Bagaimana Perempuan Lokal di Uganda Produksi Arang Alternatif untuk Tekan Laju Deforestasi
Hutan Uganda kaya akan keanekaragaman hayati dan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Namun, Uganda telah kehilangan lebih dari satu juta hektare tutupan pohon dalam 20 tahun terakhir. Hal tersebut sebagian disebabkan oleh tingginya kebutuhan arang sebagai bahan bakar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari komunitas sekitar hutan. Untuk mengatasi masalah ini, para pemimpin perempuan telah mengembangkan briket arang alternatif dari sampah organik, terutama sisa makanan, untuk membantu menekan laju deforestasi di Uganda.
Deforestasi di Uganda
Uganda, negara yang dijuluki ‘Mutiara Afrika’, berada di Afrika Timur. Sekitar 10% wilayah daratan Uganda saat ini ditutupi oleh hutan, yang merupakan rumah bagi setidaknya 7,8% spesies mamalia yang dikenal di dunia dan 11% spesies burung, menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Namun, tutupan hutan Uganda berada di bawah ancaman deforestasi. Salah satu penyebab deforestasi di Uganda adalah banyaknya pemanfaatan hasil hutan sebagai kayu bakar (arang) oleh komunitas lokal. Permintaan arang di negara tersebut sangat tinggi dan diperkirakan akan meningkat sebesar 6% setiap tahunnya karena pertumbuhan penduduk dan migrasi dari pedesaan ke perkotaan.
Untuk memenuhi permintaan ini, produsen arang dan penebang kayu dari luar Uganda mulai menebang secara paksa kawasan hutan lindung. Praktik ini mengakibatkan hilangnya habitat penting bagi satwa liar dan sumber makanan berkelanjutan bagi komunitas lokal, seperti pohon buah-buahan.
“Tidak seperti negara tetangga, Kenya dan Tanzania, yang memiliki undang-undang konservasi yang lebih ketat, Uganda adalah pasar terbuka sehingga orang-orang bisa melakukan apa saja, bisa berdagang apa saja,” kata Businge, pemimpin program Women’s Earth Alliance (WEA) Uganda dan salah satu pendiri dari Uganda Women’s Water Initiative (UWWI).
Mengembangkan Arang Alternatif
Melalui kegiatan pelatihan yang difasilitasi oleh Woman Earth Alliance (WEA) dan Women’s Water Initiative (UWWI), perempuan Uganda belajar cara membuat arang alternatif untuk meminimalkan penggunaan arang kayu dari hutan. Arang dibuat dari sampah organik, terutama sisa makanan yang tidak dimakan, sebagai pengganti kayu untuk membuat briket arang.
Briket arang alternatif menawarkan banyak manfaat bagi perempuan di Uganda. Pertama, bahan bakunya gratis, ramah lingkungan, dan lebih tahan lama sebagai bahan bakar untuk memasak. Kedua, menghemat waktu karena mereka tidak perlu pergi jauh ke hutan untuk mencari kayu sebagai bahan bakar. Ketiga, perempuan setempat dapat menjual limbah briket tersebut sebagai sumber pendapatan.
“(Dengan cara ini), mereka mempertahankan mata pencaharian mereka, namun mereka tidak perlu menebang pohon,” kata Hajra Mukasa, Direktur Regional WEA Afrika Timur sekaligus pemimpin serta pendidik di UWWI.
Perlu Diadopsi
Pembuatan briket arang alternatif dari bahan organik merupakan praktik baik yang juga telah dimanfaatkan dan diteliti di komunitas lain di dunia, seperti Indonesia, Arab Saudi, dan Thailand.
Cara untuk membantu menghentikan deforestasi ini dapat ditingkatkan dan diadopsi di seluruh dunia, namun diperlukan upaya kolaboratif. Penelitian, kebijakan, dukungan, pembiayaan, dan partisipasi aktif dari pemerintah, sektor swasta, dan komunitas lokal, semuanya penting dalam mengembangkan solusi atas deforestasi yang melestarikan alam, menghormati komunitas lokal dan masyarakat adat, serta melindungi penghidupan mereka.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Prayul adalah Reporter Magang di Green Network Asia. Lulusan program Biologi Universitas Adi Buana ini memiliki passion yang kuat dalam menulis tentang keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan isu-isu lain terkait SDGs.