Bagaimana Suku Kajang Mengelola dan Melestarikan Hutan dengan Kearifan Lokal
Indonesia memiliki banyak komunitas adat dengan kearifan lokalnya yang unik. Kearifan lokal tersebut bisa berupa nilai, tradisi, kebiasaan, hingga hukum yang mengatur kehidupan sosial budaya komunitas tersebut termasuk hubungannya dengan alam, seperti yang dilakukan oleh Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Hutan bagi Suku Kajang
Suku Kajang adalah suku yang masih memegang teguh adat, tradisi, dan hukum adatnya dalam mengelola dan melestarikan hutan mereka. Masyarakat adat Suku Kajang memiliki suatu pranata budaya bernama Pasang ri Kajang yang bisa diartikan sebagai pesan, hukum, atau sistem pengetahuan yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Pasang merupakan pedoman tetinggi dalam kehidupan di Suku Kajang yang tidak boleh dilanggar.
Bagi Suku Kajang, hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehingga harus dikelola dengan baik. Salah satu Pasang Suku Kajang menyatakan “Anjo boronga anre nakulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanrakki kalennu”, yang berarti “Hutan tidak boleh dirusak. Bila engkau merusaknya, sama halnya engkau merusak dirimu sendiri.”
Berdasarkan keyakinan Suku Kajang, hutan memiliki fungsi ritual dan fungsi ekologis. Mereka meyakini bahwa hutan adalah tempat sakral karena di hutanlah Bumi pertama kali dibuat, sehingga menjadi tempat untuk melakukan berbagai upacara adat. Kemudian juga disebutkan bahwa hutan merupakan sumber hujan dan sumber air (tumbusu’) bagi masyarakat Suku Kajang. Kedua fungsi tersebut mempengaruhi bagaimana Suku Kajang memperlakukan hutan dengan terus berusaha melestarikannya melalui aturan-aturan adat seperti larangan menebang pohon, berburu satwa, merusak rumah lebah, bahkan mencabut rumput.
Filosofi Hidup Sederhana
Masyarakat Suku Kajang hidup dalam sebuah filosofi bernama Kamase-masea, yaitu cara hidup tradisional dan bersahaja. Filosofi ini mengajarkan untuk hidup sederhana dan secukupnya sehingga pengelolaan sumber daya alam di hutan dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekologisnya. Hal tersebut salah satunya tercermin dalam pembagian kawasan hutan menjadi tiga bagian oleh Ammatoa atau pemimpin adat, yaitu:
- Hutan keramat (Borong Karamaka), kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan kecuali kegiatan adat atau upacara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, atau kegiatan lain yang mengganggu flora dan fauna di kawasan ini. Orang yang melanggar akan dikenai denda dan harus mengembalikan kayu yang diambil ke hutan.
- Hutan perbatasan (Borong Batasayya), hutan yang diperbolehkan untuk diambil kayunya dengan izin Ammatoa sepanjang persediaan masih ada. Kayu yang bisa diambil hanya beberapa jenis saja dan digunakan untuk tujuan khusus, seperti membangun sarana umum atau rumah bagi warga yang tidak mampu. Pengambilan kayu dari hasil menebang pohon harus disertai dengan penanaman pohon pengganti.
- Hutan rakyat (Borong Luara’), hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat yang sesuai dengan aturan-aturan adat.
Pengakuan terhadap Peran dan Pengetahuan Masyarakat Adat
Sejak tahun 2015, Masyarakat Adat Ammatoa Kajang telah diakui dan dilindungi haknya oleh Pemerintah Daerah Bulukumba. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) juga telah memberikan pengakuan untuk 314 hektare hutan menjadi hak milik masyarakat Kajang pada tahun 2016.
Namun sayangnya, pengakuan tersebut tidak serta merta menjamin ketenangan kehidupan Suku Kajang. Selama bertahun-tahun, Suku Kajang terjebak sengketa lahan dengan PT London Sumatra (Lonsum) yang memasukkan tanah adat dalam Hak Guna Usaha (HGU). Hingga pembaruan HGU pasca habis masa berlakunya pada Desember 2023, masyarakat Suku Kajang masih mendesak PT Lonsum untuk mengembalikan hak mereka.
Selain itu, saat ini Suku Kajang juga dihadapkan dengan tantangan seperti modernisasi yang dapat mengubah cara pandang mereka terhadap nilai-nilai tradisional, terutama generasi muda yang tinggal di bagian luar desa. Dengan Pasang yang tidak lagi diikuti secara takzim dan akses terhadap dunia luar yang lebih mudah, perkembangan teknologi turut mengancam kelestarian adat, kebiasaan, dan pranata sosial yang telah terjaga selama ratusan tahun. Terlebih lagi, perubahan iklim hingga ancaman penebangan ilegal dan ekspansi industri ekstraktif yang marak di Sulawesi Selatan dapat menjadi ancaman serius bagi kehidupan Suku Kajang yang menggantungkan hidupnya pada alam.
Oleh karena itu, pengakuan sepenuhnya dan sungguh-sungguh terhadap masyarakat adat dari seluruh pihak, termasuk dunia usaha, adalah hal yang krusial untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pemerintah dapat mendorong peraturan yang lebih kuat yang disusun dengan partisipasi masyarakat adat untuk memberikan kepastian hukum, salah satunya melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah diusulkan sejak tahun 2003. RUU ini penting untuk memastikan agar masyarakat adat di seluruh Indonesia dapat hidup dengan tentram tanpa diskriminasi dan kekerasan dan dapat menjalankan perannya sebagai pelestari alam.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Nisa adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.