Mengawal Transisi Energi di Indonesia Lewat Pemberitaan yang Berwawasan dan Berbasis Sains
Transisi energi telah menjadi topik hangat pemberitaan media massa di tengah perubahan iklim dan pemanasan global. Setiap hari, jurnalis di berbagai tempat memberitakan berbagai hal tentang transisi energi yang merupakan salah satu bentuk upaya mitigasi perubahan iklim. Namun, tanpa pemahaman dan wawasan yang memadai dan ditingkatkan terus menerus, jurnalis dan media berpotensi menyampaikan berita yang tidak akurat dan “terdikte” yang dapat berujung pada mispersepsi di tengah masyarakat. Buku “Panduan Meliput untuk Mengawasi Transisi Energi di Indonesia” yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memberikan panduan bagi para jurnalis dan media untuk membantu mengawal transisi energi di Indonesia melalui pemberitaan yang akurat, berwawasan, dan berbasis sains.
Peran Media dalam Transisi Energi
Media memiliki peran penting dalam mengawal aksi iklim, termasuk kebijakan dan program-program transisi energi dari pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait lainnya. Dengan kekuatannya untuk memengaruhi khalayak dan sebagai saluran pendidikan, media dapat membantu dalam membangun dukungan publik untuk mempercepat mitigasi iklim.
Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB mencatat bahwa liputan media mengenai berita terkait perubahan iklim telah meningkat secara global dari sekitar 47 ribu artikel pada tahun 2016-2017 menjadi sekitar 87 ribu pada tahun 2020-2021, berdasarkan penelitian di 59 negara. Para pakar IPCC menyebut bahwa secara umum, representasi media mengenai ilmu pengetahuan iklim telah meningkat dan menjadi lebih akurat dari waktu ke waktu. Namun, penyebaran informasi yang menyesatkan telah memicu polarisasi, dengan implikasi negatif terhadap kebijakan iklim.
Di Indonesia, transisi energi juga telah menjadi topik penting media massa secara umum. Berdasarkan hasil pencarian di situs Brandwatch, penggunaan kata kunci “transisi energi” meningkat dari 346 pada tahun 2017 menjadi lebih dari 79 ribu pada tahun 2022. Namun, konsultan peneliti dari The International Council on Clean Transportation menilai bahwa fokus berita yang disampaikan sejauh ini masih didominasi oleh sudut pandang yang disampaikan oleh pemerintah dan pelaku bisnis.
Pemberitaan mengenai isu-isu yang berkaitan dengan transisi energi, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), juga masih banyak yang sekadar mengangkat permukaannya. Survei AJI terkait pemberitaan beberapa media daring mengenai JETP dalam kurun waktu November 2022 hingga Mei 2023 menunjukkan bahwa alih-alih menyajikan wawasan dan analisis yang mendalam, berita yang banyak diangkat masih berputar di sekitar seremonial peluncuran JETP dan berdasarkan siaran pers dari institusi terkait, seperti Kementerian ESDM dan PT PLN.
Di samping itu, narasumber berita dan sumber informasi tentang JETP juga lebih banyak bersifat satu arah dan didominasi oleh pemerintah. Pandangan dari organisasi masyarakat sipil dan masyarakat umum yang terdampak masih sangat minim.
Yang Mesti Dipahami Jurnalis
Diterbitkan dengan dukungan dari Yayasan Indonesia Cerah, buku panduan dari AJI tersebut memuat sejumlah isu krusial yang mesti dipahami oleh para jurnalis, termasuk reporter, redaktur, hingga pemimpin redaksi, terkait transisi energi, yaitu:
- Energi yang ditransisikan. Jurnalis perlu mencermati istilah Energi Baru Terbarukan (yang disingkat EBT) dan memahami bahwa energi baru yang dihasilkan oleh teknologi baru belum tentu terbarukan. Sumber energi baru yang berasal dari energi tak terbarukan seperti nuklir, batubara tercairkan (liquefied coal), dan batubara tergaskan (gasified coal); jelas berbeda dengan sumber energi terbarukan seperti angin, air, dan matahari.
- Mengantisipasi solusi palsu transisi energi. Jurnalis mesti memastikan bahwa energi pengganti dalam skema transisi energi bukanlah energi baru tapi tidak terbarukan yang berpotensi menjadi masalah baru di kemudian hari.
- Memahami sumber dan alokasi pendanaan. Jurnalis perlu memperhatikan skema pendanaan transisi energi yang diberitakan, apakah didominasi hibah atau utang; serta mengawal alokasi anggaran yang akan dibiayai JETP agar transisi energi benar-benar berkeadilan.
- Memastikan transparansi dan partisipasi. Transisi energi menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu, jurnalis mesti memastikan kebijakan terkait transisi energi bersifat transparan dan partisipatif dengan melibatkan banyak pihak.
- Memperhatikan implikasi transisi energi. Jurnalis perlu lebih banyak mengungkap implikasi sosial dan ekonomi dari transisi energi, di samping implikasi lingkungan. Contohnya implikasi terhadap sektor tenaga kerja di bidang energi.
- Peka terhadap isu keadilan. Jurnalis mesti mengungkap aspek keadilan dalam memberitakan isu transisi energi untuk memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam misi transisi energi. Misalnya, ketika memberitakan target Indonesia untuk meninggalkan batu bara dan beralih ke sumber energi terbarukan, jurnalis perlu mengangkat soal nasib para pekerja yang terdampak.
Memahami isu-isu krusial tersebut akan membantu jurnalis dan media untuk menghindari greenwashing yang dapat berdampak buruk bagi banyak pihak.
Mengawal Transisi Energi
Untuk membantu jurnalis dalam mengawal transisi energi melalui pemberitaan, Buku Panduan dari AJI memberikan sejumlah langkah yang dapat menjadi pedoman:
- Menjaga independensi dalam peliputan dan pemberitaan. Jurnalis mesti bebas dari pengaruh, intervensi, dan tekanan dari pihak mana pun, termasuk pemilik modal dari perusahaan media tempat ia bekerja.
- Memahami konteks global. Jurnalis perlu memahami konteks ekonomi-politik global dan memastikan bahwa seluruh skema transisi energi tidak menjadi sumber masalah sosial dan lingkungan yang baru.
- Bersikap lokal dan mengutamakan keadilan. Dengan menganalisis konteks lokal dan faktor sosial, jurnalis dapat membuat berita terkait transisi energi yang berdimensi keadilan. Misalnya, mengangkat kisah mereka yang kontribusinya paling kecil terhadap emisi GRK namun menjadi pihak yang paling terdampak.
- Mengedepankan jurnalisme solusi. Pemberitaan yang berkaitan dengan dampak krisis iklim, tanpa ada solusi untuk mengatasinya, akan membuat orang cenderung fatigue atau merasa lelah, kemudian menyangkal, bahkan malas mencari jalan keluar. Karena itu, jurnalis mesti menyampaikan pesan penuh harapan yang berfokus pada solusi, membantu masyarakat merasa berdaya dan termotivasi untuk terlibat secara aktif.
- Bersandar pada data dan sumber ilmiah. Jurnalis dituntut untuk selalu kritis dan menjunjung disiplin verifikasi berdasarkan data-data dan sumber ilmiah untuk menghindari jebakan solusi semu dan palsu dalam transisi energi. Mengandalkan data dan sumber ilmiah juga dapat membantu jurnalis mengidentifikasi greenwashing terkait transisi energi.
- Meningkatkan kolaborasi. Media massa atau jurnalis perlu melakukan kolaborasi dengan pihak-pihak lain, baik kolaborasi sesama media/jurnalis, maupun dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). Dalam berkolaborasi dengan media lain, kepentingan publik mesti dikedepankan dibanding eksklusivitas pemberitaan. Sedangkan dengan berkolaborasi dengan OMS, jurnalis dapat berbagi beban pembiayaan pada saat turun lapangan, dengan catatan bahwa prinsip-prinsip penting dalam jurnalisme seperti independensi dan cover both sides mesti tetap dipegang teguh.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.