Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Suku Kajang Mengelola dan Melestarikan Hutan dengan Kearifan Lokal

Suku Kajang memiliki berbagai nilai, filosofi, dan hukum adat dalam mengelola sumber daya alam dan melestarikan hutan sebagai tempat tak terpisahkan bagi kehidupan mereka.
Oleh Seftyana Khairunisa
6 Mei 2024
beberapa lelaki dengan baju dan ikat kepala tradisional berwarna hitam

Foto: Istiqamah.a di Wikimedia Commons.

Indonesia memiliki banyak komunitas adat dengan kearifan lokalnya yang unik. Kearifan lokal tersebut bisa berupa nilai, tradisi, kebiasaan, hingga hukum yang mengatur kehidupan sosial budaya komunitas tersebut termasuk hubungannya dengan alam, seperti yang dilakukan oleh Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. 

Hutan bagi Suku Kajang

Suku Kajang adalah suku yang masih memegang teguh adat, tradisi, dan hukum adatnya dalam mengelola dan melestarikan hutan mereka. Masyarakat adat Suku Kajang memiliki suatu pranata budaya bernama Pasang ri Kajang yang bisa diartikan sebagai pesan, hukum, atau sistem pengetahuan yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Pasang merupakan pedoman tetinggi dalam kehidupan di Suku Kajang yang tidak boleh dilanggar. 

Bagi Suku Kajang, hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehingga harus dikelola dengan baik. Salah satu Pasang Suku Kajang menyatakan “Anjo boronga anre nakulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanrakki kalennu”, yang berarti “Hutan tidak boleh dirusak. Bila engkau merusaknya, sama halnya engkau merusak dirimu sendiri.”

Berdasarkan keyakinan Suku Kajang, hutan memiliki fungsi ritual dan fungsi ekologis. Mereka meyakini bahwa hutan adalah tempat sakral karena di hutanlah Bumi pertama kali dibuat, sehingga menjadi tempat untuk melakukan berbagai upacara adat. Kemudian juga disebutkan bahwa hutan merupakan sumber hujan dan sumber air (tumbusu’) bagi masyarakat Suku Kajang. Kedua fungsi tersebut mempengaruhi bagaimana Suku Kajang memperlakukan hutan dengan terus berusaha melestarikannya melalui aturan-aturan adat seperti larangan menebang pohon, berburu satwa, merusak rumah lebah, bahkan mencabut rumput. 

Filosofi Hidup Sederhana

Masyarakat Suku Kajang hidup dalam sebuah filosofi bernama Kamase-masea, yaitu cara hidup tradisional dan bersahaja. Filosofi ini mengajarkan untuk hidup sederhana dan secukupnya sehingga pengelolaan sumber daya alam di hutan dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekologisnya. Hal tersebut salah satunya tercermin dalam pembagian kawasan hutan menjadi tiga bagian oleh Ammatoa atau pemimpin adat, yaitu:

  1. Hutan keramat (Borong Karamaka), kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan kecuali kegiatan adat atau upacara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, atau kegiatan lain yang mengganggu flora dan fauna di kawasan ini. Orang yang melanggar akan dikenai denda dan harus mengembalikan kayu yang diambil ke hutan. 
  2. Hutan perbatasan (Borong Batasayya), hutan yang diperbolehkan untuk diambil kayunya dengan izin Ammatoa sepanjang persediaan masih ada. Kayu yang bisa diambil hanya beberapa jenis saja dan digunakan untuk tujuan khusus, seperti membangun sarana umum atau rumah bagi warga yang tidak mampu. Pengambilan kayu dari hasil menebang pohon harus disertai dengan penanaman pohon pengganti. 
  3. Hutan rakyat (Borong Luara’), hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat yang sesuai dengan aturan-aturan adat. 

Pengakuan terhadap Peran dan Pengetahuan Masyarakat Adat

Sejak tahun 2015, Masyarakat Adat Ammatoa Kajang telah diakui dan dilindungi haknya oleh Pemerintah Daerah Bulukumba. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) juga telah memberikan pengakuan untuk 314 hektare hutan menjadi hak milik masyarakat Kajang pada tahun 2016. 

Namun sayangnya, pengakuan tersebut tidak serta merta menjamin ketenangan kehidupan Suku Kajang. Selama bertahun-tahun, Suku Kajang terjebak sengketa lahan dengan PT London Sumatra (Lonsum) yang memasukkan tanah adat dalam Hak Guna Usaha (HGU). Hingga pembaruan HGU pasca habis masa berlakunya pada Desember 2023, masyarakat Suku Kajang masih mendesak PT Lonsum untuk mengembalikan hak mereka. 

Selain itu, saat ini Suku Kajang juga dihadapkan dengan tantangan seperti modernisasi yang dapat mengubah cara pandang mereka terhadap nilai-nilai tradisional, terutama generasi muda yang tinggal di bagian luar desa. Dengan Pasang yang tidak lagi diikuti secara takzim dan akses terhadap dunia luar yang lebih mudah, perkembangan teknologi turut mengancam kelestarian adat, kebiasaan, dan pranata sosial yang telah terjaga selama ratusan tahun.  Terlebih lagi, perubahan iklim hingga ancaman penebangan ilegal dan ekspansi industri ekstraktif yang marak di Sulawesi Selatan dapat menjadi ancaman serius bagi kehidupan Suku Kajang yang menggantungkan hidupnya pada alam.

Oleh karena itu, pengakuan sepenuhnya dan sungguh-sungguh terhadap masyarakat adat dari seluruh pihak, termasuk dunia usaha, adalah hal yang krusial untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pemerintah dapat mendorong peraturan yang lebih kuat yang disusun dengan partisipasi masyarakat adat untuk memberikan kepastian hukum, salah satunya melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah diusulkan sejak tahun 2003. RUU  ini penting untuk memastikan agar masyarakat adat di seluruh Indonesia dapat hidup dengan tentram tanpa diskriminasi dan kekerasan dan dapat menjalankan perannya sebagai pelestari alam. 

Editor: Abul Muamar

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Seftyana Khairunisa
Reporter at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.

  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Mekanisme Anti-SLAPP Lewat Putusan Sela: Harapan Baru bagi Pembela Lingkungan?
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Memajukan Sektor Pangan Akuatik untuk Mendukung Ketahanan Pangan
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Mengupayakan Keadilan Ekologis

Continue Reading

Sebelumnya: Mengarusutamakan Investasi Berdampak untuk Pembangunan Berkelanjutan
Berikutnya: Indonesia Butuh Lebih Banyak Climate Realist

Lihat Konten GNA Lainnya

foto palu sidang berwarna coklat dan sebuah borgol yang tergelak di atas permukaan kayu Mekanisme Anti-SLAPP Lewat Putusan Sela: Harapan Baru bagi Pembela Lingkungan?
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mekanisme Anti-SLAPP Lewat Putusan Sela: Harapan Baru bagi Pembela Lingkungan?

Oleh Seftyana Khairunisa
21 Oktober 2025
Hutan rumput laut dengan sinar matahari yang menembus air Potensi Budidaya Rumput Laut untuk Aksi Iklim dan Ketahanan Masyarakat
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Potensi Budidaya Rumput Laut untuk Aksi Iklim dan Ketahanan Masyarakat

Oleh Attiatul Noor
21 Oktober 2025
tangan memutari bibit tanaman Mengarusutamakan Spiritualitas Ekologis dalam Praktik Keagamaan
  • GNA Knowledge Hub
  • Opini

Mengarusutamakan Spiritualitas Ekologis dalam Praktik Keagamaan

Oleh Polykarp Ulin Agan
20 Oktober 2025
Seseorang memberikan paper bag kepada orang lain Bagaimana Hong Kong dapat Membangun Kepercayaan Konsumen terhadap Keberlanjutan
  • GNA Knowledge Hub
  • Opini

Bagaimana Hong Kong dapat Membangun Kepercayaan Konsumen terhadap Keberlanjutan

Oleh Kun Tian
20 Oktober 2025
bangunan roboh Robohnya NZBA: Kritik, Analisis, dan Seruan untuk Perbankan Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Opini

Robohnya NZBA: Kritik, Analisis, dan Seruan untuk Perbankan Indonesia

Oleh Jalal
17 Oktober 2025
Empat tangan anak-anak yang saling berpegangan Mengatasi Perundungan di Lingkungan Pendidikan dengan Aksi Kolektif
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mengatasi Perundungan di Lingkungan Pendidikan dengan Aksi Kolektif

Oleh Andi Batara
17 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia