisa mengukurnya, kita bisa mengelolanya; dan jika kita bisa mengelolanya, pasar akan menilainya secara efisien. Dengan demikian, interpretasi ‘miring’-nya, tugas perusahaan bukanlah untuk benar-benar berubah secara fundamental mengarahkan diri kepada keberlanjutan, melainkan untuk menjadi mahir dalam seni pengungkapan data. Entah berapa kali saya berada dalam satu meja dengan mereka yang tertawa ketika mengakui perusahaannya menukangi data dalam laporan keberlanjutan.
Data dan Manipulasinya
Ironi pertama, dan mungkin yang terbesar, dari gerakan keberlanjutan perusahaan ialah bahwa fokus pada data justru telah menjadi penghalang bagi tindakan transformatif yang sejati. Para manajer keberlanjutan lebih sering disibukkan dengan memilih indikator yang mudah diukur dan sudah tersedia datanya ketimbang indikator yang paling merefleksikan dampak nyata. Mengukur jumlah manajer perempuan, misalnya, tentu jauh lebih mudah daripada mengukur terciptanya budaya kerja yang benar-benar inklusif dan adil. Menghitung jumlah pohon yang ditanam, atau bahkan karbon yang diserap oleh pohon-pohon itu, tentu lebih sederhana daripada menunjukkan bahwa seluruh fungsi ekosistem yang dibutuhkan masyarakat lokal tidak hancur oleh operasi perusahaan.
Akibatnya, keberlanjutan perusahaan kerap menjadi trivial luar biasa. Ia menjadi serangkaian kotak centang. Kompleksitas direduksi menjadi kesederhanaan yang keterlaluan dan menipu. Sebuah pameran foto yang menampilkan dampak nyata operasi perusahaan terhadap komunitas lokal bisa dengan mudah dikesampingkan dengan komentar dingin seorang eksekutif bahwa anekdot bukanlah data, dan bahwa foto-foto itu dipilih dengan bias. Kisah-kisah penderitaan manusia, kerusakan ekosistem, dan nuansa konteks lokal kerap dianggap tidak relevan karena tidak dapat dikuantifikasi dengan rapi. Yang terpenting adalah laporan itu sendiri, bukan realitas yang coba diwakilinya. Perusahaan dipuji karena transparan dalam melaporkan data kuantitatif, tidak peduli seberapa buruk data tersebut, dengan asumsi implisit bahwa pasar akan menggunakan informasi itu untuk menciptakan hasil yang paling—atau setidaknya lebih—berkelanjutan. Ini adalah sebuah lompatan keyakinan yang luar biasa naif, atau mungkin, luar biasa licik.
Panggung sandiwara ini mencapai puncaknya dengan ledakan popularitas investasi berbasis ESG. Diciptakan pada tahun 2004, ESG meledak menjadi tren utama di pasar keuangan pada akhir 2010-an, menjanjikan investor cara untuk ‘berbuat baik’ sambil tetap meraup keuntungan. Namun, bangunan megah ESG ini berdiri di atas fondasi yang goyah: istilah-istilah yang kabur, metrik yang serampangan, dan skor yang sering kali fantasi belaka. Kekaburan definisi ESG justru menjadi kekuatannya. Apa pun dapat dikemas ulang dan diluncurkan kembali sebagai produk ESG, menciptakan sebuah pasar yang luas untuk ilusi. Tentu tidak semuanya begitu, namun ketika pengecekan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, ilusi itu terbongkar.
Salah satu penanda dari kerapuhan itu adalah lembaga pemeringkat yang berbeda dapat memberikan skor ESG yang sangat berbeda untuk perusahaan yang sama—sebuah fenomena ESG terkenal yang diberi nama aggregate confusion oleh para peneliti di MIT. Sebuah perusahaan rokok bisa mendapatkan skor sosial yang tinggi karena kebijakan keberagaman di kantor pusatnya, sementara dampak kesehatan dari produknya mengakibatkan ratusan ribu atau bahkan jutaan orang meregang nyawa setiap tahunnya. Sebuah raksasa minyak bisa dipuji karena berinvestasi dalam panel surya, sebuah upaya yang porsinya tak lebih dari setetes air di lautan belanja modal mereka untuk bahan bakar fosil.
Dari Greenwashing hingga Neokolonialisme Data
Banyak peneliti yang menegaskan betapa dunia ESG tampaknya membenci ambiguitas dan konteks. Ia menuntut jawaban hitam-putih yang dapat diskalakan secara global, karena kerumitan menghambat efisiensi pasar. Padahal, perdebatan, dilema-trilema-quadrilema dan seterusnya, trade-offs, dan ketidakpastian adalah bagian tak terpisahkan dari upaya menilai peran sebuah bisnis dalam masyarakat. Semua data yang kita miliki adalah data tentang masa lalu, sementara keberlanjutan adalah tentang masa depan. Namun, dalam logika pemeringkatan ESG tertentu, potret buram dari masa lalu ini dianggap cukup untuk memandu kita menuju masa depan yang cerah. Ini adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya, sebuah resep sempurna untuk penipuan diri massal yang didukung oleh para raksasa jasa keuangan yang tak benar-benar mau mengarahkan diri pada keberlanjutan.
Di sinilah kita tiba pada praktik yang tak terhindarkan: greenwashing—yang lalu berkembang lebih luas menjadi ESG-washing. Ketika sebuah sistem lebih menghargai pengungkapan yang tampak cerdas daripada dampak yang benar-benar positif, maka perusahaan secara alami akan menjadi ahli dalam seni drama panggung keberlanjutan. Begitu kritik Richard Hardyment dalam Measuring Good Business: Making Sense of Environmental, Social and Governance (ESG) Data. Mungkin tidak ada contoh yang lebih gamblang dan memalukan daripada skandal Volkswagen. Hanya tujuh hari sebelum terungkap melakukan penipuan emisi dalam skala yang tak terbayangkan, Volkswagen mendapatkan skor 91 dari 100 dalam Dow Jones Sustainability Index (DJSI) yang prestisius. Ini adalah bukti telak adanya jurang pemisah antara citra yang dipoles melalui data dan realitas operasional yang korup. Dan sangat mungkin Volkswagen tidak dihukum oleh pasar karena datanya, melainkan karena kebohongannya terungkap. Bayangkan berapa banyak skandal serupa yang belum terungkap, tersembunyi di balik laporan ESG yang kinclong.
Tariq Fancy, mantan Chief Investment Officer untuk Keuangan Berkelanjutan di Blackrock, perusahaan manajemen aset terbesar di dunia, secara terbuka menuduh industri ini telah menipu publik Amerika dan menyebut ESG sebagai cara Wall Street untuk menampilkan citra hijau dari sistem ekonomi. Ia tidak melihat bukti bahwa gerakan ini memiliki dampak apa pun selain membuang-buang waktu. Statistik global agaknya mendukung pandangannya. Meskipun triliunan dolar telah mengalir ke dana-dana berlabel ESG, dampak lingkungan di banyak tempat justru memburuk secara drastis. Emisi gas rumah kaca dari industri telah meningkat lebih dari 70% sejak tahun 2000. Polusi plastik telah meningkat sepuluh kali lipat sejak 1980. Kemajuan sosial mandek, dengan satu dari lima pekerja di dunia tidak mendapatkan upah yang cukup untuk keluar dari kemiskinan. Jelas, ada sesuatu yang sangat salah. Pesta pora ESG tampaknya tidak lebih dari musik pengiring bagi orkestra perusakan planet yang terus berjalan, atau malah ESG adalah gegap gempita orkestra untuk menutupi deru mesin Kapitalisme yang destruktif.
Lebih jauh lagi, narasi keberlanjutan korporasi ini dijalankan dengan arogansi yang sering kali terabaikan. ESG kini didominasi oleh para ‘profesional keberlanjutan’, sebuah kelas elite yang sebagian besar berkulit putih, berasal dari kelas menengah ke atas, dan beroperasi dari kota-kota yang nyaman seperti Jenewa. Dari menara gading mereka, mereka merancang inisiatif untuk wilayah-wilayah yang mereka anggap sebagai kondisi distopis, tempat keahlian mereka paling dibutuhkan untuk membantu mereka yang ‘kurang beruntung’. Ini adalah sebuah Misi Peradaban 2.0 dengan visi keberlanjutan yang spesifik—utamanya adalah kemewahan netral karbon—diekspor dan dipaksakan kepada dunia, yang pada akhirnya justru memperkuat struktur kekuasaan ekonomi yang ada.
Dalam model ini, para petani di negara berkembang tidak dilihat sebagai mitra yang setara dengan pengetahuan lokal yang berharga, tetapi sebagai pemasok data mentah. Mereka diwajibkan menggunakan aplikasi ‘pintar’ untuk melaporkan data operasional mereka secara konsisten kepada perusahaan multinasional yang bertindak sebagai penjaga gerbang (gatekeeper) pasar global. Partisipasi mereka direduksi menjadi kepatuhan birokratis. Pengetahuan yang diwariskan turun-temurun tentang tanah dan iklim dianggap tidak ilmiah dan dikesampingkan demi metrik universal yang dirancang di kantor pusat perusahaan. Ini sesungguhnya bukanlah pemberdayaan. Ini adalah bentuk baru neokolonialisme data, yang dibungkus dengan bahasa keberlanjutan yang luhur.
Of Babies and Bathwater
Lalu, apa yang harus dilakukan? Jelas, kita tidak bisa terus menipu diri sendiri dengan ilusi bahwa pasar saja akan menyelamatkan kita. Kita harus berhenti membatasi ambisi kita pada apa yang mudah diukur. Isu-isu krusial seperti hak asasi manusia, martabat, dan ketahanan sosial tidak boleh diabaikan hanya karena sulit untuk dikuantifikasi. Kita harus menuntut lebih dari sekadar transparansi data; kita harus menuntut akuntabilitas sejati atas dampak. Ini juga berarti kita perlu beralih dari laporan yang melihat ke belakang (backward-looking) ke komitmen restorasi dan regenerasi yang berorientasi ke depan (forward-looking) dan dapat diverifikasi. Buat saya, kesadaran ini akan membuat kita tidak membuang air mandi bayi yang sudah kotor bersama bayinya. Air kotornya perlu kita buang, namun bayi keberlanjutan perusahaan perlu kita selamatkan, perlu kita tumbuhkan menjadi anak yang restoratif, dan akhirnya menjadi manusia dewasa yang regeneratif.
Sudah saatnya kita mengintegrasikan kembali etika ke dalam jantung bisnis dan keuangan, sebuah konsep yang sebenarnya sudah ada sejak zaman kuno, jauh sebelum Milton Friedman menyatakan bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial bisnis adalah meningkatkan keuntungannya. Narasi win-win yang menyatakan bahwa inisiatif keberlanjutan akan selalu menghasilkan keuntungan adalah mitos yang berbahaya. Terkadang, melakukan hal yang benar akan menambah biaya, dan setidaknya dalam jangka pendek tidak akan membuat laporan keuangan menjadi kinclong. Dan selalu, kepentingan planet dan manusia harus diutamakan di atas keuntungan jangka pendek.
Jika kita kehilangan motivasi intrinsik untuk bertanggung jawab—sebagaimana yang ditekankan dalam definisi tanggung jawab sosial perusahaan—dan hanya bertindak jika ada business case yang mendukungnya, maka kita telah kehilangan kompas moral kita. Kompas moral kita, menurut hemat saya, adalah keadilan intra- dan terlebih lagi inter-generasi, yang kerap menghilang dalam riuh-rendah dan kesibukan meningkatkan skor ESG. Dalam kata-kata penemu vaksin polio, Jonas Salk, “The most important question we must ask ourselves is, “Are we being good ancestors?”” Pertanyaan inilah yang perlu memandu gerakan keberlanjutan perusahaan yang hakiki, bukan “Berapa skor Sustainalytics kalian sekarang?”
Gerakan keberlanjutan dalam bentuk saat ini secara aktif masih menyediakan selubung legitimasi bagi perusahaan untuk melanjutkan praktik-praktik yang merusak sambil mengklaim kebajikan. Ia menenangkan hati nurani konsumen dan investor, menciptakan kepuasan yang salah arah, dan menunda tindakan radikal yang sangat kita butuhkan. Dunia kini tidak memerlukan laporan keberlanjutan yang lebih cantik atau skor ESG komposit yang tampak canggih. Dunia membutuhkan perubahan fundamental dalam tujuan dan cara kerja perusahaan. Sudah waktunya untuk bergerak melampaui keberlanjutan sebagai pertunjukan panggung dan menuntut akuntabilitas atas kinerja regeneratif yang sesungguhnya. Karena pada akhirnya, kita tidak bisa menipu hukum fisika dan ekologi dengan spreadsheet dan laporan yang cantik. Kita tak pernah bisa menawar waktu kepada Ibu Bumi.
Editor: Abul Muamar
 
  Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member SekarangJalal adalah Penasihat Senior Green Network Asia. Ia seorang konsultan, penasihat, dan provokator keberlanjutan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Ia telah bekerja untuk beberapa lembaga multilateral dan perusahaan nasional maupun multinasional dalam kapasitas sebagai subject matter expert, penasihat, maupun anggota board committee terkait CSR, keberlanjutan dan ESG; menjadi pendiri dan principal consultant di beberapa konsultan keberlanjutan; juga duduk di berbagai board dan menjadi sukarelawan di organisasi sosial yang seluruhnya mempromosikan keberlanjutan.

 
                        
 Menjadi Jembatan Keberlanjutan: Strategi Manajer Madya di Tengah Kelembaman dan Desakan Perubahan
                                    Menjadi Jembatan Keberlanjutan: Strategi Manajer Madya di Tengah Kelembaman dan Desakan Perubahan                                 Bagaimana Mineral Kritis Dapat Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Global South
                                    Bagaimana Mineral Kritis Dapat Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Global South                                 Mengulik Isu Penurunan Muka Tanah Pesisir Jawa
                                    Mengulik Isu Penurunan Muka Tanah Pesisir Jawa                                 Kebangkitan Pertanian Permakultur Lokal di India
                                    Kebangkitan Pertanian Permakultur Lokal di India                                 Menilik Dampak Proyek LNG di Tengah Pusaran Transisi Energi
                                    Menilik Dampak Proyek LNG di Tengah Pusaran Transisi Energi                                 Memanfaatkan Limbah Makanan Laut sebagai Peluang Ekonomi Biru yang Berkelanjutan
                                    Memanfaatkan Limbah Makanan Laut sebagai Peluang Ekonomi Biru yang Berkelanjutan