Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Komunitas
  • Siaran Pers
  • Muda
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Opini

Menjaga Skeptisisme yang Sehat atas Klaim Iklim Perusahaan

Sebagai investor, konsumen, regulator, dan warga negara yang peduli, kita harus terus memelihara skeptisisme yang sehat terhadap klaim-klaim perusahaan; menuntut transparansi tidak hanya pada apa yang perusahaan katakan, tetapi juga pada apa yang mereka wujudkan.
Oleh Jalal
2 Oktober 2025
buku terbuka dengan kaca pembesar tergeletak di atasnya

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.

Kini jelas kita tak bisa lagi terus mangkir dari kesimpulan bahwa perubahan iklim adalah ancaman serius di masa sekarang dan mendatang. Perubahan iklim adalah krisis yang sedang dan akan terus berlangsung hingga entah berapa dekade mendatang, dengan peristiwa cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi di seluruh dunia, plus beragam dampak lain yang juga destruktif, bahkan katastrofik. Skala krisis ini, yang digambarkan sebagai kegagalan pasar terbesar di dunia, sangat menuntut tindakan terkoordinasi dari pemerintah, masyarakat, dan—yang terpenting—sektor bisnis untuk memangkas emisi hingga mencapai net-zero atau bahkan negatif.

Skeptisisme yang Menguat terhadap Klaim Iklim Perusahaan

Di tengah meningkatnya tekanan dari konsumen, pemegang saham, dan regulator, perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia seakan berlomba-lomba menetapkan janji iklim. Ribuan perusahaan telah bergabung dalam kampanye iklim global, menjadikan komitmen iklim sebagai praktik standar. Namun, di balik gelombang janji yang telah berlangsung bertahun-tahun ini, saya merasakan kemunculan skeptisisme yang terus menguat di kalangan pakar dan aktivis.

Percepatan klaim iklim di satu sisi, dan fragmentasi pendekatan serta kurangnya pengawasan atas regulasi di sisi lain, menciptakan lanskap yang sedemikian keruh sehingga kita kerap kesulitan untuk membedakan kepemimpinan iklim yang otentik dari praktik greenwashing yang menyebalkan. Dalam situasi ini, menurut hemat saya, pertanyaan terpentingnya adalah: apakah janji-janji perusahaan itu memang didukung oleh tindakan nyata yang sepadan dengan urgensi sesuai sains? Jawaban singkatnya: tidak.

Analisis kritis terhadap data dan tren menunjukkan adanya kesenjangan yang mengkhawatirkan antara retorika yang tampak ambisius dan implementasi yang lamban. Di tengah dekade yang krusial ini, sangat penting bagi kita untuk memeriksa klaim-klaim ini dengan cermat dan menuntut akuntabilitas yang lebih besar—dan dua laporan yang akan saya uraikan berikut ini bisa memberi banyak pelajaran soal itu.

Lima Pelajaran dari Laporan NewClimate Institute

Laporan Corporate Climate Responsibility Monitor 2025 (CCRM) dari NewClimate Institute memberikan analisis mendalam yang mengungkap berbagai masalah struktural dalam strategi iklim perusahaan. CCRM menyoroti bagaimana janji-janji iklim sering kali dirusak oleh pengungkapan yang tidak lengkap, praktik akuntansi yang menyesatkan, dan kurangnya kemajuan dalam transisi sektoral yang krusial. Dari analisis komprehensif terhadap 55 perusahaan multinasional raksasa, kita dapat menarik lima pelajaran penting yang menguatkan perlunya skeptisisme.

Pertama, target emisi 2030 semakin kehilangan makna. Di pertengahan dekade ini, gambaran mengenai ambisi kolektif target emisi 2030 perusahaan—yang tadinya sangat ditekankan—tampak semakin buram. Laporan CCRM menemukan bahwa target emisi yang diajukan oleh mayoritas perusahaan untuk tahun tersebut semakin tidak memadai untuk memandu atau menilai transisi sektoral yang berarti. Beragam rintangan, seperti pengungkapan emisi yang tidak lengkap dan praktik akuntansi yang buruk di tingkat sektor industri, membuat kita semakin sulit untuk memahami tingkat pengurangan emisi yang sebenarnya ingin dicapai oleh perusahaan dalam lima tahun ke depan. Pada sekitar sepertiga dari 55 perusahaan yang dianalisa, CCRM tidak dapat menemukan ambisi target 2030 mereka dibandingkan dengan baseline 2019. Hal ini menunjukkan bahwa target emisi GRK di pertengahan abad sudah tidak lagi sesuai dengan tujuannya untuk mendorong pengurangan emisi yang berarti, terutama di sektor-sektor dengan emisi Scope 3 yang besar, lantaran banyak perusahaan cenderung menunda penurunan emisi entah sampai kapan.

Kedua, malapraktik pada akuntansi emisi sektoral mengaburkan realitas yang sesungguhnya. Di sektor pangan dan pertanian, perusahaan semakin mengandalkan serapan karbon berbasis lahan (land-based removals) dalam jumlah yang tidak ditentukan proporsinya untuk memenuhi target mereka. Selain itu, target yang dinyatakan banyak yang secara ilmiah tidak akurat, dan mereka tampaknya menggunakan serapan karbon untuk mengaburkan kurangnya tindakan pada sumber emisi utama seperti metana. Di sektor teknologi, perusahaan sangat bergantung pada akuntansi berbasis pasar (market-based accounting) yang sudah usang dan berpotensi menyesatkan, yang memungkinkan mereka mengklaim pengurangan emisi meskipun emisi berbasis lokasi (location-based) mereka mungkin tidak berkurang sama sekali. Sektor aparel juga mengandalkan praktik serupa dan sering kali membingkai biomassa sebagai bahan bakar terbarukan, padahal biomassa bukanlah sumber energi bebas emisi. Produsen otomotif terus-menerus kurang melaporkan emisi fase penggunaan kendaraan mereka. Praktik-praktik ini menunjukkan perlunya kejelasan dan konsistensi yang lebih besar dalam metodologi akuntansi untuk memastikan kredibilitas.

Ketiga, kemajuan transisi sektoral sangatlah terbatas dan tidak transparan. Implementasi transisi sektoral dengan pengurangan emisi yang dalam adalah tulang punggung strategi iklim perusahaan yang ambisius. Namun, analisis CCRM menilai kemajuan perusahaan dalam transisi ini sangat terbatas selain sangat kurangnya transparansi dalam melaporkan kemajuan. Sebagai misal, produsen otomotif menunjukkan kemajuan yang tak cukup memadai dalam meningkatkan pangsa penjualan kendaraan listrik. Perusahaan aparel kurang transparan mengenai kemajuan untuk elektrifikasi proses manufaktur di rantai pasok mereka. Demikian pula, perusahaan teknologi gagal menunjukkan kemajuan dalam pengadaan listrik terbarukan untuk pusat data yang dioperasikan pihak ketiga. Kurangnya kemajuan yang terukur ini menimbulkan keraguan serius tentang apakah perusahaan benar-benar sedang berada di jalur yang tepat untuk memenuhi komitmen iklim jangka panjang mereka.

Keempat, standar akuntabilitas perusahaan saat Ini gagal memberikan hasil memuaskan. Meskipun inisiatif seperti Science Based Targets initiative (SBTi) berhasil memobilisasi ribuan perusahaan untuk menetapkan target, generasi pertama standar akuntabilitas ini dinilai belum secara efektif memandu perusahaan menuju pengurangan emisi yang dalam dan transisi sektoral yang berarti. Penilaian CCRM yang berbeda secara signifikan dari validasi oleh inisiatif lain menyoroti masalah ini. Misalnya, SBTi menilai target sebagian besar perusahaan teknologi selaras dengan jalur 1,5°C, analisis CCRM menilai integritas banyak penilaian itu sebagai tidak jelas atau sangat buruk. Perbedaan ini sering kali didorong oleh isu-isu metodologis spesifik sektor yang tidak ditangani secara memadai oleh standar yang ada. Revisi besar-besaran yang sedang berlangsung terhadap standar-standar utama seperti SBTi dan Protokol GRK agaknya membuat kritik CCRM mendapatkan bukti tambahan, selain memberikan kesempatan krusial bagi kita semua untuk memperbaiki kekurangan ini dan mengarahkan sistem akuntabilitas menuju aksi iklim yang lebih kredibel dan efektif.

Kelima, target berbasis transisi yang spesifik menawarkan jalan keluar yang lebih baik. Mengingat kelemahan target emisi GRK yang ada, CCRM mengusulkan perlunya melengkapinya dengan target penyelarasan spesifik transisi (transition-specific alignment targets). Ini adalah metrik yang secara langsung mengukur kemajuan perusahaan pada tonggak dekarbonisasi penting di sektor mereka, seperti persentase penjualan tahunan kendaraan listrik baterai untuk produsen mobil, atau proporsi baja dengan emisi rendah yang dibeli oleh perusahaan konstruksi. Beberapa perusahaan terdepan sudah menetapkan target semacam ini: Stellantis dan GM menetapkan target penjualan kendaraan listrik; Google dan Microsoft mengejar energi bebas karbon 24/7; H&M Group menargetkan 100% listrik terbarukan untuk semua pemasok; dan Danone menargetkan pengurangan emisi metana dari produksi susu segar. Contoh-contoh ini memberikan cetak biru berharga yang sesungguhnya dapat direplikasi oleh perusahaan lain untuk mempercepat aksi iklim jangka pendek.  Sayangnya, hingga sekarang jumlah perusahaan yang seperti mereka itu terbilang masih sangat sedikit.

Bukti Kedua: Lima Pelajaran dari Laporan TPI Centre

Laporan State of the Corporate Transition 2025 dari TPI Global Climate Transition Centre di London School of Economics and Political Science (LSE) memberikan pandangan berbasis data yang sama, kalau bukan lebih, mengkhawatirkan. Dengan menilai 2.000 perusahaan publik dengan emisi tertinggi di dunia, laporan yang terbit pada 17 September 2025 ini menyoroti kesenjangan yang persisten antara ambisi jangka panjang dan tindakan jangka pendek, selain kredibilitas yang meragukan dari banyak rencana transisi perusahaan. Lima pelajaran utama dari laporan ini memperkuat argumen untuk skeptisisme yang sehat.

Pertama, target iklim mayoritas perusahaan masih belum selaras dengan Perjanjian Paris, terutama dalam jangka pendek dan menengah. Meskipun ada peningkatan yang menggembirakan dalam penyelarasan jangka panjang—pangsa perusahaan yang selaras dengan target 1,5°C telah meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak 2020 menjadi 30% di antara mereka yang menyatakan komitmen—majoritas perusahaan masih gagal memenuhi tujuan Perjanjian Paris. Secara spesifik, 56% perusahaan tidak selaras dengan target 1,5°C atau Di Bawah 2°C dalam jangka panjang (2050). Angka ini melonjak menjadi sekitar tiga perempat perusahaan ketika dinilai dalam jangka pendek (2027–28) dan menengah (2035). Temuan ini memberikan bukti kuat bahwa meskipun target net-zero jangka panjang telah menjadi hal biasa, perusahaan terus menunda pengurangan emisi yang substansial ke masa depan, dengan sedikit yang menetapkan target perantara yang ambisius.

Kedua, rencana transisi yang kredibel sangat jarang ditemukan. Salah satu tema utama laporan ini adalah kredibilitas komitmen iklim perusahaan, yang dinilai melalui kerangka Management Quality (MQ) 5 Level. Level 5 secara khusus menguji apakah perusahaan memiliki rencana transisi yang mencakup tindakan yang terdefinisi, terkuantifikasi, dan didanai secara memadai untuk mencapai net-zero. Hasilnya sungguh mengecewakan: hampir semua dari 2.000 perusahaan yang dinilai menunjukkan kesenjangan yang jelas dalam perencanaan dan implementasi transisi. Tidak ada satu pun perusahaan yang mencapai semua indikator di Level 5 itu, dan tidak lebih dari 10% yang mendapat skor. Yang paling mengkhawatirkan, kurang dari 1% perusahaan telah berkomitmen untuk menyelaraskan belanja modal (capital expenditure) dengan tujuan dekarbonisasi mereka, sebuah komitmen yang krusial untuk menandai keseriusan transisi. Ini menunjukkan bahwa ambisi net-zero jangka panjang jarang didukung oleh perencanaan dan pendanaan yang meyakinkan.

Ketiga, kinerja historis tidak sesuai dengan ambisi masa depan. Ambisi saja jelas tidak pernah menjamin hasil. Laporan TPI Centre ini menganalisa tren intensitas emisi historis perusahaan (2020–2023) untuk menguji apakah tindakan mereka saat ini sejalan dengan ambisi yang dinyatakan. Meskipun ada beberapa kemajuan—rerata perusahaan di sebagian besar sektor mengurangi intensitas emisi sejalan dengan skenario Di Bawah 2°C—kinerjanya tidak cukup untuk skenario 1,5°C yang lebih ketat. Sektor-sektor kritis seperti minyak & gas, semen, dan baja tidak cukup cepat mengurangi emisi antara tahun 2020 dan 2023 untuk memenuhi persyaratan 1,5°C. Sektor minyak & gas membuat kemajuan paling sedikit. Lebih jauh lagi, karena tolok ukur iklim terbaru menuntut pengurangan yang lebih curam, hampir semua sektor sekarang seharusnya mempercepat laju dekarbonisasi mereka melampaui apa yang sudah mereka capai secara historis.

Keempat, banyak strategi dekarbonisasi bergantung pada teknologi yang belum terbukti. Laporan ini melakukan analisis baru terhadap beragam decarbonisation levers yang diandalkan oleh perusahaan, dan menilai kesiapan komersial teknologi tersebut. Ditemukan bahwa banyak perusahaan, terutama di sektor yang sulit dikurangi emisinya seperti penerbangan dan semen, mengandalkan teknologi yang masih dalam tahap awal pengembangan dan membawa risiko kinerja pada implementasinya. Sebanyak 56% perusahaan di delapan sektor dengan emisi tinggi mengandalkan berbagai teknologi carbon capture and removal sebagai bagian dari strategi transisi mereka. Sebaliknya, sektor-sektor dengan opsi yang matang dan terbukti, seperti otomotif dan listrik, sudah mengurangi intensitas emisi lebih cepat. Ketergantungan pada teknologi yang belum matang menunjukkan bahwa beberapa rencana transisi mungkin tidak dapat diandalkan—kalau bukan malah menunjukkan ketidakseriusan sama sekali.

Kelima, praktik tata kelola iklim yang baik, walau sudah ada, belumlah merata. Meskipun pengakuan perusahaan terhadap perubahan iklim sekarang sudah sangat umum, dengan sebagian besar perusahaan mencapai setidaknya Level 3 dalam kerangka MQ, isu-isu strategis yang lebih dalam masih tertinggal. Hanya 45% perusahaan yang memasukkan iklim ke dalam remunerasi eksekutif, dan hanya 29% yang mengungkapkan harga karbon internal. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kinerja yang buruk pada lobi iklim. Hanya 27% perusahaan yang secara terbuka menyatakan dukungannya pada kebijakan mitigasi, dan hanya 10% yang mengelola inkonsistensi antara posisi iklim mereka dan asosiasi perusahaan di mana mereka menjadi anggotanya. Hal ini menunjukkan bahwa sementara perusahaan mungkin mengelola emisi mereka sendiri, banyak yang gagal menyelaraskan ambisi iklim mereka dengan advokasi kebijakan mereka. Padahal advokasi adalah area sangat penting mengingat pengaruh lobi perusahaan yang kuat, dan sering kali negatif, terhadap pembuatan kebijakan iklim.

Menuntut Integritas dalam Transisi Iklim

Bagi saya, bukti-bukti dari kedua laporan ini memberikan gambaran yang suram. Meskipun ada beberapa perusahaan terdepan yang menunjukkan praktik yang baik, secara keseluruhan sektor bisnis global belum menunjukkan keseriusan yang sepadan dengan skala krisis iklim. Janji-janji net-zero yang ambisius sering kali dikompromikan oleh target jangka pendek yang lemah, rencana implementasi yang tidak kredibel, ketergantungan pada teknologi yang belum terbukti, dan kegagalan untuk secara fundamental mengubah model bisnis yang intensif emisi.

Ini jelas bukan saatnya untuk berpuas diri. Sebagai investor, konsumen, regulator, dan warga negara yang peduli, kita harus terus memelihara skeptisisme yang sehat terhadap klaim-klaim perusahaan. Kita harus menuntut transparansi, tidak hanya pada apa yang perusahaan katakan, tetapi juga pada apa yang mereka wujudkan. Kita harus mendorong perusahaan untuk beralih dari target emisi GRK yang luas ke target berbasis transisi yang spesifik dan terukur yang mencerminkan dekarbonisasi nyata.

Bagi perusahaan, ini adalah momen penentuan. Mengabaikan risiko iklim fisik dan transisi bukan hanya tidak bertanggung jawab secara etis, tetapi juga tidak bijaksana secara finansial. Perusahaan yang benar-benar menanamkan transisi ke dalam perencanaan bisnis inti mereka adalah yang paling mungkin untuk menjadi tangguh dan berdaya saing di masa depan yang rendah karbon—satu-satunya masa depan baik yang bakal ada. Keberlanjutan generasi sekarang dan mendatang, serta kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri, bergantung pada keseriusan mereka untuk melakukan transisi iklim yang sejalan dengan sains, bukan sekadar retorika seperti yang ditunjukkan oleh majoritas perusahaan hingga sekarang. Bila ingin selamat, saatnya perusahaan untuk beralih dari sekadar janji ke kemajuan yang terbukti.

Editor: Abul Muamar

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.

Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Pilih Paket Langganan Anda

Jalal
Website |  + postsBio

Jalal adalah Penasihat Senior Green Network Asia. Ia seorang konsultan, penasihat, dan provokator keberlanjutan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Ia telah bekerja untuk beberapa lembaga multilateral dan perusahaan nasional maupun multinasional dalam kapasitas sebagai subject matter expert, penasihat, maupun anggota board committee terkait CSR, keberlanjutan dan ESG; menjadi pendiri dan principal consultant di beberapa konsultan keberlanjutan; juga duduk di berbagai board dan menjadi sukarelawan di organisasi sosial yang seluruhnya mempromosikan keberlanjutan.

  • Jalal
    https://greennetwork.id/author/jalal/
    Memahami Kecurigaan dan Kekecewaan terhadap Gerakan Keberlanjutan Perusahaan
  • Jalal
    https://greennetwork.id/author/jalal/
    Memahami Sisi Gelap Kecerdasan Buatan

Continue Reading

Sebelumnya: Bagaimana Institusi Akademik dapat Berkontribusi dalam Pengelolaan Sampah

Lihat Konten GNA Lainnya

truk sampah kuning yang diparkir di depan fasilitas pengolahan sampah Bagaimana Institusi Akademik dapat Berkontribusi dalam Pengelolaan Sampah
  • GNA Knowledge Hub
  • Komunitas

Bagaimana Institusi Akademik dapat Berkontribusi dalam Pengelolaan Sampah

Oleh Ponnila Sampath-Kumar
2 Oktober 2025
foto sungai dengan bebatuan dan semak-semak di tepinya serta lata belakang hutan dan langit biru Mengupayakan Keadilan Ekologis
  • GNA Knowledge Hub
  • Kabar

Mengupayakan Keadilan Ekologis

Oleh Seftyana Khairunisa
1 Oktober 2025
gletser di Greenland Seruan untuk Aksi Iklim yang Lebih Kuat di KTT Iklim 2025
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Seruan untuk Aksi Iklim yang Lebih Kuat di KTT Iklim 2025

Oleh Kresentia Madina
1 Oktober 2025
lanskap pulau kecil dengan pepohonan hijau dan tambang. Ironi Raja Ampat: Pengakuan Ganda dari UNESCO dan Kerusakan Lingkungan
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Ironi Raja Ampat: Pengakuan Ganda dari UNESCO dan Kerusakan Lingkungan

Oleh Abul Muamar
30 September 2025
Foto kawasan perkotaan dengan taman, bangunan, dan jalur air dari atas udara Melihat Kota Spons di China sebagai Solusi Berbasis Alam untuk Pengelolaan Air Perkotaan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Melihat Kota Spons di China sebagai Solusi Berbasis Alam untuk Pengelolaan Air Perkotaan

Oleh Attiatul Noor
30 September 2025
Pemandangan udara hutan hujan tropis yang lebat dengan pepohonan hijau dan kabut tipis yang menyelimuti. Hutan untuk Swasembada Pangan, Air, dan Energi: Peluang dan Tantangan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Hutan untuk Swasembada Pangan, Air, dan Energi: Peluang dan Tantangan

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
29 September 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia