Reformulasi Makanan Kemasan untuk Lindungi Kesehatan Masyarakat
Hari ini, hampir setiap jenis makanan dan minuman tersaji dalam kemasan, dan biasanya didesain semenarik mungkin. Makanan kemasan seringkali berupa makanan ultra olahan (ultra-processed food/UPF) yang mengandung bahan-bahan sintetis dengan kadar gula, garam, dan lemak (GGL) yang tinggi. Berbagai penelitian telah menemukan berbagai masalah kesehatan yang berkaitan dengan konsumsi makanan ultra-olahan, termasuk makanan kemasan yang banyak ditemukan di pasar. Demi melindungi dan mendukung kesehatan masyarakat, reformulasi makanan kemasan menjadi suatu hal yang mendesak.
Meningkatnya Makanan Kemasan di Indonesia
Perlahan tapi pasti, makanan kemasan telah mengambil porsi yang semakin besar dalam konsumsi sehari-hari masyarakat, termasuk menggantikan makanan-makanan alami yang sejatinya dapat diperoleh atau diolah dari alam seperti santan, singkong, kentang, kacang-kacangan, daging, bahkan susu sapi dan air kelapa. Jumlah dan sebaran makanan kemasan terus meningkat dan meluas dari tahun ke tahun seiring menjamurnya toko-toko modern di berbagai tempat, termasuk di pinggiran kota hingga desa. Bahkan, di pasar-pasar tradisional pun, makanan kemasan juga dapat dengan mudah ditemui.
Meningkatnya produksi dan distribusi makanan kemasan tidak terlepas dari merebaknya industri ritel makanan yang memproduksi berbagai jenis makanan kemasan. Nilai penjualan eceran makanan kemasan di Indonesia terus meningkat setidaknya sejak 2017. Pada tahun 2022, nilai penjualannya mencapai 37,5 miliar dolar AS. Mi instan, bubuk penguat rasa, kopi bubuk instan, dan cairan kental manis yang mengandung gula tinggi, adalah beberapa jenis produk yang paling banyak dibeli oleh masyarakat Indonesia.
Komitmen Negara ASEAN
Desakan untuk mengatur ulang formulasi makanan bukanlah suatu hal yang baru. Pada KTT ASEAN ke-38 tahun 2021, para pemimpin negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyatakan komitmen mengenai isu ini melalui Deklarasi Para Pemimpin ASEAN tentang Reformulasi dan Produksi Makanan dan Minuman yang Lebih Sehat.
Deklarasi tersebut antara lain menyatakan bahwa negara-negara anggota ASEAN memprioritaskan reformulasi dan produksi makanan dan minuman yang lebih sehat sebagai strategi utama untuk mencapai potensi maksimal kesehatan masyarakat. Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa negara-negara Anggota ASEAN sepakat untuk mengembangkan kerangka kebijakan fiskal seperti pemberlakuan pajak dan cukai untuk makanan dan minuman tidak sehat, termasuk namun tidak terbatas pada minuman yang mengandung pemanis, garam dan lemak, sebagai salah satu langkah strategis utama dalam mencegah dan mengendalikan penyakit tidak menular.
Reformulasi Makanan Kemasan
Mengatur ulang formula makanan kemasan sangat penting untuk menyediakan makanan dan minuman yang lebih sehat, dengan kadar gula, garam, dan lemak yang sesuai dengan prinsip dasar kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 30 Tahun 2013, anjuran konsumsi gula adalah 10% dari total energi (200 kkal) per orang per hari, atau setara dengan 4 sendok makan atau 50 gram. Sedangkan anjuran konsumsi garam adalah tidak lebih dari satu sendok teh (2000 mg) per orang per hari; dan anjuran konsumsi lemak tidak lebih dari 5 sendok makan minyak (setara 67 gram) per orang per hari. Namun, kenyataannya, masih banyak orang yang mengonsumsi gula, garam, dan lemak melebihi angka anjuran tersebut; dalam hal ini, makanan kemasan–yang semakin mudah didapat dan seringkali lebih murah harganya–berkontribusi besar dalam hal ini. Oleh karena itu, reformulasi makanan adalah sebuah urgensi demi mewujudkan masyarakat yang lebih sehat.
Reformulasi makanan adalah proses mengubah pengolahan atau komposisi suatu produk makanan atau minuman untuk meningkatkan profil gizinya atau untuk mengurangi kandungan bahan atau zat gizi tertentu. Reformulasi makanan dapat membantu memastikan akses terhadap makanan yang lebih aman dan bergizi bagi semua orang, dan mendorong peralihan menuju pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Dalam kertas kebijakannya, WHO menggarisbawahi pentingnya kebijakan reformulasi produk makanan dan minuman bagi individu, masyarakat, maupun dunia usaha:
- Meningkatkan kualitas nutrisi makanan dan membantu individu untuk mengonsumsi makanan yang lebih sehat.
- Mengurangi konsumsi garam, gula, dan lemak berlebihan dari suatu produk makanan dapat mengurangi risiko penyakit tidak menular, kecacatan, dan kematian akibat pola makan sehingga memberikan manfaat bagi semua kelompok sosial ekonomi.
- Mengembangkan produk dengan profil nutrisi yang lebih baik menawarkan peluang bagi dunia usaha untuk meningkatkan merek mereka dan menjangkau lebih banyak konsumen yang tertarik dengan isu kesehatan. Produk-produk mereka juga dapat terhindar dari perpajakan yang ditujukan terhadap produk-produk yang tidak sehat dan dapat terhindar dari pembatasan pemasaran dan hambatan perdagangan lainnya.
Menurut database Global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang implementasi Aksi Gizi (GINA), 111 negara di dunia telah memiliki kebijakan, strategi, atau rencana nasional untuk melaksanakan reformulasi makanan. Selain itu, 75 negara telah menetapkan batasan wajib atau target reformulasi sukarela. Kebijakan reformulasi makanan terbukti meningkatkan kesehatan masyarakat di negara-negara yang menerapkannya. Di Denmark, misalnya, kebijakan pembatasan kandungan asam lemak trans (TFA) sejak tahun 2004 berhasil menurunkan tingkat kematian akibat penyakit kardiovaskular secara signifikan.
Sayangnya, di Indonesia, kebijakan reformulasi makanan masih sebatas wacana. Hingga saat ini, makanan kemasan yang mengandung kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi masih banyak beredar bebas di pasar dan bahkan semakin beraneka ragam. Maraknya pemasaran makanan berbahaya di berbagai saluran turut mendorong masyarakat, termasuk anak-anak, untuk membeli dan mengonsumsi makanan dan minuman kemasan. Hal ini turut mendorong peningkatan berbagai kasus penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, penyakit ginjal, hingga gangguan mental.
Pelajaran dari Beberapa Negara
Lalu, bagaimana Indonesia dapat menerapkan kebijakan reformulasi makanan? Hal-hal apa saja yang perlu dilakukan? WHO memberikan sejumlah pembelajaran yang dapat dipetik dari penerapan kebijakan dan program reformulasi di berbagai negara untuk menciptakan kebijakan atau strategi reformulasi makanan yang lebih baik, di antaranya:
- Komitmen politik dan visi jangka panjang. Kegiatan advokasi penting untuk meningkatkan kesadaran, menumbuhkan kemauan politik, dan memobilisasi sumber daya.
- Kepemimpinan pemerintah yang jelas dan proses yang transparan. Program reformulasi kemungkinan besar akan berhasil jika dipimpin oleh pemerintah. Jika kepemimpinan pemerintah tidak memungkinkan, OMS dapat memimpin upaya ini melalui proses yang transparan, dengan dukungan pemerintah.
- Akses terhadap data yang akurat dan dapat diandalkan. Data mengenai kandungan gula, lemak, dan garam dalam makanan sangat perlu untuk memantau asupan; mengidentifikasi sumber utama lemak tidak sehat, gula, dan garam dalam makanan; menetapkan tingkat dasar; menetapkan batas atau target yang sesuai dan memantau kemajuan. Data penjualan juga penting untuk membantu mengidentifikasi produk terlaris dan menilai dampak pengurangan secara keseluruhan.
- Komitmen untuk menegakkan, memantau, dan mengevaluasi. Dengan mempertimbangkan tantangan data, diperlukan serangkaian indikator yang telah ditentukan sebelumnya (yang berhubungan dengan proses serta target dan hasil) dan mekanisme pemantauan atau penegakan hukum.
- Keterlibatan dengan produsen makanan dengan aturan yang jelas. Pemerintah harus menetapkan aturan yang jelas mengenai keterlibatan dengan produsen makanan dan, selama proses tersebut, harus memastikan bahwa keputusan dibuat demi kepentingan kesehatan masyarakat.
Selain itu, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan utama juga perlu mengarusutamakan makanan alami (real food) di tengah masyarakat melalui intervensi kebijakan yang jelas dan terukur, salah satunya dengan meningkatkan aksesnya bagi semua orang, terutama untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan mengingat real food seringkali lebih tidak terjangkau dibanding makanan-makanan ultra-olahan.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.