Wawancara dengan May Tan-Mullins, CEO dan Rektor Universitas Reading Malaysia
Foto: May Tan-Mullis, CEO dan Rektor University of Reading Malaysia.
Bisa ceritakan tentang peran, pengalaman, dan keahlian Anda dalam atau terkait dengan keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability)?
Saya adalah seorang ahli ekologi politik berdasarkan latar belakang pendidikan saya, dan pekerjaan saya berfokus pada bagaimana politik dan isu lingkungan saling berkaitan, khususnya di sektor energi dan dalam pertanyaan tentang ketahanan selama 30 tahun terakhir.
Selain latar belakang akademis itu, saya memiliki pengalaman praktis dalam berinteraksi langsung dengan organisasi mengenai keberlanjutan perusahaan. Misalnya, saya telah melatih perusahaan milik negara China yang beroperasi di Afrika tentang tanggung jawab sosial perusahaan, membantu mereka memahami dan menerapkan praktik yang bertanggung jawab dalam konteks politik dan lingkungan yang kompleks. Saya juga bekerja dengan SNEF dan UMKM dalam pelaporan keberlanjutan, termasuk mengembangkan jurnal keberlanjutan dan membimbing mereka melalui persyaratan pelaporan karbon. Selain itu, saya telah memberikan pelatihan untuk Singapore Institute of Directors tentang isu-isu terkait keberlanjutan, mendukung anggota dewan dan pemimpin senior dalam memperkuat tata kelola, memahami ekspektasi ESG, dan mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam pengambilan keputusan strategis.
Secara keseluruhan, pengalaman-pengalaman ini mencerminkan perpaduan keahlian akademis dan keterlibatan langsung dengan organisasi yang berupaya meningkatkan kinerja keberlanjutan mereka.
Aspek atau isu apa yang paling Anda minati dalam keberlanjutan perusahaan, dan mengapa?
Saya sangat tertarik pada dimensi sosial dari ESG, terutama isu-isu yang memengaruhi manusia, ketahanan, dan dampak perubahan iklim terhadap manusia. Sebagian besar pekerjaan saya mencakup keterlibatan dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong outcome yang lebih adil dan inklusif, dan saya sangat berkomitmen pada pendekatan yang mendukung dunia yang lebih adil dan tangguh.
Saya sangat termotivasi oleh SDG 14: Kehidupan Bawah Air. Baik penelitian sarjana maupun doktoral saya membahas ketahanan nelayan dan distribusi sumber daya laut yang adil, yang telah membentuk minat saya sejak lama terhadap laut dan mata pencaharian pesisir yang berkelanjutan. Sebagai penyelam, saya juga memiliki hubungan personal dengan lingkungan laut—kedamaian dan jernihnya laut dalam terus mengingatkan saya tentang apa yang harus kita lindungi.
Pengalaman-pengalaman ini memantik komitmen saya untuk memastikan bahwa upaya keberlanjutan mesti memprioritaskan manusia, mata pencaharian, dan ekosistem yang mendukungnya.
Bagaimana Anda melihat kondisi keberlanjutan perusahaan saat ini?
Bervariasi. Di satu sisi, kesadaran telah meningkat secara signifikan, dan banyak organisasi telah membuat kemajuan yang berarti. Namun, kita juga melihat tanda-tanda perlambatan dan keraguan, terutama di tempat-tempat seperti Singapura, di mana momentum melemah karena perusahaan bergulat dengan tekanan ekonomi dan perubahan ekspektasi regulasi.
Secara global, perkembangannya juga telah dipengaruhi oleh dinamika politik. Misalnya, arah kebijakan baru-baru ini di bawah pemerintahan Trump tidak mendukung aksi iklim yang kuat, sehingga menciptakan ketidakpastian dan melemahkan upaya kolektif. Demikian pula, meskipun pertemuan besar seperti COP tetap menjadi platform penting, hasilnya seringkali kurang dari yang dibutuhkan—terlalu banyak komitmen, namun kurang implementasi.
Secara keseluruhan, dunia membutuhkan lebih banyak aksi dan akuntabilitas. Sains sudah tersedia, dan risikonya nyata. Yang kurang bukan pengetahuan, tetapi kemauan politik dan keberanian perusahaan untuk melakukan perubahan dengan kecepatan yang dibutuhkan, serta tindakan nyata dari kita semua.
Apa saja kesenjangan yang paling mendesak dan tantangan tersulit dalam keberlanjutan perusahaan?
Salah satu kesenjangan yang paling mendesak adalah perjuangan yang sedang berlangsung untuk menyeimbangkan kinerja keuangan dengan tanggung jawab lingkungan dan sosial. Banyak organisasi masih memandang keberlanjutan sebagai ongkos ketimbang investasi, yang memperlambat kemajuan yang berarti.
Tantangan utama lainnya adalah transparansi dan akuntabilitas. Meskipun kerangka pelaporan telah meningkat, masih terdapat variabilitas yang signifikan dalam kualitas, konsistensi, dan kejujuran data. Banyak perusahaan masih melakukan pengungkapan selektif atau kesulitan mengintegrasikan metrik keberlanjutan ke dalam pengambilan keputusan bisnis inti.
Ada juga masalah mendasar tentang ketimpangan—antara negara, industri, dan bahkan kelompok sosial yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Negara-negara berkembang sering menanggung dampak iklim terberat meskipun paling sedikit kontribusinya, sementara komunitas rentan dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah kekurangan sumber daya untuk beradaptasi. Tanpa mengatasi ketimpangan ini, upaya keberlanjutan dunia akan tetap terfragmentasi dan tidak adil.
Secara keseluruhan, tantangan-tantangan ini mencerminkan hambatan struktural dan ketegangan berbasis nilai yang harus dihadapi dunia korporasi untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang yang bermakna.
Apa potensi dan peluang terbesar yang Anda lihat untuk mengatasi tantangan tersebut?
Kolaborasi adalah kata kuncinya.
Peluang terbesar untuk mengatasi tantangan ini terletak pada pendekatan terintegrasi dan kolaboratif. Pertama, perusahaan dapat merangkul penciptaan nilai jangka panjang yang menyelaraskan kinerja keuangan dengan dampak lingkungan dan sosial, menunjukkan bahwa keberlanjutan dan profitabilitas dapat saling memperkuat alih-alih bersaing.
Kedua, peningkatan transparansi dan akuntabilitas adalah peluang kunci lainnya. Standardisasi pelaporan ESG, pemanfaatan teknologi untuk pengumpulan data yang lebih baik, dan komitmen terhadap verifikasi independen dapat membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan dan mendorong pengambilan keputusan yang lebih bertanggung jawab.
Ketiga, ada juga potensi signifikan dalam kolaborasi lintas sektor dan multi-pemangku kepentingan. Dengan bekerja sama dengan pemerintah, NGO, komunitas, dan perusahaan lain, perusahaan dapat berbagi pengetahuan, mengumpulkan sumber daya, dan menerapkan solusi yang lebih adil dan efektif, khususnya di negara-negara dan kelompok sosial yang paling rentan.
Terakhir, inovasi, baik teknologi maupun sosial, menawarkan peluang yang sangat besar. Dari solusi energi rendah karbon hingga model bisnis inklusif, perusahaan yang merangkul kreativitas dan kemampuan beradaptasi dapat mengatasi tantangan lingkungan sekaligus mendukung masyarakat yang tangguh dan adil. Intinya, potensi terbesar terletak pada penyelarasan tujuan, inovasi, dan kolaborasi untuk mengatasi tantangan keberlanjutan secara holistik.
Pelajaran apa yang telah Anda petik sejauh ini dari pengalaman Anda dalam atau terkait keberlanjutan perusahaan?
Salah satu pelajaran penting yang telah saya pelajari adalah betapa pentingnya kepemimpinan. Inisiatif keberlanjutan berhasil atau gagal sebagian besar tergantung pada apakah para pemimpin benar-benar berkomitmen, bersedia mengambil keputusan sulit, dan mampu menginspirasi tim mereka untuk bertindak melampaui tekanan keuangan jangka pendek. Yang tak kalah pentingnya adalah memiliki pikiran terbuka—tantangan keberlanjutan itu kompleks dan saling terkait, dan menemukan solusi seringkali perlu mendengarkan beragam perspektif, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan bersedia menyesuaikan pendekatan seiring munculnya wawasan baru.
Terakhir, saya telah belajar bahwa nilai itu penting—melakukan hal yang benar. Organisasi yang menanamkan nilai-nilai etika dan lingkungan yang jelas ke dalam budaya mereka lebih mampu mengambil keputusan yang menyeimbangkan keuntungan, manusia, dan planet, serta mempertahankan ketahanan saat menghadapi tantangan atau trade-off. Singkatnya, kepemimpinan, keterbukaan, dan nilai-nilai yang kuat adalah fondasi bagi keberlanjutan perusahaan yang bermakna dan langgeng.
Inisiatif apa yang paling menarik yang pernah Anda ikuti atau temui?
Salah satu inisiatif paling menarik yang pernah saya ikuti adalah bergabung dengan Universitas Reading, di mana keberlanjutan bukan sekadar tempelan tetapi tertanam di seluruh institusi—mulai dari pengajaran dan penelitian hingga operasional. Berada di lingkungan di mana kebijakan nyata diimplementasikan dan diterjemahkan menjadi perubahan nyata sangatlah menginspirasi.
Tonggak penting lainnya adalah menjadi CEO UoRM, yang memberikan kesempatan unik untuk membawa nilai-nilai dan praktik yang saya alami di Inggris ke Malaysia. Peran ini memungkinkan saya untuk berinovasi dan menciptakan dampak yang berarti, membentuk institusi yang mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam budaya, strategi, dan operasionalnya, serta memengaruhi komunitas yang lebih luas dalam prosesnya. Kedua pengalaman tersebut menekankan kekuatan kepemimpinan dan komitmen institusional untuk mendorong perubahan nyata dan positif dalam keberlanjutan.
Jika Anda hendak membagikan saran yang telah Anda pelajari dan mungkin bermanfaat bagi rekan-rekan dan praktisi keberlanjutan di seluruh dunia, apa yang akan Anda sampaikan?
Salah satu nasihat penting yang ingin saya bagikan adalah bahwa langkah-langkah kecil dapat menghasilkan dampak yang signifikan. Perubahan tidak selalu harus besar; bahkan peningkatan bertahap pun dapat berantai menjadi transformasi yang lebih luas jika ada kemauan untuk bertindak.
Pendidikan dan kesadaran juga sangat penting. Membantu orang memahami mengapa dan bagaimana keberlanjutan seringkali memotivasi tindakan jauh lebih efektif ketimbang hanya mandat. Saya juga telah mempelajari nilai dari fokus pada prinsip 20/80 pada manusia dan mahasiswa—menginvestasikan upaya pada 20% yang paling termotivasi atau reseptif (para champion) dapat menginspirasi dan memengaruhi 80% sisanya, menciptakan efek riak yang mendorong keterlibatan yang lebih luas dan perubahan budaya. Dengan mengidentifikasi pengungkit perubahan yang paling berpengaruh, praktisi keberlanjutan dapat memaksimalkan hasil, menginspirasi orang lain, dan mempertahankan momentum bahkan dalam lingkungan yang kompleks atau terbatas sumber daya.
Singkatnya: ambil tindakan kecil dan strategis, edukasi dan libatkan pemangku kepentingan, dan pertahankan tekad untuk mendorong perubahan yang bermakna.
Wawancara eksklusif ini merupakan bagian dari Laporan Khusus GNA X UNGCNS tentang Keberlanjutan Perusahaan, yang diterbitkan atas kemitraan Green Network Asia bersama United Nations Global Compact Network Singapore.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member Sekarang
Memperkuat Ketahanan Masyarakat di Tengah Meningkatnya Risiko Bencana
UU KUHAP 2025 dan Jalan Mundur Perlindungan Lingkungan
Wawancara dengan Eu Chin Fen, CEO Frasers Hospitality
Meningkatkan Akses terhadap Fasilitas Olahraga Publik di Tengah Tren Gaya Hidup Sedenter
Langkah Pemerintah Inggris dalam Mengatasi Pengangguran Kaum Muda
Mengarusutamakan Solusi Berbasis Alam untuk Reformasi Manajemen Risiko Bencana