Pentingnya Cuti Ayah dalam Membentuk Generasi Masa Depan

Foto:Noel Aph di Pexels
Ketika berbicara tentang pengasuhan anak, salah satu aspek yang paling mengemuka adalah cuti ayah. Banyak bukti menunjukkan bahwa cuti ayah juga memainkan peran penting dalam membentuk perkembangan anak dan memberikan manfaat besar bagi keluarga dan masyarakat. Sayangnya, implementasi cuti ayah masih belum signifikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Dampak Cuti Ayah terhadap Kesejahteraan Anak dan Kesetaraan Gender
Cuti ayah merujuk pada kebijakan yang membolehkan seorang ayah dari bayi yang baru lahir untuk mengambil cuti. Semakin banyak penelitian yang menegaskan manfaat cuti ayah bagi anak, keluarga, dan masyarakat. Dari perspektif perkembangan anak, keterlibatan ayah sejak dini dalam pengasuhan berkontribusi signifikan terhadap stabilitas emosional, pertumbuhan kognitif, dan perilaku anak.
Dalam hal pendidikan, penelitian menunjukkan bahwa cuti ayah yang lebih panjang dapat menurunkan tingkat ketidakhadiran di sekolah dan meningkatkan ketekunan anak. Selain itu, temuan dari Swedish Institute for Evaluation of Labour Market and Education Policy (IFAU) mengungkapkan bahwa anak-anak yang ayahnya mengambil cuti saat mereka lahir memiliki prestasi akademik yang lebih baik pada usia 16 tahun, terutama dalam keterampilan bahasa dan pemecahan masalah.
Bagi keluarga, cuti ayah mendorong pembagian peran pengasuhan anak dan rumah tangga yang lebih adil, yang dapat meringankan beban ibu dan meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Ketika ayah terlibat dalam pengasuhan anak usia dini, hal ini akan mendorong perubahan norma gender yang selama ini berlaku baik di rumah maupun di lingkungan kerja. Hal ini juga akan menjadi contoh bagi anak-anak dalam lingkup sosialisasi pertama dan terkecil mereka, tentang sistem yang tidak mengacu pada peran gender tradisional. Semua ini pada akhirnya akan mendorong masyarakat yang berpusat pada kesejahteraan anak dan kesetaraan gender.
Implementasi Global
Hampir semua negara di seluruh dunia telah menerapkan cuti ayah sebagai bagian dari dukungan terhadap peran ayah dalam keluarga. Namun, di banyak negara, implementasi cuti ayah belum signifikan. Indonesia, misalnya, hanya memberikan cuti ayah selama dua hari, menjadikannya salah satu yang tersingkat di dunia—meskipun terdapat perusahaan yang memberikan cuti ayah yang lebih panjang. Sementara itu, Amerika Serikat belum memiliki undang-undang nasional yang mewajibkan cuti berbayar bagi ayah.
Beberapa contoh praktik terbaik terkait cuti ayah dapat kita lihat dari negara-negara Nordik. Swedia, misalnya, memperkenalkan cuti berbayar bagi kedua orang tua sejak tahun 1970-an. Saat ini, Swedia menawarkan hingga 480 hari cuti berbayar per anak, dengan 90 hari diberikan khusus untuk setiap orang tua untuk mendorong peran pengasuhan yang setara.
Di Islandia, ayah berhak atas tiga bulan cuti berbayar yang tidak dapat dipindahtangankan, menjadikannya salah satu tingkat keterlibatan ayah tertinggi di dunia. Studi empiris dari negara-negara ini menggarisbawahi peningkatan yang konsisten dalam kesehatan anak, prestasi akademik, dan kepuasan orang tua. Model-model ini menunjukkan bahwa cuti ayah yang panjang dan terstruktur dengan baik dapat membentuk dinamika keluarga dan mendukung masyarakat yang lebih sehat.
Sementara itu, sebuah studi yang dilakukan di Singapura menyoroti bahwa masa cuti yang lebih panjang, sekitar dua minggu atau lebih, mengurangi konflik keluarga, meningkatkan keharmonisan pernikahan, dan memperkuat kedekatan ayah-anak, yang pada gilirannya meningkatkan perilaku anak.
Seruan Dunia
Meningkatkan cuti ayah tidak hanya merupakan reformasi sosial, tetapi juga investasi strategis untuk masa depan. Di tengah upaya dunia untuk mencapai inklusivitas, kesetaraan, dan kesejahteraan anak, masih ada harapan bahwa kebijakan tersebut akan menjadi standar universal, bukan hak istimewa di tempat-tempat tertentu saja.
Memperkenalkan dan meningkatkan cuti ayah sebagai bagian integral dari kebijakan keluarga harus menjadi prioritas di negara-negara yang belum menerapkannya. Pada saat yang sama, penguatan cuti hamil agar menjadi lebih komprehensif dan terarah, serta peningkatan akses pengasuhan anak, juga harus terus dilakukan. Pada akhirnya, sangat penting untuk mempromosikan kebijakan yang inklusif dan komprehensif dengan masukan dan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang paling relevan dari semua lapisan masyarakat, tanpa meninggalkan seorang pun di belakang.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua konten yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Theresia adalah Intern Reporter and Researcher di Green Network Asia. Ia adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan Kebijakan Publik dan Manajemen di Universitas Gadjah Mada.