Mengubah Sampah Menjadi Listrik dengan Teknologi Waste-to-Energy
Di tengah masalah lingkungan yang semakin parah, terkadang muncul harapan di tempat-tempat yang paling tidak terduga. Salah satunya di tempat pembuangan sampah. Di wilayah perkotaan, dimana produksi sampah begitu besar, solusi pengelolaan sampah yang efektif dan berkelanjutan merupakan suatu hal yang mendesak. Terkait hal ini, teknologi waste-to-energy menyediakan cara berkelanjutan untuk mengubah sampah kota menjadi listrik.
Teknologi Waste-to-Energy (WTE)
Bayangkan tumpukan plastik dan sampah makanan dapat membantu mengalirkan listrik ke rumah Anda. Teknologi waste-to-energy (WTE) secara efisien mengelola limbah padat perkotaan dengan membakar bahan-bahan yang tidak dapat didaur ulang secara aman. Dengan membakar sebagian besar limbah, pabrik-pabrik ini menunjukkan efisiensinya tidak hanya dalam menghasilkan energi namun juga memulihkan sumber daya yang berharga. Bahan-bahan yang kaya energi, seperti kertas, plastik, dan biomassa, diarahkan ke fasilitas pengolahan limbah menjadi energi untuk pembangkit listrik.
Teknologi WTE ini menawarkan banyak manfaat, memindahkan material dari tempat pembuangan sampah dan mencegah pelepasan zat beracun ke lingkungan. Teknologi ini juga menghasilkan energi yang besar, menyediakan panas dan listrik yang penting untuk berbagai peralatan, sekaligus mengatasi tantangan tumpukan sampah.
Selain itu, proses pengolahan sampah menjadi energi dengan teknologi ini juga lebih ramah lingkungan, tidak memerlukan bahan bakar fosil dan berkontribusi terhadap pengurangan gas rumah kaca. Dengan mengurangi biaya transportasi ke TPA dan menghasilkan pendapatan melalui penjualan energi, teknologi ini juga menjanjikan secara ekonomi. Sektor yang sedang berkembang ini menawarkan banyak peluang kerja di era pekerjaan hijau.
Dengan fokus pada keberlanjutan dan efektivitas biaya, pembangkit WTE menawarkan solusi yang tepat untuk mengatasi kendala pengelolaan limbah sekaligus berkontribusi terhadap produksi energi dan upaya konservasi sumber daya.
Inisiatif di Berbagai Belahan Dunia
Pembangkit WTE semakin dianggap sebagai strategi diversifikasi energi yang potensial, terutama oleh Swedia, yang telah menjadi pemimpin dalam produksi sampah menjadi energi. Dengan 34 pembangkit listrik WTE, yang berbahan bakar limbah domestik dan impor, Swedia mampu menyediakan pemanas bagi hampir 1,5 juta rumah tangga dan listrik untuk sekitar 780.000 rumah tangga.
Di Asia, “Proyek Sampah Kota menjadi Energi” China meningkatkan inisiatif sampah menjadi energi dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan. Dengan empat pembangkit listrik yang sudah beroperasi, fasilitas-fasilitas ini bersama-sama menghasilkan 480 gigawatt listrik per tahun, sehingga mengurangi sekitar 544.000 ton karbon dioksida setiap tahunnya. Investasi swasta sebagian besar mendanai insinerator di China, yang sebagian besar bertujuan untuk memperoleh keuntungan, dan ekspansi pembangkit WTE ini dilakukan dengan pertimbangan yang cermat.
Sementara itu, Jepang menonjol karena ketergantungannya yang besar pada teknologi gasifikasi dan peleburan langsung dalam pengelolaan limbah. Meskipun biaya gasifikasi lebih tinggi, Jepang berhasil menerapkan Sistem Peleburan Langsung, dengan kapasitas berkisar antara 10.000 hingga 230.000 ton limbah per tahun. Sistem ini dapat mengolah berbagai jenis limbah, antara lain limbah rumah tangga, limbah khusus, limbah medis, serta lumpur limbah. Selanjutnya, energi yang dihasilkan disuplai ke jaringan publik.
Yang Perlu Diwanti-wanti
Negara-negara di Asia Tenggara dan kawasan berkembang lainnya memiliki peluang untuk menggunakan teknologi WTE untuk mengatasi peningkatan sampah. Thailand, contohnya, telah menjadikan teknologi ini sebagai bagian dari agenda nasionalnya. Insinerator berkapasitas 9,8 megawatt ini mampu mengubah 500 metrik ton sampah menjadi listrik setiap hari.
Namun, teknologi ini juga memunculkan kekhawatiran. Di Indonesia, misalnya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta telah mewanti-wanti risiko pembangunan fasilitas pengelolaan sampah terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, khususnya terkait kedekatan fasilitas tersebut dengan kawasan pemukiman. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dan menyusun rencana komprehensif yang menjamin kelangsungan dan keamanan fasilitas ini, termasuk keterlibatan aktif dari masyarakat lokal.
Berhasil tidaknya inisiatif energi terbarukan, seperti teknologi WTE ini, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor teknis namun juga oleh kerangka politik dan hukum. Pasokan energi yang beragam, terbarukan, dan andal tidak hanya tentang mengisi kesenjangan dalam memerangi perubahan iklim, namun juga mendorong ekonomi sirkular dan menyediakan akses energi yang adil untuk semua.
Pada akhirnya, perkembangan dalam teknologi WTE memerlukan upaya kolaboratif dan multidisiplin dari para peneliti, kebijakan pemerintah yang mendukung, dan investasi publik-swasta dalam mendukung konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab sekaligus memajukan transisi energi yang adil di seluruh dunia.
Editor: Nazalea Kusuma & Kresentia Madina
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Dandy adalah Intern Reporter di Green Network Asia. Ia belajar Teknik Material di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Dandy termotivasi untuk menampilkan aspek-aspek penting dalam tata kelola transisi energi yang beragam.