Diplomasi Sains dalam Pembuatan Kebijakan dan Hubungan Internasional

Foto: Freepik.
Sains merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, termasuk pada aspek-aspek yang seolah tidak saling berhubungan. Hari ini, diplomasi dan sains semakin terkait erat, termasuk dalam isu pandemi global hingga aksi iklim. Selain memajukan penelitian ilmiah dan teknologi, diplomasi sains dapat mendorong kolaborasi internasional dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Sains dan Kebijakan
Sains telah lama dilibatkan dalam agenda diplomasi. Namun, relevansinya menjadi semakin jelas seiring memburuknya dampak perubahan iklim. Salah satu contoh diplomasi sains yang paling menonjol adalah Perjanjian Paris, sebuah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk membatasi pemanasan global.
Pada dasarnya, diplomasi sains merupakan serangkaian kegiatan yang menggunakan penelitian ilmiah dalam pembuatan kebijakan dan agenda hubungan internasional untuk mempromosikan kepentingan nasional. Diplomasi sains juga berfungsi sebagai kekuatan lunak suatu negara untuk mewadahi kemitraan lintas ideologi atau tingkat sosial ekonomi yang berbeda.
Meski istilahnya mungkin tergolong baru, diplomasi sains sejatinya telah dilakukan jauh sebelum istilahnya ditemukan. Salah satu contohnya ketika Mario Molina, seorang ilmuwan Meksiko berhasil memenangkan Hadiah Nobel atas penemuan penting tentang bahaya bahan kimia Klorofluorokarbon (CFC). Hasil temuan tersebut pada akhirnya menghasilkan larangan penggunaan CFC karena dapat merusak lapisan ozon, yang tertuang dalam perjanjian internasional Protokol Montreal tahun 1987.
Aspek-Aspek Diplomasi Sains
Dalam perjalanannya, penggunaan istilah diplomasi sains berkembang menjadi berbagai kategori. Berikut empat aspek diplomasi sains:
- Sains dalam Diplomasi: Menginformasikan tujuan kebijakan luar negeri dan keamanan dengan wawasan ilmiah. Salah satu contohnya adalah perjanjian pengendalian senjata nuklir yang membutuhkan penelitian ilmiah tingkat tinggi dalam proses negosiasi.
- Diplomasi untuk Sains: Memfasilitasi kerjasama ilmiah internasional melalui tindakan diplomatik, seperti perjanjian antara Amerika Serikat dan Rusia pada tahun 1993 untuk membangun Stasiun Luar Angkasa Internasional.
- Sains untuk Diplomasi: Menggunakan sains untuk meningkatkan hubungan antar negara, seperti menggunakan jaringan ilmiah sebagai sarana perbincangan informal.
- Diplomasi dalam Sains: Menggunakan keterampilan dan perangkat ‘diplomasi dalam dan oleh sains’. Sebagai contoh, ketika universitas, organisasi penelitian, atau penyandang dana mengakhiri kemitraan dengan negara tertentu karena alasan politik, diplomasi dalam sains akan menambah sudut pandang netral untuk membantu mengatasi masalah tersebut.
Keempat kategori ini terlihat serupa dan saling bergantung. Sebagai contoh, ‘diplomasi untuk sains’ dan ‘diplomasi dalam sains’ dapat mendanai penelitian dan pendidikan untuk menciptakan hasil yang dapat digunakan dalam ‘sains untuk diplomasi’ serta ‘sains dalam diplomasi’.
Diplomasi Sains di Berbagai Negara
Perkembangan sains dan teknologi memainkan peran penting dalam geopolitik. Dengan mengikuti perkembangan sains dan teknologi, pemerintah dapat membangun kerangka kerja dan kebijakan luar negeri berbasis data yang komprehensif dan relevan, sehingga dapat memperkuat daya tawar negara.
Saat ini, sistem penunjukan kepala penasihat ilmiah untuk kementerian luar negeri telah meningkat. Peran ini dapat menghubungkan pegawai negeri sipil, politisi, dan peneliti di universitas atau sektor swasta. Pada tahun 2015, Kementerian Luar Negeri Jepang membentuk dewan penasihat promosi diplomasi sains dan teknologi untuk mendukung pemerintah dalam negosiasi bilateral dan multilateral.
Contoh lain, di Himalaya, delapan negara membentuk Pusat Pengembangan Pegunungan Terintegrasi Internasional (ICIMOD) sebagai respons terhadap dampak besar perubahan iklim di kawasan Himalaya. Organisasi antar pemerintah ini memanfaatkan diplomasi sains untuk melindungi ekosistem pegunungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
Diplomasi Sains dalam Pembangunan
Diplomasi sains merupakan disiplin ilmu yang terus berkembang. Pada Februari 2025, Komisi Eropa merilis laporan ahli berjudul “Kerangka Kerja Eropa untuk Diplomasi Sains” sebagai upaya untuk mempopulerkan diplomasi sains. Meski sulit, langkah ini bukanlah suatu hal yang mustahil.
Namun, hal yang paling penting adalah, kegiatan ilmiah harus tetap independen dan terpisah dari kepentingan politik. Seluruh negara harus menugaskan individu yang berdedikasi untuk diplomasi sains dalam peran strategis yang dapat mendorong kemajuan ilmiah dan kepentingan nasional. Terakhir, investasi dalam pendidikan, penelitian, dan sumber daya manusia tidak kalah penting, salah satunya dengan memberikan insentif kepada para peneliti untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.
Pada akhirnya, diplomasi sains memiliki potensi untuk mengubah pola hubungan internasional dengan menekankan pentingnya perspektif interdisipliner dalam pembangunan berkelanjutan yang dapat membawa perubahan positif bagi manusia dan Bumi.
Penerjemah: Kesya Arla
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Konten Publik GNA berupaya menginspirasi perubahan sosial skala besar dengan menyediakan pendidikan dan advokasi keberlanjutan yang dapat diakses oleh semua orang tanpa biaya. Jika Anda melihat Konten Publik kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan GNA Indonesia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional sekaligus mendukung keberlanjutan finansial GNA untuk terus memproduksi konten-konten yang tersedia untuk umum ini.