Mengukur Keragaman Pola Makan Perempuan untuk Memperkuat Ketahanan Pangan
Foto: Freepik.
Jutaan orang mengalami kerawanan pangan dalam berbagai tingkatan, yang berdampak pada kesejahteraan dan kesehatan, khususnya perempuan. Perempuan sering terdampak lebih parah dibanding laki-laki karena berbagai faktor yang berakar pada ketimpangan gender. Indikator Keragaman Pola Makan Minimum (MDD) untuk Perempuan merupakan alat sederhana yang dapat menilai keragaman pola makan perempuan usia reproduktif untuk memperbaiki pola makan dan mengatasi kerawanan pangan.
Kerawanan Pangan & Perempuan
Menurut pengukuran prevalensi kekurangan gizi oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sekitar 9,1% populasi dunia mengalami kelaparan pada 2023. Selain itu, sekitar 28,9% (2,33 miliar orang) menghadapi kerawanan pangan pada tingkat sedang hingga parah.
Krisis kemanusiaan dan perubahan iklim merupakan faktor terbesar yang menghambat progres dalam mewujudkan ketahanan pangan. Dalam kondisi ini, FAO memperkirakan 582 juta orang akan mengalami kekurangan gizi kronis pada tahun 2030.
Masalah kerawanan pangan dan malnutrisi tidak bisa dipisahkan dari isu gender. Data FAO menunjukkan bahwa prevalensi perempuan mengalami kerawanan pangan lebih tinggi dibanding laki-laki, dengan kesenjangan yang konsisten sejak 2015. Namun, selisih ini mulai menyempit seiring meredanya pandemi COVID-19, dari 2,3% menjadi 1,3% pada 2023.
Namun, malnutrisi pada perempuan dan anak perempuan merupakan masalah sistemik. Perempuan sering menghadapi keterbatasan sumber daya, waktu, dan pengetahuan untuk mengakses makanan bergizi. Selain itu, kesehatan perempuan juga kurang mendapat perhatian, dimana subjek utama penelitian dan kebijakan umumnya adalah laki-laki dewasa yang sehat jasmani.
Kekurangan gizi pada perempuan dapat memicu masalah kesehatan seperti anemia serta berdampak terhadap pendidikan dan produktivitas kerja. Selain itu, kualitas dan pengetahuan gizi perempuan sangat penting untuk mendukung keluarga yang sehat. Seorang ibu yang mengalami malnutrisi atau memiliki pengetahuan gizi yang terbatas berisiko memperpanjang siklus kekurangan gizi pada anak, yang memengaruhi tingkat kelangsungan hidup, kesehatan, dan kesejahteraan anak.
Indikator Keragaman Pola Makan Minimum
Memenuhi kebutuhan nutrisi bukan hanya tentang mengenyangkan perut, tetapi juga tentang keragaman asupan makanan. Pada 2025, Sidang ke-56 Komisi Statistik PBB resmi mengadopsi indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang baru tentang Indikator Keragaman Pola Makan Minimum (MDD).
Indikator ini berfokus pada perempuan dan anak-anak, dua kelompok yang rentan terhadap malnutrisi. FAO akan bertanggung jawab atas pengelolaan MDD untuk Perempuan (MDD-W), sementara UNICEF akan memimpin MDD untuk Anak-anak (MDD-C).
MDD untuk Perempuan digunakan untuk menilai keragaman pola makan di tingkat populasi. Keragaman pola makan atau variasi makanan yang dikonsumsi seseorang tidak hanya mencerminkan kualitas makanan, tetapi juga aspek lain, seperti kecukupan, moderasi, dan keseimbangan gizi.
Indikator MDD terdiri dari pertanyaan ya/tidak bagi perempuan berusia 15-49 tahun tentang apakah mereka telah mengonsumsi setidaknya lima dari 10 kelompok makanan yang ditentukan dalam 24 jam terakhir. Ketika semakin banyak perempuan dalam sampel yang melampaui ambang batas minimum, maka semakin besar kemungkinan pola makan mereka memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral.
Mewujudkan Ketahanan Pangan untuk Semua
Penerapan MDD sebagai indikator SDG menggarisbawahi pentingnya nutrisi dalam mempercepat tujuan mengakhiri kelaparan. Indikator MDD-W dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak program, menginformasikan proses pembuatan kebijakan, serta menetapkan target perbaikan oleh pemerintah dan organisasi untuk memperkuat ketahanan pangan untuk semua.
Penerjemah: Kesya Arla
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Madina is the Assistant Manager for Digital Publications at Green Network Asia. She graduated from Universitas Indonesia with a bachelor's degree in English Literature. She has three years of professional experience working on GNA international digital publications, programs, and partnerships particularly on social and cultural issues.

Menilik Simpul Antara ‘Gajah Terakhir’ dan Banjir di Sumatera
Meningkatnya Angka Pengangguran Sarjana dan Sinyal Putus Asa di Pasar Kerja Indonesia
Wawancara dengan May Tan-Mullins, CEO dan Rektor University of Reading Malaysia
Memperkuat Ketahanan Masyarakat di Tengah Meningkatnya Risiko Bencana
UU KUHAP 2025 dan Jalan Mundur Perlindungan Lingkungan
Wawancara dengan Eu Chin Fen, CEO Frasers Hospitality