Satwa Liar Bukan Hewan Peliharaan

Foto oleh Janosch Diggelmann on Unsplash
Pada 2011, sekawanan satwa liar lepas dari kandang dan berkeliaran di jalanan Zanesville, Ohio. Terry Thompson, sang pemilik, ditemukan meninggal dunia dengan tanda-tanda bunuh diri menggunakan pistol. Saat ditemukan polisi, jasadnya sedang dikunyah oleh salah satu harimau putih di halaman belakang rumahnya.
Pihak kepolisian akhirnya menembak hampir lima puluh ekor singa, beruang, serigala, dan satwa lain yang lepas, yang semula kepunyaan Thompson. Bahwa itu merupakan kasus besar yang terjadi karena situasi semakin kacau, peristiwa di Zanesville menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan memelihara satwa liar di rumah.
Thompson tentu bukan satu-satunya pemilik satwa eksotis di luar sana. Baru-baru ini, seorang selebritas Indonesia viral karena mengadopsi harimau sebagai hewan peliharaan. Pertanyaan pun mencuat: Bolehkah kita memelihara satwa liar sebagai hewan peliharaan? Lebih jauh lagi, haruskah kita mendorong kepemilikan pribadi atas satwa liar?
Sifat Alami Satwa Liar
Satwa liar secara umum merupakan hewan-hewan yang tidak dipelihara. Habitat asli mereka berada di alam bebas, tanpa kontak rutin dengan kegiatan manusia. Tetapi, ketika populasi manusia meningkat pesat, keanekaragaman hayati justru sebaliknya. Menyadari berkurangnya keanekaragaman hayati, konservasi hadir untuk menyelamatkan satwa yang terancam punah agar tidak musnah dari muka bumi.
Tidak seperti hewan peliharaan, satwa liar memiliki kebutuhan yang kompleks, yang bahkan para ilmuwan pun masih berupaya untuk memahaminya. Menurut Born Free UK, kebutuhan dasar satwa liar mencakup “lingkungan yang memadai, pola makan yang memadai, kebebasan untuk melakukan perilaku normal, kebutuhan sosial yang acap kali rumit, dan kebebasan dari rasa sakit, terluka, dan penyakit.”
Memastikan kebutuhan satwa liar dapat dipenuhi adalah hal yang sangat sulit bagi para konservasionis, apalagi bagi para pemilik pribadi. Akan lebih mudah andaikan binatang-binatang tersebut bisa bicara tentang hal ini, tetapi sayangnya, mereka tidak bisa.
Tren, ketersediaan, dan perdagangan hewan peliharaan eksotis

Foto oleh Diana Parkhouse di Unsplash
Orang dibolehkan memiliki hewan peliharaan eksotis atas izin khusus. Contohnya, menurut The Dangerous Wild Animals Act 1976 (Undang-undang Satwa Liar Berbahaya 1976), warga negara Inggris harus memperoleh izin untuk hewan apa pun yang terdaftar dalam suatu periode menurut hukum tersebut, termasuk primata, beruang, reptil berbisa, dan kucing besar. Dalam survei 2021 oleh Born Free UK menyatakan bahwa hampir 4.000 satwa liar dipelihara sebagai hewan peliharaan, termasuk 61 kucing besar, lebih dari 150 lemur, dan 57 ular derik punggung berlian (Crotalus adamanteus).
Di Indonesia, orang diizinkan membawa pulang generasi ketiga hewan yang didapatkan dari penangkaran untuk tujuan konservasi. Apakah ini secara otomatis berarti kepemilikan pribadi atas nama konservasi satwa adalah hal yang pantas? Jawabannya tidaklah mudah. Banyak pembela hewan mempertimbangkan untuk mengizinkan kepemilikan pribadi hewan eksotis untuk melanggengkan keberadaan perdagangan hewan tersebut.
Adanya lonjakan permintaan hewan peliharaan eksotis, terutama karena media sosial menggambarkan betapa gampangnya memiliki mereka. Anda melihat video selebritas lokal yang bermain dengan harimau peliharaan mereka di rumah; lalu tiba-tiba saja, memiliki anjing golden retriever tidak lagi cukup. Ketika punya hewan peliharaan eksotis dinormaliasasi dan permintaan atasnya tinggi, ini beresiko bagi satwa liar yang masih tersisa untuk ditangkap bagi penangkaran, kemudian diperjualbelikan.
Resiko penyerangan dan penyakit

Anda dapat merenggut satwa-satwa tersebut dari alam liar, tetapi Anda tidak dapat menghilangkan kebuasan mereka. Meski telah biasa berinteraksi dengan manusia, satwa liar tetaplah memiliki gerak-gerik yang merupakan ancaman signifikan bagi manusia. Di Amerika Serikat, database Born Free USA mencatat lebih dari 1.800 insiden akibat hewan peliharaan eksotis.
Yang teranyar terjadi pada 9 September 2021, ketika seekor monyet vervet berusia lima tahun bernama Maliki diserahkan kepada suaka margasatwa setelah menggigit tangan pemiliknya dalam suatu situasi yang genting. Maliki telah dipelihara secara pribadi sebagai hewan peliharaan sejak masih bayi.
Selain itu, ada pula risiko penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh patogen (virus, bakteri, atau parasit) yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Penyakit-penyakit ini termasuk SARS, virus Ebola, dan cacar monyet. Diperkirakan bahwa penyakit zoonosis turut menyumbang 75% penyakit saat ini, dengan hewan non-domestik sebagai sumber asalnya.
Satwa liar seharusnya tetap hidup di alam liar
Ada banyak alasan mengapa kepemilikan pribadi atas hewan liar bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan keanekaragaman hayati saat ini. Pada akhirnya, seluruh upaya konservasi haruslah mengusahakan hewan-hewan tetap berada di habitat alami mereka. Satwa liar seharusnya hidup di alam liar, sebagaimana halnya manusia hidup dengan papan, sandang, dan ikatan dengan sesama manusia.
Namun, membahas konservasi hewan berarti menyadari bahwa belum ada satu jawaban pun bagi permasalahan ini. Perubahan iklim dan kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan hewan merupakan alasan mengapa konservasi hewan tetaplah hal yang menantang sekaligus ranah yang masih perlu dieksplorasi. Kita hanya dapat berharap akan hal terbaik yang dapat kita peroleh dengan pengetahuan yang kita miliki.
Editor: Abul Muamar
Penerjemah: Gayatri W.M
Versi asli artikel ini diterbitkan dalam bahasa Inggris di platform media digital Green Network Asia – Internasional.
Madina adalah Asisten Manajer Publikasi Digital di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.